Dulu ketika masih di era Pak. Soeharto, jangankan untuk berdisukusi dengan kawan-kawan yang tidak pro terhadapat kepemerintahan beliau. Menyampaikan Aspirasi saja sudah sangat bahaya dimana zaman tersebut orang-orang tidak pro terhadap pemerintah akan dibungkam, bahkan paling parahnya akan di binasakan tanpa jejak. Yah kita sudah hidup di masa reformasi dimana kita bebas menyampaikan pendapat dan aspirasi kepada pemerintah yang memang itu adalah sudah tanggung jawab mereka untuk mendengar warganya.
Diera Digitalisasi kita sudah sangat mudah mendapay informasi, berita, artikel bahkan jurnal di media sosial yanh sudah sangat banyak bertebaran. Nah ini bisa menjadi power baru bagi kawan-kawan Mahasiswa di era sekarang bagaimana caranya mengkaji sebuah isu, atau kebijakan yang tidak pro terhadap masyarakat terutama masyarakat akar rumput. Kita bisa memanfaatkan media sosiap dalam menyampaikan pendapat dan aspirasi yang bahkan bukan hanya orang terdekat saja yang akan melihat dan membacanya, tapi berpotensi akan di lihat masyarakat Se-Indonesia.
Disisi lain selain kita harus mengikuti perkembangan zaman, yah tentu kita juga perlu memperluas literasi kita, jangan sampai media sosial akan menjadi boomerang bagi kita kita tidak di sertai disertasi yang jelas dan kevalidtan data tersebut. Saya mengambil contoh kasus di sebuah daerah di pelosok Kab. Gowa Provinsi Sulawesi Selatan, kecamatan Tompobulu, dimana ada sebuah komunitas yang sering berkegiatan disana setiap 1 bulan sekali untuk mengajar disalah satu sekolah dasar di sana. Nah yang menjadi masalah jalanan menuju lokasi yang tentu saja sangat rusak untuk di lewati, kemudian teman - teman dari komunitas tersebut (PB), selalu mengup foto jalan tersebut di Media Sosial mereka, tapi foto kondisi jalan tersebut bukan secara langsung untuk membhasakan ini adalah bentuk protes kepada pemerintah daerah tersebut, yang dimana rutes atau jalan akse menuju ke lokasi sangat parah , yang jalanan disana juga di gunakan masuarakat untuk mengakut Getah pohon yang akan di bawa turun untuk di produksi. Nah ini yang kemudian di lihat oleh kalangan yang bersangkutan di media sosial, selain itu pihak Lurah pun turun tangan untuk berdiskusi dengan pihak pemerintah dearah disana. Akhirnya apa yang kemudian menjadi keresahan kita bersama jalan di sanapun langsung di kerja untuk di aspal kembali.
Nah dari contoh kasus ini apa yang kemudian menjadi keresahan kita dan kritikan kita, solusinya bukan hanya turun kelapangan, tapi bisa melalui banyak cara salah satunya cara di atas yang telah di jelaskan pertingnya memanfaatkan media sosial, mengkaji dan kemudian berdiskusi dengan pihak terkait, itu merupakan salah satu cara yang mungkin bisa digunakan oleh kawan-kawan mahasiswa, selain itu kita juga bisa mengkritik atau memberikan masukan lewat tulisan-tulisan entahkan esai, artikel atapun jurnal itu tentu saja sangat berguna dan yah memang itulah yang ada dimasa kita sekarang. Suara kecil kita lebih akan di dengar lewat media sosial dan akan menjadi viral ketika isu itu banyak akan banyak merugikan masyarakat luas.
Saya berani mengakatan omongkosong ketika ada kawan-kawan kita yang masih mengatakan kita turun aksi untuk merawat budaya? Apakah budaya kita dengan kawan-kawan 98 dan sekarang sama? Tentu saja tidak sudah banyak cara untuk mengaspirasikan pendapat kita di khalayak umum dalam bentuk videopun itu sudah menjadi ancaman untuk mereka yang tidak pro terhadap masyarakat.
Jadi kemudian yang menjadi solusi tentu saya kita perlu menguatkan literasi kita dengan membaca buku, artikel, jurdal selain manambah koasa, tentu saja menambawah wawasan dan data di kepala kita, ketika ada isu yang lemparkan oleh pemerintah, jangan langsung terintervensi tentu saja alangkah baiknya kita mengkaji dulu, lalu berdiskusi dengan kawan - kawan mahasiswa yang mungkin kita 1 pemikiran dan pemahaman, lalu berdiskusi dengan pihak terkait. Lalu menyebar informasi tentang isu tersebut baik lewat video, artikel, esai, ataupun jurnal itu saya rasa akan lebih kena kepihak bersangkutan, beban moral yang kemudian akan di beratkan ke pihak terkait setelah munculnya video, atau slogan-slogan tulisan yang bertuliskan kritikan kepada mereka.
Tentu saja kita menginginkan mahasiswa saat ini, yah tentu lebih kritis tapi bukan anarkis. Kritis dalam artian memahami sebuah isu lewat kajian dan data yang valid. Dan memanfaatkan media sosial sebaik - baik mungkin dalam menyuarakan aspirasi. Dan bung Larno pun pernah mengatakan "Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri" memiliki makna bahwa persatuan penting dan tidak perlu melawan sesama anak bangsa. mungkin disini di maksudkan bagaimana tidak sepenuhnya masyarakat mendukung aksi kita ketika turun kelapangan, tapi aksi kita akan lebih didukung lewat kajian, penemuan, dan prestasi yang kemudian bisa menjadi andil didalam negara untuk point  4 UU 1945 yang isinya mencerdaskan kehidupan bangsa.
Ini menjadi pekerjaan rumah yang besar untuk kawan - kawan mahasiswa adalah untuk di tuntut mempunyai pemikiran yang visioner dan kritis dalam menyurakan suara-suara masyarakat sebagai Agent of Change, bukan sebagai Agent of anarchist.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H