Mohon tunggu...
heru mulyanto
heru mulyanto Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Healthy

Apa yang Salah dengan Dokter Indonesia?

31 Mei 2015   23:04 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:25 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejarah pendidikan kedokteran di Indonesia telah melalui perjalanan yang panjang. Setidaknya sejak diadakannya sekolah mantri cacar, sekolah dokter jawa, STOVIA/NIAS, sekolah kedokteran masa pendudukan jepang hingga era kemerdekaan. Sekolah-sekolah kedokteran ini disamping menghasilkan dokter-dokter pribumi yang dapat mengobati bangsanya sendiri juga telah melahirkan tokoh-tokoh pemikir dan tokoh pergerakan menuju Indonesia Merdeka. Kita tentu tidak lupa dr. Sutomo, dr. Cipto Mangunkusumo, dr Wahidin, dr. J Leimena, dr. G Siwabessy dan dr. Suwarjono Suryaningrat ?

Demikian pula pelayanan kesehatan kita telah melalui masa perjalanan yang panjang. Alih-alih menjadi pusat rujukan kawasan, pelayanan kesehatan kita semakin sering diisi berita buruknya pelayanan, laporan tindakan malpraktik dan masih berbondong-bondongnya pasien masyarakat kita yang lebih memilih pelayanan kesehatan negeri jiran. Jangankan dengan Singapura, dengan Malaysia pun yang dahulu banyak belajar dari kita telah berlari jauh meninggalkan kita dalam kualitas layanan kesehatan.  Apakah memang dokter-dokter kita kalah dalam hal kualitas ?

Menurut pendapat penulis, kualitas dokter kita tidak kalah dengan dokter asing. Malah dalam beberapa hal kemampuan dokter-dokter kita tidak diragukan. Kelemahan utama dokter-dokter kita adalah dalam komunikasi dan kerjasama tim. Dokter-dokter kita miskin komunikasi dan informasi. Berapa banyak dokter kita dapat meluangkan waktu lebih banyak untuk pasien dalam menjelaskan segala hal mengenai penyakit. Kita sering mendengar begitu mudahnya pasien masyarakat kita menghubungi dokter pribadinya di Singapura hanya lewat pesan pendek. Belum lagi masalah dalam kerjasama tim. Dokter kita pintar kalau bekerja sendiri-sendiri namun menjadi tidak padu bila dalam bentuk tim. Lagi-lagi masalah komunikasi.

Pekerjaan pengobatan tidak lah melulu tentang kesanggupan pasien membayar biaya berobat. Banyak bukti menunjukkan kesembuhan pasien dipengaruhi pula oleh komunikasi dan empati yang baik dari dokter. Pada era Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) saat ini dokter-dokter kita ditantang untuk menyandarkan diagnosis pada kemampuan anamnesis dan pemeriksaan jasmani sehingga biaya pemeriksaan yang tidak perlu dapat ditekan.

Dengan tidak mengurangi penguasaan teknologi mutakhir, pusat-pusat pendidikan kedokteran hendaknya meningkatkan kemampuan komunikasi dan kerjasama tim, rasanya dokter-dokter kita dapat bersaing dengan sejawat dari negara mana pun.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun