Mohon tunggu...
Heru Susetyo
Heru Susetyo Mohon Tunggu... -

Dosen FH UI Depok, FH Esa Unggul Jakbar, Advokat Publik di PAHAM Indonesia, Mahasiswa Program Doktor Human Rights and Peace Studies Mahidol University, Bangkok - Thailand. Tinggal di Bangkok dan Jakarta. e-mail : heru.susetyo@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Etnis Rohingya: Korban Kekerasan Struktural yang Menyejarah

6 Agustus 2012   10:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   02:11 1544
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

ETNIS ROHINGYA :

KORBAN KEKERASAN STRUKTURAL YANG MENYEJARAH

Heru Susetyo

Pusat Informasi dan Advokasi Rohingya-Arakan (PIARA)

@indo4rohingya/ herususetyo@gmail.com/ http://indo4rohingya.org

Tidak banyak orang Indonesia yang tahu tentang etntis Rohingya. Jangankan memahami kasusnya, istilah 'Rohingya' pun terasa asing di telinga. Namun beberapa pekan terakhir ini kata 'Rohingya' tiba-tiba menyesaki media-media di Indonesia.

Pemicunya adalah berita duka bertubi-tubi tentang kekerasan dan pembantaian yang terjadi terhadap muslim Rohingya di Arakan/ Rakhine, Myanmar. Tepatnya pada awal bulan Juni 2012 ketika terjadi konflik antara warga Arakan non muslim dengan muslim Arakan (Rohingya).  Konflik ini adalah buah dari informasi bahwa ada perkosaan terhadap wanita non muslim oleh pria muslim di Arakan. Berlanjut dengan tindakan pembalasan oleh warga non muslim. Sepuluh pria Rohingya dibantai ketika berada di dalam bus di Thandwe menuju Yangoon.

Kemudian konflik antar dua kelompok tak terhindarkan.  Terjadi saling bantai dan saling serang. Muslim Rohingya, karena berjumlah lebih sedikit dan beratus tahun terpinggirkan, lantas terdesak.  Ratusan desa muslim dibakar dan dihancurkan dan sekitar 850- 1000-an warga tewas.  Sekitar 90.000 Ribuan lainnya terusir  atau tetap berdiam dalam penderitaan.  Karena hijrah ke bagian lain dari negara Myanmar adalah tidak mungkin.  Mengungsi ke Bangladesh, negeri yang berbatasan langsung, adalah juga tidak mungkin. Karena Bangladesh menolak masuknya pengungsi Rohingya.  Karena negeri Bangladesh sendiri adalah negeri miskin dengan luas wilayah kecil namun berpenduduk nyaris 150 juta jiwa.

Dan itu adalah salah satu seri kekerasan terhadap warga Rohingya.  Sebelum dan sesudah merdekanya negara Myanmar (dulu bernama Burma) dari Inggris pada 4 Januari 1948 warga Rohingya kerap mengalami kekerasan dan diskriminasi. Keberadaan mereka tidak diakui sebagai salah satu etnis yang eksis di Myanmar dari 136 etnis yang ada. Ada saat keberadaan mereka diakui oleh Parlemen Myanmar, berpuluh tahun lalu. Namun sejak UU Kewarganegaraan Myanmar dilahirkan tahun 1982, Rohingya sama sekali dikeluarkan sebagai salah satu etnis yang diakui pemerintah Myanmar. Akibatnya, mereka-pun tidak diakui sebagai warganegara Myanmar (stateless).

Nama 'Rohingya' sendiri sebenarnya bukanlah identitas etnis.  Lebih tepat sebagai identitas politik dan label yang disematkan oleh Francis Buchanan-Hamilton, dokter Inggris yang mengunjungi daerah Chittakaung pada akhir abad 18 untuk menyebut entitas muslim Arakan. Tidak ada makna yang jelas tentang apa arti kata 'rohingya' selain bahwa ia adalah label dan identitas untuk warga muslim Arakan tersebut.

Pendapat berbeda disampaikan Lukman Hakim. Pemimpin Rohingya di pengungsian di Jepang. Menurutnya, "Rohingya" adalah juga identitas etnis.  Warga muslim Arakan tak keberatan disebut sebagai 'Rohingya'.  Istilah 'Rohingya' berasal dari 'Rohang", nama daerah di Arakan.[1]

Rohingya bukan satu-satunya etnis Muslim di Myanmar. Di samping etnis Rohingya, ada pula etnis Indian Muslim yang kebanyakan tinggal di Rangoon (berubah menjadi Yangoon pada tahun 1989). Kemudian, etnis Panthay, etnis Muslim keturunan Cina yang bermigrasi dari Cina barat laut (Muslim Hui). Lalu, ada etnis Muslim keturunan Melayu yang tinggal di Kawthaung dan sebagian kecil bermukim di pulau-pulau sekitar Laut Andaman dan kerap disebut sebagai moken (atau sea gypsy/orang laut).  Namun,etnis muslim lain, selain Rohingya di Arakan, cenderung hidup lebih aman daripada warga Rohingya.  Walaupun bukan berarti mereka hidup nyaman dan sejahtera juga.

Warga Rohingya mendiami sisi utara negara bagian Rakhine (sebelumnya bernama Arakan) di Myanmar bagian barat laut. Konsentrasi mereka ada di kota-kota di sisi utara Rakhine, yang masing-masing adalah Maungdaw, Buthidaung, Rathedaung, Akyab (Sittwe), Sandway, Tongo, Shokepro, Rashong Island, dan Kyauktaw. Komunitas terbesar etnis Rohingya tinggal di Maungdaw dan Buthidaung. Dari sisi geografis, demografis, dan bahasa, mereka memiliki kedekatan dengan Bangladesh (Bengal) yang memang dikenal sebagai negeri Muslim.

Sejarah mencatat,  muslim Rohingya telah tinggal di daerah yang kini disebut Northern Rakhine (nama Arakan dirubah menjadi Rakhine ataupun Rakhaing pada tahun 1930-an) sejak abad ke 8 Masehi. Lebih dulu dari pemukim Rakhine Mogh non muslim.  Bahkan pada tahun 1430 hingga 1784 berdiri kerajaan Islam Arakan.  Tahun 1784 kerajaan Burma menganeksasi Arakan dan Arakan berada dalam kekuasaan Raja Burma Bodaw Paya hingga tahun 1824.  Tahun 1824 Inggris menganeksasi Arakan dan Burma serta menempatkan daerah pendudukan tersebut dalam administrasi British India. Pada tahun 1937 British melepaskan Arakan dari British India dan tahun 1948 Arakan menjadi bagian dari Negara Burma merdeka.

Nama "Rakhine" sendiri identik dengan warga Arakan non muslim yang tinggal di Rakhine State/ Rakhaing. Warga muslim Arakan tidak pernah menyebut diri mereka sebagai  "Rakhine Muslim".  Maka sebagai identitas pembeda dengan warga Rakhine Buddhist, sebutan sebagai 'Rohingya' tak terlalu mereka permasalahkan.[2]

Kendati Burma telah merdeka pada tahun 1948, namun warga Rohingya tak pernah merdeka. Mereka terus menerus mengalami kekerasan.  Pembantaian dalam skala besar terhadap warga Rohingya terjadi berturut-turut pada tahun 1942, 1948, 1978, 1992 -1993 dan akhirnya pada Juni 2012.  Ini semacam kekerasan yang menyerah. Genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan yang berlangsung begitu panjang. Berskala vertical maupun horizontal, kekerasan yang bersifat struktural dan tak jelas kapan akan berakhir.

Satu pertanyaan yang seringkali mencuat dari publik Indonesia adalah: Mengapa sih orang Rohingya dizhalimi oleh Negara dan warga Arakan lain? Dari jumlahnya sudah sedikit dan tak berdaya pula? Apakah karena mereka diidentifikasi sebagai ditunggangi teroris dan ingin membuat Negara sendiri?

Zaw Min Htut, pemimpin Rohingya di Jepang membantah dugaan tersebut. "Kami tak  ingin dan tak punya kapasitas untuk mendirikan negara sendiri. Kami juga tak ditunggangi kelompok teroris manapun!  Kenapa warga Rohingya terus dizhalimi? Ini karena intoleransi dari negara Myanmar dan warga Arakan non muslim.  Mereka tak ingin ada orang Rohingya di Arakan/Rakhine.  Arakan is for Rakhine, not for Rohingya !

Indonesia-pun turut merasakan duka warga Rohingya.  Pada akhir tahun 2008 banyak warga Rohingya terusir dari negerinya dan menjadi manusia perahu (boat people), mencari keselamatan ke negeri lain. Mereka tertatih-tatih menanti negeri yang mau menampung mereka. Sekitar 1200 warga Rohingya meninggalkan Myanmar pada bulan Desember 2008 menuju Thailand. Datang dengan cara yang tidak umum, otoritas Thailand segera menampik mereka. Sebagian mereka masih ditahan di Thailand dan sebagian kembali terusir ke laut. Menggunakan sembilan perahu, mereka kemudian terdampar di Laut Andaman, sebagian kecil diselamatkan oleh warga Indonesia dan  ditampung sementara di Aceh. Sebagian kecil yang lain diselamatkan oleh Angkatan Laut India. Selebihnya, masih terkatung-katung. Daily Yomiuri (11/2-09) menyebutkan bahwa nelayan Aceh menyelamatkan 220 'manusia perahu' Rohingya pada 2 Februari 2009, namun 22 di antaranya telah tewas karena kehausan dan kelaparan.

Bulan Juli 2012 ini Indonesia mendapati lagi 82 pengungsi Rohingya (13 diantaranya anak-anak) terdampar di Kepulauan Riau dan kini ditahan di Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim) Tanjung Pinang. Disamping itu, pengungsi Rohingya terserak di 13 tempat berbeda di seluruh Indonesia.

Pada saat bersamaan ada sekitar 300.000 pengungsi Rohingya di Bangladesh dan jumlah yang cukup signifikan di Thailand, Malaysia, Pakistan, India, Timur Tengah dan beberapa yang memperoleh status pengungsi atau suaka politik di Inggris, AS, Jepang dan beberapa negara lainnya.

Secara umum, kondisi warga Rohingya di pengungsian sama mengenaskan-nya dengan saudaranya yang berada di Arakan. Dimana-mana mereka disebut pendatang haram maupun pendatang illegal. Sebagian negara penampung mereka mengirim mereka kembali ke negeri asal. Sebagian menelantarkannya di negara penampung dengan penanganan apa adanya. Masalahnya, apabila mereka tidak ditampung di negara lain, hendak kemana mereka pergi? Lukman Hakim, pemimpin Rohingya di Jepang, mengatakan : "Brother, perhaps it is easier for you to dream about the future, but for us, Rohingya People, we  are not sure whether we still have tomorrow..."

Kegalauan Lukman Hakim amat beralasan. Presiden Myanmar Thein Sein sudah mengatakan di forum internasional pada Juli 2012 supaya warga Rohingya mencari negara lain saja atau PBB mencarikan tempat penampungan lain di luar Myanmar.  Myanmar tidak welcome dengan orang Rohinya dan siap mendeportasi mereka. Suatu pernyataan yang ahistoris dan tidak pantas, dari seorang kepala negara yang berdaulat.

Atas nama kemanusiaan, keadilan dan hak asasi manusia, sudah sepantasnya dunia memikirkan secara bersama-sama solusi permanen untuk Rohingya.  Tanggung jawab utama dan pertama jelas terletak pada negara Myanmar yang sejak awal berdirinya telah menegasikan eksistensi bangsa Rohingya.  Termasuk yang wajib memperjuangkan warga Rohingya adalah pemimpin perjuangan demokrasi Myanmar, anak kandung Bapak Bangsa Myanmar Bogyoke Aung San, yaitu  Daw Aung San Suu Kyi.  Karena, memperjuangkan Myanmar yang bebas dan berkeadilan takkan sempurna tanpa mengakui eksistensi warga Rohingya dan warga minoritas lain yang hidup di Myanmar jauh sebelum negera tersebut merdeka dari jajahan Inggris.

Tanggungjawab kedua adalah pada badan-badan internasional seperti PBB dan ASEAN.  Karena Myanmar adalah negara anggota PBB maupun ASEAN.  Bahkan Sekjen PBB pernah berasal dari Myanmar (U Thant, 1961-1971) dan saat ini (tahun 2012-2013) Myanmar memegang tampuk keketuaan (chairmanship) ASEAN.

Tanggungjawab berikutnya adalah pada negara-negara tetangga yang berdekatan.  Seperti Bangladesh, India, Thailand, Malaysia, China hingga Indonesia.  Tidak sedikit pelarian Rohingya yang mengungsi ke Negara-negara tersebut. Namun tidak semuanya mau menampung dan memperlakukan dengan baik. Tidak jarang para pengungsi Rohingya diusir pada kesempatan pertama.  Padahal, Konvensi tentang Status Pengungsi 1951 menyebutkan bahwa Negara penerima tidak boleh menolak dan mengembalikan pengungsi/ pencari suaka ke negerinya ketika kondisi di negerinya membahayakan untuk keselamatan para pengungsi tersebut (non refoulement).

Khususnya negeri China  (RRC).  Kendati amat jarang pengungsi Rohingya yang mengungsi ke RRC, karena secara geografis berada jauh di utara negeri Arakan, namun China-lah sekutu paling dekat dan paling berkepentingan secara geopolitik dan ekonomi dengan rezim junta militer Myanmar.  China amat sering membela Myanmar di forum-forum internasional, utamanya di PBB. Namun,  China amat minim perannya dalam membantu penghentian kekerasan dan penegakan keadilan di Arakan.

Tanggungjawab keempat adalah pada negara-negara berpenduduk muslim.  Warga Rohingya adalah muslim yang sejarah keislamannya sudah berlangsung sejak abad ke-14 M. Dan sampai kini mereka masih muslim dan tetap bersemangat dalam ibadahnya.  Kendati masjid dan mushola yang ada dihancurkan dan  otoritas yang berkuasa melarang pembangunan masjid yang baru, juga terjadi 'Burmanisasi' terhadap Arakan yang secara perlahan menggerus dan mengakuisisi kultur muslim Rohingya (cultural genocide) namun mereka tetap istiqomah dalam keislamannya. Kami melihat sendiri dalam kamp pengungsian mereka di Pathum Thani Bangkok Thailand pada Oktober 2009, dimana kendati tinggal dalam shelter darurat namun mereka tetap mendirikan musholla, madrasah dan tempat belajar Al Qur'an darurat.  Selalu ada ustadz dan guru mengaji bagi anak-anak Rohingya yang berasal dari warga Rohingya sendiri.

Negara-negara berpenduduk muslim dan anggota OKI (Organisasi Konferensi Islam), harus mengambil peran yang lebih aktif dan positif terhadap muslim Rohingya.  Banyak pengungsi di dunia saat ini yang berasal dari negeri-negeri muslim.  Uniknya, hanya sedikit dari para pengungsi tersebut yang memilih mengungsi ke negeri-negeri muslim yang lain.  Mereka memilih mengungsi dan mencari suaka ke negeri-negeri barat yang notabene sekular dan muslim adalah minoritas.

Utamanya bagi Indonesia. Indonesia adalah negeri muslim terbesar sedunia dan paling bebas serta demokratis.  Tidak terlalu kentara halangan secara politis maupun hukum bagi Indonesia untuk membela muslim Rohingya di ranah internasional.  Sebaliknya, Indonesia akan mendapatkan credit point atas kepemimpinan proaktif terhadap penghentian kekerasan dan perwujudan kedamaian dan keadilan di tanah Arakan.

[1] Wawancara dengan Zaw Min Htut alias Lukman Hakim di Shin Okubo Islamic Center, Tokyo, Jepang pada 5 Agustus 2012.

[2] Ibid.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun