Mohon tunggu...
Heru Legowo
Heru Legowo Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Seorang yang suka sesuatu hal yang baru, yang menantang fisik, kecerdasan dan yang penting segala sesuatu yang membuatnya merenung! Oleh karenanya, dia kerap melakukan pekerjaan atau perjalanan yang tidak biasa. Hal-hal baru dan tempat-tempat baru selalu mengusik keinginan-tahuannya. Dia akan melakukan apa saja untuk dapat mengerti dan memahaminya, kemudian berusaha menuliskan pengalamannya; untuk sekedar berbagi. Semoga bermanfaat …

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Tegal : Sejarah Gili Tugel

24 Juni 2015   09:26 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:22 5321
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Adapun topik utama pertemuan adalah penandatanganan ‘Naskah Kerjasama’ dengan imbalan tanah-tanah milik Kerajaan Mataram. Maka pada tanggal 17 Januari 1678 berlangsung pertemuan agung itu, dihadiri semua adipati termasuk Adipati Martoloyo dan Adipati Martopuro. Pada pertemuan itu Adipati Martoloyo yang memegang dengan teguh prinsipnya, menentang keras kesepakatan itu dan menolak untuk berkerjasama. Dia lalu pergi, menyingkir meninggalkan pertemuan agung.
Kesempatan itu dipakai oleh Belanda untuk menekan Amangkurat II agar menangkap Martoloyo. Tetapi Amangkurat II mengerti bahwa Adipati Martoloyo itu berilmu tinggi dan tak tertandingi. Satu-satunya adipati yang mampu bertarung melawan Martoloyo, hanya Adipati Martopuro dari Kadipaten Jepara yang memiliki kesaktian yang setara, yang diperoleh dari guru dan ilmu yang sama.

Versi Satu
Amangkurat II lalu memerintahkan Adipati Martopuro untuk memaksa Adipati Martoloyo kembali menghadap dalam keadaan hidup atau mati. Adipati Martopuro pun segera bergegas menyusul Adipati Martoloyo. Ketika berhadapan dengan Martoloyo, ternyata Martopuro tidak sampai hati menyatakan maksud tujuannya. Meskipun begitu, Martoloyo tahu apa yang ingin dikatakan Martopuro. Oleh karenanya lalu Adipati Martoloyo memberi penjelasan dan nasehat. Tetapi tidak tercapai kata sepakat, justru terjadi perselisihan karena perbedaan prinsip diantara keduanya. Dan perselisihan itu telah berubah menjadi perang tanding.

Martoloyo tetap berpegang teguh pada idealismenya untuk tidak memihak penjajah, sedangkan Martopuro bersikeras menjunjung pengabdian dan kesetiaannya pada rajanya, Amangkurat II. Pertarungan antara keduanya tak terelakkan. Karena bukan disebabkan dendam atau permusuhan, mereka benar-benar menunjukkan jiwa dan etika ksatria dalam pertarungan. Sebagai adik, Martopuro bahkan meminta ijin untuk menyerang Martoloyo terlebih dahulu. Tragis, tidak ada pemenang dalam pertempuran itu. Martoloyo dan Martopuro gugur membela prinsip masing-masing. Mereka saling tikam dengan menggunakan pusaka keris sakti. Kedua adipati yang sakti itu tewas sampyuh. Adipati Martoloyo mati karena tikaman keris Ki Kasur, sedang Adipati Martopuro mati karena keris Ki Sepuh.

Kematian sampyuh kedua Adipati yang sakti diketahui oleh Gendowor, plekatik (juru kuda) Adipati Martoloyo yang setia. Dia bergegas meninggalkan tempat dimana dia bekerja sebagai pencari rumput untuk kuda majikannya. Dengan sabit ditangan, perasaan gerah dan dongkol, kuda tunggangannya dipacu kencang menuju ke pendopo. Di sana dilihatnya rakyat Tegal berjubel-jubel. Gending lara tangis menyayat hati. Turun dari kuda, Gendowor bergegas berjalan menuju pendopo. Betapa terkejutnya ketika mendapatkan junjungannya telah tewas sampyuh di samping Adipati Martopuro.

Di sisi mayat majikannya, Gendowor bersimpuh. Dia bersumpah akan menumpas semua Kompeni Belanda. Setelah dia memacu kudanya memburu orang-orang Kompeni,. Orang-orang Kompeni yang berpapasan dengannya ditebas batang lehernya. Puluhan kepala bergelimpangan dan darah berceceran. Tempat pemenggalan dan kepala yang putus dan tubuh bergelimpangan itu terjadi di sebuah pertigaan. Pertigaan itu kemudian dinamakan Gili Tugel. Mungkin karena banyaknya Gulu (leher) yang Tugel (putus).
Ketika kecil dulu saya pernah menonton wayang orang. Adegan perang tanding antara Adipati Martoloyo dan Adipati Martopuro ini sungguh sangat membekas sebgai kenangan yang mendalam. Ternyata inilah penjelasannya.

Versi Kedua
Gubernur Jenderal Bekanda Mr. Herman William Daendels membuat jalan dari Anyer (Banten) sampai Panarukan (Jawa Timur) sejauh 1000 km pada tahun 1809 – 1810. Sebetulnya disebut Jalan Pos. Tujuannya adalah untuk mempercepat penerimaan surat-surat yang dikirim antar Anyer sampai Panarukan. Jalan-jalan itu dalam perkembangan selanjutnya telah berubah fungsinya mejadi jalan ekonomi. Jakan itu dapat memotong waktu tempuh antara Surabaya-Batavia yang sebelumnya ditempuh 40 hari, menjadi hanya 7 hari. Ini sangat bermanfaat bagi pengiriman surat, oleh Daendels kemudian dikelola dalam dinas pos. Pembangunan jakan iru memakan banyak korban rakyat pribumi akibat kerja rodi. Jugabrakyat Tegal yang tanahnya dilalui proyek pembuatan jalan ini.

Pada waktu itu Kabupaten Tegal dipimpin Raden Mas Tumenggung Panji Haji Cokronegoro. Bupati setiap hari dibuat repot, karena harus menyediakan 1000 orang untuk kerja paksa pembuatan jalan, Oleh karenanya Sang Bupati sangat prihatin dan sedih, karena rakyat yang kurang patuh, harus mendapat hukum pancung dari Belanda. Hampir setiap hari, Bupati Tegal menyaksikan peristiwa yang memedihkan itu. Tempat pelaksanaan hukuman pancung bagi yang menentang kerja rodi, terjadi di sebuah pertigaan jalan itu. Sejak itu, rakyat Tegal menamakan jalan tersebut dengan ‘Gilitugel’. Dalam bahasa Tegal Gili artinya jalan, dan Tugel artinya putus. Barangkali karena pembangunan Gili (jalan) mengakibatkan banyaknya gulu (leher) yang tugel (putus). Sampai sekarang jalan itu masih disebut dengan Gili Tugel, terutama disebut oleh generasi tua.

Penutup
Membaca kepahlawanan dan heroiknya Adipati Martoloyo membuat saya ikut berbangga hati, barangkali sifat dan sikap Martoloyo terus diturunkan kepada cucu buyutnya yang menjadi penduduk Tegal. Mereka kebanyakan ramah, bicara apa adanya, straight the point, dan tidak banyak basa-basi. Ucapannya barangkali terdengar kasar, tetapi menunjukkan keakraban dan persahabatan yang sejati.

Di warung-warung mereka biasa berkumpul moci (ngobrol sambil minum teh wasgitel dari poci yang terbuat dari tanah liat). Ditengah-tengah pembicaraan sering terdengar sapaan akrab : “Bangset, raimu wis suwe ora katon, maring endi bae sih?”

Pada bagian lain jalan tol Cikopo - Pemalang sepanjang 236 km telah selesai. Ini akan memicu kota-kota di sekitar pintu keluar tol akan berkembang. Brebes, Tegal, Pemalang bakalan berkembang lebih cepat. Para pebisnis pasti sudah mengantisipasi kemungkinan ini. Tegal kota bahari bakal segera memperoleh dampak positif dari jalan tol ini. Saya yakin pemerintah kota sudah mempersiapkan hal ini.
Mudah-mudahan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun