Mohon tunggu...
Heru Pranata
Heru Pranata Mohon Tunggu... Seniman - Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah

Saya lulusan sarjana seni Institut Seni Indonesia Padangpanjang, sekaran melanjutkan studi s2 di Pasca Sarjana ISI Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Hilangnya Fungsi Surau di Minangkabau

31 Oktober 2019   15:54 Diperbarui: 2 November 2019   11:42 1988
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Surau Lubuk Bauk (suratkabar.id)

Minangkabau yang mayoritas masyarakatnya muslim tergambar dalam falsafah adatnya "adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah" yang artinya adat berlandaskan syariat (aturan-aturan Islam) sedangkan syariat berlandaskan kitab allah (Al-Qur'an). 

Falsafah ini yang mengatur segala tindakan yang dilakukan harus berlandaskan Islam.

Secara garis besar surau di Minangkabau sama halnya dengan masjid ataupun musala pada umumnya. Yang menjadi pembeda terletak pada status kepemilikan dan fungsinya.

Surau di Minangkabau biasanya milik suatu kaum atau suku tertentu yang selain fungsinya sebagai tempat ibadah juga sebagai tempat musyawarah kaum. 

Surau juga menjadi sarana untuk generasi muda belajar ilmu agama, adat, dan permainan anak nagari (anak muda) seperti silek, randai, pasambahan dan kegiatan lainnya.

Sistem pendidikan surau ini dulunya di Minangkabau berpengaruh besar melahirkan cendikiawan dan intelektual untuk mencapai terwujudnya kemerdekaan Indonesia. 

Sebut saja Moh. Hatta, Imam Bonjol, Buya Hamka, Sultan Syahril, Agus Salim, Tan Malaka, Chairul Anwar, syaikh Ahmad Khatib Al Minangkabawi dan banyak lagi nama yang lain. 

Beliau-beliau ini di masa mudanya lebih banyak menghabiskan waktu di surau dibandingkan di rumah. Dari asar hingga salat subuh mereka diajarkan pendidikan agama, adat istiadat, silat, pasambahan, randai, dan sebagainya.

Setelah selesai belajar yang laki-laki akan tidur di surau hingga subuh sedangkan yang perempuan pulang ke rumah masing-masing. Jika ada laki-laki yang tidak tidur di surau kadang ditertawai teman-teman lain dengan istilah "bujang gadih", sudah besar masih tidur di rumah.

Ini yang memupuk jiwa anak muda Minangkabau untuk berani keluar dari zona nyaman orangtuanya untuk mencari bekal ilmu yang akan menuntunnya hingga dewasa nantinya. 

Makanya tidak heran kalau laki-laki Minang banyak merantau sebab jiwa itu sudah melekat dalam dirinya. Mereka memberanikan dirinya berpisah sementara dengan orangtua untuk memperluas cakrawalanya di daerah lain mencari kehidupan yang lebih baik tentunya.

Di surau inilah peran tiga tokoh adat difungsikan yaitu niniak mamak, alim ulama, dan cadiak pandai. Ketiga tokoh ini saling menguatkan satu sama lain yang dikiaskan seperti tali tigo sapilin, tungku tigo sajarangan.

Ketiga tokoh ini memiliki perannya masing-masing dalam surau. Ninik mamak berperan memberikan pembelajaran tentang adat istiadat yang berisi tentang cara bertutur kata, tingkah laku, dan sopan santun.

Pada pembelajaran ini mereka diajarkan tentang kato nan ampek yaitu kato mandaki, kato manurun, kato malereng, dan kato mandata, sehingga mereka generasi muda minangkabau ini mengetahui cara bertutur kata dengan orang yang lebih tua, yang sebaya, dengan sumando (suami saudara perempuan), bahkan dengan yang lebih kecil darinya.

Sedangkan alim ulama berperan dalam mengajarkan ilmu tentang agama seperti akidah (tauhid), akhlak, serta Al-Qur'an. Sementara sang cerdik pandai menuntun generasi muda mengenal tentang kesenian dan kerajinan anak nagari seperti silat, pasambahan (pidato adat), randai, seni ukir, dan sebagainya.

Biasanya di bagian samping atau di bagian depan dari surau terdapat lapangan atau halaman yang cukup luas. Masyarakat Minangkabau menyebutnya dengan Medan nan bapaneh, yaitu lapangan yang difungsikan kaum muda-mudi minang bermain bermacam kesenian tradisi seperti randai, belajar musik tradisi, silek, sipak rago (takraw) dan bermacam-macam pemainan anak nagari lainnya. 

Di sanalah mereka berkumpul bersenda gurau bersama teman-temannya.

Artinya di lingkungan surau ini mereka tidak hanya menimba ilmu agama saja tetapi surau sudah seperti sanggar sebagai tempat mereka mengenal beragam seni tradisi yang sudah turun temurun dari nenek moyang mereka dari dahulu. 

Mereka dikungkung dan diarahkan oleh tiga tokoh adat tadi yaitu ninik mamak, alim ulama, dan cadiak pandai lingkungan surau.

Seiring berkembangnya zaman surau mulai terlupakan. Anak muda yang dulu sering menghabiskan waktu bersama teman-temannya di surau kini hanya tinggal cerita.

Mereka sekarang lebih banyak menghabiskan waktu untuk kegiatan yang tidak ada faedah seperti bermain game, berkumpul di tempat-tempat yang memberikan dampak negative yang akan merusak masa depannya , pergaulan bebas, kenakalan remaja, hingga penggunaan obat-obat terlarang.

Dari gambaran ini kita perlu mengetahui khususnya masyarakat Minangkabau, apa yang menyebabkan perubahan ini terjadi, hal apa yang telah kita lupakan dalam membangun generasi-generasi untuk masa yang akan datang.

Tidak dipungkiri faktor utama yang menyebabkan peralihan perubahan ini adalah perkembangan zaman secara global. Di lain sisi perkembangan surau tidak mengikuti perkembangan tersebut sehingga surau dilupakan di tengah-tengah kehidupan masyarakat sekarang di Minangkabau.

Selain itu peran tokoh-tokoh dalam masyarakat Minangkabau yaitu ninik mamak, alim ulama, dam cadiak pandai tidak lagi berjalan bersama di tengah masyarakat.

Di Minangkabau peran besar dalam suatu kaum atau suku dipegang oleh ninik mamak atau penghulu adat. Beliau-beliau ini memiliki kuasa untuk mengatur setiap kaumnya agar terpelihara dari hal-hal yang dapat merusak dan merendahkan martabat kaum/sukunya.

Peran ini sudah mulai terabaikan di mana falsah adat yang mengatakan anak dipangku kamanakan dibimbiang (anak digendong, keponakan dibimbing) tidak lagi diterapkan oleh beberapa ninik mamak suatu kaum. Mereka lebih mentingkan kehidupan anak dengan istrinya tanpa menghiraukan kehidupan anak kemenakannya.

Sebab peran ayah dalam suatu keluarga Minangkabau hanya sebatas membesarkan anak, memberikan kehidupan yang layak dan pendidikan untuk anak-anaknya. 

Sedangkan pendidikan yang menyangkut tentang adat istiadat merupakan tugas dari seorang mamak (saudara laki-laki ibu) untuk memberikan pemahaman terhadap kemenakannya.

Untuk itu melalui tulisan ini saya mengajak termasuk diri penulis untuk sadar akan tugas kita masing-masing dari bagian masyarakat Minangkabau untuk kembali bersama membangun generasi yang sadar akan pentingnya melestarikan tradisi dan kebudayaan Minangkabau agar tidak lenyap terkikis oleh perkembangan zaman. 

Untuk melakukan perubahan tersebut bisa kita mulai dari setiap keluarga di mana peran mamak, ayah, dan ibu menjadi faktor penting dalam memberikan pemahaman ilmu agama serta adat istiadat bagi anak dan kemenakannya.

Untuk para generasi muda (cadiak pandai) bersama kita melestarikan keseniaan-kesenian tradisi Minangkabau yang menjadi identitas kita sebagai masyarakat yang berbudaya untuk menjadi generasi penerus yang akan memegang teguh adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun