Mohon tunggu...
Heru Legowo
Heru Legowo Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Seorang yang suka sesuatu hal yang baru, yang menantang fisik, kecerdasan dan yang penting segala sesuatu yang membuatnya merenung! Oleh karenanya, dia kerap melakukan pekerjaan atau perjalanan yang tidak biasa. Hal-hal baru dan tempat-tempat baru selalu mengusik keinginan-tahuannya. Dia akan melakukan apa saja untuk dapat mengerti dan memahaminya, kemudian berusaha menuliskan pengalamannya; untuk sekedar berbagi. Semoga bermanfaat …

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Tegal : Sejarah Gili Tugel

24 Juni 2015   09:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:22 5321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kota Tegal selalu menarik dan membuat setiap orang mengenal karena logatnya yang khas. Rasanya tidak banyak bahasa daerah yang sangat khas yang menjadi icon daerahnya dengan tegas dan jelas. Logat yang khas dan meng-Indonesia, dapat dihitung dengan sebelah jari tangan, sebut saja misalnya: bahasa Madura, Batak & Suroboyo-an. Intonasinya terasa straight forward, tanpa basa-basi dan apa adanya, sehingga lantas cepat menjadi akrab. Begitu juga bahasa Tegal yang spesifik dan langka. Langka dalam bahasa Tegal dilafazkan dengan laka. Oleh sebab itu Tegal memiliki tagline : Tegal laka-laka, artinya Tegal yang sangat khas dan tidak bisa disamai. Simaklah kata-kata Tegal yang diadopsi dan dikenal luas : "Gagal maning, son!".

Jika anda memasuki kota Tegal dari arah Brebes, anda akan menemui pertigaan antara Jalan Diponegoro, Jalan AR. Hakim dan Jalan Sudirman di Kota Tegal. Pertigaan jalan tersebut merupakan jalur Tegal-Jakarta. Orang-orang menyebutnya Gili Tugel. Sepintas kilas pertigaan itu seperti tidak ada istimewanya. Setiap hari pertigaan tersebut sibuk dengan berbagai jenis kendaraan yang lewat. Saya penasaran mengapa jalan tersebut disebut Gili Tugel. Apanya yang tugel (putus jadi dua)? Saya mencoba mencari penjelasan mengenai Gili Tugel ini di internet dari berbagai sumber. Mengapa jalan ini disebut Gili Tugel?

Dari bacaan hasil browsing dan bertanya ke Mbah Google, saya menemukan ada dua versi sejarah terjadinya Gili Tugel yaitu :

1. Versi pertama : terjadi perang tanding dramatis antara Tumenggung Martoloyo, Adipati pertama Tegal dengan adiknya Adipati Martopuro dari Jepara (1670-an) yang masih satu guru dan satu ilmu. Kedua-duanya adalah Adipati yang sakti dan pilih tanding. Akhirnya keduanya sampyuh pada perang tanding yang mempertahankan prinsipnya masing-masing. Peristiwa ini terjadi pada masa Sunan Amangkurat II, putra dari Sunan Amangkurat atau Sunan Tegalwangi.

2. Versi kedua : Kisah Bupati Kaloran atau Raden Panji Cakranegara yang menentang kebijakan kerja paksa pembuatan jalan Daendels. Banyak rakyat yang telah dipaksa bekerja paksa, lalu Belanda menghukum pancung dan lehernya putus rakyat yang berani melawan pada waktu mengerjakan jalan itu.

Latar belakang :
Menelusuri sejarah dan mecoba mencari apa yang pernah terjadi, sehingga dapat sekedar membayangkan peristiwa masa silam. Dengan menelusuri google dan mencari catatan-catatan sejarah yang tersebar, saya mencoba merekonstruksi masa silam. Barangkali mozaic yang terpecah-pecah itu dapat membentuk gambaran masa silam.

Alkisah pada akhir tahun 1670 beberapa saat sebelum Amangkurat I meninggal tahun 1677, situasi Mataram kacau balau dengan merebaknya pemberontakan yang dipimpin Trunojoyo. Terjadi perang saudara yang luar biasa. Ditengah kekacauan itu, Amangkurat I terdesak dan menyingkir ke arah Barat. Kemudian Mataram dikuasai Trunojoyo, yang menjarah keraton Mataram di Plered. Dan kekacauan terus berlanjut tidak terkendali. Dalam kebingungannya, Amangkurat I bersekutu dengan Belanda (VOC) untuk meredam kekacauan yang terus tidak terkendali.

Dengan campur tangan VOC, perang pun berakhir, tetapi setelah perang saudara usai, justru inilah menjadi awal dari penjajahan. Atas jasanya meredakan kekacauan di wilayah Mataram, VOC meminta bayaran yang sangat mahal dan tak mungkin terbayarkan oleh pihak kerajaan. Inilah yang menjadi beban Amangkurat I sampai dengan akhir hayatnya.
Pemerasan VOC terhadap kerajaan Mataram, berlanjut sampai Amangkurat II menggantikan Sunan Tegalarum menjadi raja. Amangkurat II menjadi bingung karena harus melunasi ‘hutang’ yang tertunda kepada VOC. Padahal setelah pemberontakan Trunojoyo, keuangan kerajaan habis dan nyaris bangkrut.

Dalam kebingungan yang memuncak, Amangkurat II terpaksa merelakan wilayah pesisir utara Jawa dikuasai oleh VOC. Kendatipun mereka tetap membayar uang sewa tiap tahunnya, tetapi VOC tidak pernah mengembalikan wilayah pesisir utara kepada kerajaan. Hal ini membuat Mataram kehilangan pendapatan penting, dan Mataram semakin terisolasi dari kerajaan-kerajaan di wikayah Asia Tenggara. Komunikasi dengan pusat-pusat studi di Asia Selatan menjadi sulit, dan kian meningkatnya ketergantungan terhadap Belanda.

Pada masa itu Tegal dibawah pemerintahan Adipati Martoloyo. Melihat Amangkurat II begitu lemah kepada VOC, Adipati Martoloyo menjadi tidak respek dan tidak patuh kelada Amangkurat II. Sang Adipati selalu membangkang dan tidak sudi memberikan upeti kepada Mataram. Walaupun daerah kekuasaan Martoloyo telah diperluas dari pantai Jepara ke Barat hingga wilayah Tegal, Brebes dan Losari. Dalam pandangan Martoloyo, Amangkurat II itu benar-benar telah menjadi boneka VOC. Karena itu dia tak mau membayar pajak, situasi ini menyebabkan hubungan antara Adipati Martoloyo dan Amangkurat II tidak mulus dan semakin besitegang. Belanda ingin memanfaatkan keadaan ini untuk menyingkirkan Martoloyo, agar penguasannya di pantai utara tidak ada terganggu.

VOC kemudian menjalankan taktiknya. Gubernur Jendral Belanda Mr. Maetsuyke lalu mengutus Laksamana Cornelis Speelman dari VOC untuk menemui Amangkurat II. Tujuannya asalah bagaimana melenyapkan Martoloyo. Adipati Tegal selain sakti, juga paling ngotot, pembangkang dan selalu bersitegang dengan rajanya. Politik devide et impera kemudian digunakan Belanda untuk melenyapkan Adipati Martoloyo. Caranya Belanda meminta agar Amangkurat II mengadakan pertemuan agung, para Adipati se-Jawa bertempat di Kadipaten Jepara.

Adapun topik utama pertemuan adalah penandatanganan ‘Naskah Kerjasama’ dengan imbalan tanah-tanah milik Kerajaan Mataram. Maka pada tanggal 17 Januari 1678 berlangsung pertemuan agung itu, dihadiri semua adipati termasuk Adipati Martoloyo dan Adipati Martopuro. Pada pertemuan itu Adipati Martoloyo yang memegang dengan teguh prinsipnya, menentang keras kesepakatan itu dan menolak untuk berkerjasama. Dia lalu pergi, menyingkir meninggalkan pertemuan agung.
Kesempatan itu dipakai oleh Belanda untuk menekan Amangkurat II agar menangkap Martoloyo. Tetapi Amangkurat II mengerti bahwa Adipati Martoloyo itu berilmu tinggi dan tak tertandingi. Satu-satunya adipati yang mampu bertarung melawan Martoloyo, hanya Adipati Martopuro dari Kadipaten Jepara yang memiliki kesaktian yang setara, yang diperoleh dari guru dan ilmu yang sama.

Versi Satu
Amangkurat II lalu memerintahkan Adipati Martopuro untuk memaksa Adipati Martoloyo kembali menghadap dalam keadaan hidup atau mati. Adipati Martopuro pun segera bergegas menyusul Adipati Martoloyo. Ketika berhadapan dengan Martoloyo, ternyata Martopuro tidak sampai hati menyatakan maksud tujuannya. Meskipun begitu, Martoloyo tahu apa yang ingin dikatakan Martopuro. Oleh karenanya lalu Adipati Martoloyo memberi penjelasan dan nasehat. Tetapi tidak tercapai kata sepakat, justru terjadi perselisihan karena perbedaan prinsip diantara keduanya. Dan perselisihan itu telah berubah menjadi perang tanding.

Martoloyo tetap berpegang teguh pada idealismenya untuk tidak memihak penjajah, sedangkan Martopuro bersikeras menjunjung pengabdian dan kesetiaannya pada rajanya, Amangkurat II. Pertarungan antara keduanya tak terelakkan. Karena bukan disebabkan dendam atau permusuhan, mereka benar-benar menunjukkan jiwa dan etika ksatria dalam pertarungan. Sebagai adik, Martopuro bahkan meminta ijin untuk menyerang Martoloyo terlebih dahulu. Tragis, tidak ada pemenang dalam pertempuran itu. Martoloyo dan Martopuro gugur membela prinsip masing-masing. Mereka saling tikam dengan menggunakan pusaka keris sakti. Kedua adipati yang sakti itu tewas sampyuh. Adipati Martoloyo mati karena tikaman keris Ki Kasur, sedang Adipati Martopuro mati karena keris Ki Sepuh.

Kematian sampyuh kedua Adipati yang sakti diketahui oleh Gendowor, plekatik (juru kuda) Adipati Martoloyo yang setia. Dia bergegas meninggalkan tempat dimana dia bekerja sebagai pencari rumput untuk kuda majikannya. Dengan sabit ditangan, perasaan gerah dan dongkol, kuda tunggangannya dipacu kencang menuju ke pendopo. Di sana dilihatnya rakyat Tegal berjubel-jubel. Gending lara tangis menyayat hati. Turun dari kuda, Gendowor bergegas berjalan menuju pendopo. Betapa terkejutnya ketika mendapatkan junjungannya telah tewas sampyuh di samping Adipati Martopuro.

Di sisi mayat majikannya, Gendowor bersimpuh. Dia bersumpah akan menumpas semua Kompeni Belanda. Setelah dia memacu kudanya memburu orang-orang Kompeni,. Orang-orang Kompeni yang berpapasan dengannya ditebas batang lehernya. Puluhan kepala bergelimpangan dan darah berceceran. Tempat pemenggalan dan kepala yang putus dan tubuh bergelimpangan itu terjadi di sebuah pertigaan. Pertigaan itu kemudian dinamakan Gili Tugel. Mungkin karena banyaknya Gulu (leher) yang Tugel (putus).
Ketika kecil dulu saya pernah menonton wayang orang. Adegan perang tanding antara Adipati Martoloyo dan Adipati Martopuro ini sungguh sangat membekas sebgai kenangan yang mendalam. Ternyata inilah penjelasannya.

Versi Kedua
Gubernur Jenderal Bekanda Mr. Herman William Daendels membuat jalan dari Anyer (Banten) sampai Panarukan (Jawa Timur) sejauh 1000 km pada tahun 1809 – 1810. Sebetulnya disebut Jalan Pos. Tujuannya adalah untuk mempercepat penerimaan surat-surat yang dikirim antar Anyer sampai Panarukan. Jalan-jalan itu dalam perkembangan selanjutnya telah berubah fungsinya mejadi jalan ekonomi. Jakan itu dapat memotong waktu tempuh antara Surabaya-Batavia yang sebelumnya ditempuh 40 hari, menjadi hanya 7 hari. Ini sangat bermanfaat bagi pengiriman surat, oleh Daendels kemudian dikelola dalam dinas pos. Pembangunan jakan iru memakan banyak korban rakyat pribumi akibat kerja rodi. Jugabrakyat Tegal yang tanahnya dilalui proyek pembuatan jalan ini.

Pada waktu itu Kabupaten Tegal dipimpin Raden Mas Tumenggung Panji Haji Cokronegoro. Bupati setiap hari dibuat repot, karena harus menyediakan 1000 orang untuk kerja paksa pembuatan jalan, Oleh karenanya Sang Bupati sangat prihatin dan sedih, karena rakyat yang kurang patuh, harus mendapat hukum pancung dari Belanda. Hampir setiap hari, Bupati Tegal menyaksikan peristiwa yang memedihkan itu. Tempat pelaksanaan hukuman pancung bagi yang menentang kerja rodi, terjadi di sebuah pertigaan jalan itu. Sejak itu, rakyat Tegal menamakan jalan tersebut dengan ‘Gilitugel’. Dalam bahasa Tegal Gili artinya jalan, dan Tugel artinya putus. Barangkali karena pembangunan Gili (jalan) mengakibatkan banyaknya gulu (leher) yang tugel (putus). Sampai sekarang jalan itu masih disebut dengan Gili Tugel, terutama disebut oleh generasi tua.

Penutup
Membaca kepahlawanan dan heroiknya Adipati Martoloyo membuat saya ikut berbangga hati, barangkali sifat dan sikap Martoloyo terus diturunkan kepada cucu buyutnya yang menjadi penduduk Tegal. Mereka kebanyakan ramah, bicara apa adanya, straight the point, dan tidak banyak basa-basi. Ucapannya barangkali terdengar kasar, tetapi menunjukkan keakraban dan persahabatan yang sejati.

Di warung-warung mereka biasa berkumpul moci (ngobrol sambil minum teh wasgitel dari poci yang terbuat dari tanah liat). Ditengah-tengah pembicaraan sering terdengar sapaan akrab : “Bangset, raimu wis suwe ora katon, maring endi bae sih?”

Pada bagian lain jalan tol Cikopo - Pemalang sepanjang 236 km telah selesai. Ini akan memicu kota-kota di sekitar pintu keluar tol akan berkembang. Brebes, Tegal, Pemalang bakalan berkembang lebih cepat. Para pebisnis pasti sudah mengantisipasi kemungkinan ini. Tegal kota bahari bakal segera memperoleh dampak positif dari jalan tol ini. Saya yakin pemerintah kota sudah mempersiapkan hal ini.
Mudah-mudahan.

Rabu, 24 Juni 2015
herulegowo@gmail.com

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun