Seperti janji kita menanam padi pagi-pagi.
Membawa bakul berisi nasi dan kendi penuh air sumur.
Kita saling tatap petakkan sawah yang bawa berkah. Pikiran bening menghitung mimpi yang tak pernah tersinggahi.
Lalu bertutur masa depan anak-anak yang nasibnya belum tertata.
Kita juga tidak tahu, apakah masih tetap sarapan tempe tahu.Â
Karena begitu susahnya mendapat tempe di negeri ini. Semakin hari tambah tipis potongannya. Seperti kata calon wakil presiden, Sandiaga Uno. Apakah moral kita juga menipis, hidup kembang kempis
Miris kondisi kelangsungan hidup, yang tambah rumit saja. Nafas tersengal dalam langkah terganjal. Mencari sisa-sisa rezeki dikubangan mimpi.
Kita juga tidak tahu apakah panen masih menjanjikan dan memberi kekenyangan. Atau hanya sekedar pelipur lara. Bahkan membawa malapetaka.
Sementara dikota orang sibuk berdebat tentang jabatan. Bicara semaunya dengan kata-kata menyesakan dada. Tak pernah menghitung jeritan kaum pinggiran yang berdarah darah, babak belur diseret kondisi yang memiskinkan anak negeri.
Semua sibuk berorasi politik, menggumbar janji-janji penyelamat bangsa dari keterpurukan ekonomi yang membuyarkan mimpi sejahtera anak negeri.
Seperti janji kita bangun pagi membersihkan diri, lalu berdoa tentang cinta dan memberi kata-kata anak kita tentang cinta.
Cinta tanah air.
Cinta terhadap sesama.
Cinta terhadap lingkungan.
Dan cinta terhadap diri kita.
Serta doa-doa  cinta.
Yang diajarkan dari Nya.
Sungailiat, Bangka 13 September 2018
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H