Tegal sebuah kota di Jawa Tengah memiliki ke khususan sendiri. Yang pasti warung nasinya yang khas, Warteg terkenal dimana-mana. Harganya yang murah meriah menjadi pilihan rakyat kecil atau siapa saja yang kebetulan sedang cupet duitnya. Juga banyak menyelamatkan mahasiswa agar bisa survive, karena telat mendapat kiriman uang dari orangtuanya.
Sabtu 13 Juni kemarin, saya ingin mencoba makanan khas Tegal, sauto. Katanya sauto yang enak ada di Talang kira-kira 7 km di sebelah selatan Tegal. Nah ketika meluncur ke selatan Tegal, saya kebablasen. Jadi saya putuskan mampir sekalian ke Tegalwangi, makamnya Sunan Amangkurat I. Seorang Sunan yang meninggal dalam pelarian karena kalah perang ketika akan meminta bantuan kepada Kumpeni Belanda. Dulu saya pernah kesini, ketika masih SMA, berarti hampir 44 tahun yang lalu. Lama sekali ya.
Makam Amangkurat I terletak kurang 1 km sebelah kanan dari jalan raya Tegal-Slawi. Ketika saya memasuki kompleks, makam ini tertata rapi terkesan lapang, tenang dan teduh. Gerbang makam terkunci, mesti ada juru kunci yang dapat membukanya. Lalu saya minta kepada juru kunci Bapak Kajluri untuk membuka gerbang, agar kami dapat melihat bagian dalam kompleks makam ini. Seseorang lalu menjemput beliau dari rumahnya yang berada dekat kompleks makam ini. Kemudian beliau datang dan mengantarkan kami masuk.
Memasuki gerbang makam, sebuah bangunan kayu berwarna kuning tua dengan tiang-tiangnya berwarna hjau tua, tampak artisik tegak berdiri diatas beberapa undakan lantai. Kami menaiki tangga dan memasuki cungkup makam yang berukuran + 4 X 5 meter. Sebuah makam berada ditengahnya dan dikerudungi kelambu putih. Bpk. Kajluri memimpin doa. Saya membacakan Al-Fatihah untuk Sri Susuhunan Amangkurat Agung atau Amangkurat I. Setelah itu kami melihat-lihat lokasi kompleks makam yang dikeramatkan masyarakat ini.
Alkisah, Sri Susuhunan Amangkurat Agung atau Amangkurat I (1646-1677), lahir tahun 1619 M. Ia anak Sultan Agung Hanyokrokusumo. Nama aslinya adalah Raden Mas Sayidin. Ibunya Ratu Wetan, putri Tumenggung Upasanta Bupati Batang keturunan, Ki Juru Martani. Ketika menjabat Adipati Anom ia bergelar Pangeran Arya Prabu Adi Mataram. Ia memiliki dua permaisuri. Putri Pangeran Pekik dari Surabaya menjadi Ratu Kulon yang melahirkan Raden Mas Rahmat, kelak menjadi Amangkurat II. Sedangkan putri keluarga Kajoran menjadi Ratu Wetan yang melahirkan Raden Mas Drajat, kelak menjadi Pakubuwana I.
Sejak umur 5–15 tahun, Raden Mas Sayidin dididik oleh Tumenggung Mataram. Setelah Sultan Agung mangkat, Amangkurat I menggantikannya, dan berkuasa tahun 1646-1677. Suatu masa yang dianggap sebagai tanda kemunduran Kerajaan Mataram.
Kekuasaan absolut Amangkurat I telah terlihat sejak ia terpilih jadi Sunan (singkatan dari Susuhunan) Mataram pada tahun 1646 M. Pada tahun 1647 Amangkurat I memindahkan ibukota kerajaan dari Kota Gede ke Plered. Berbeda dengan keraton di Karta (Kota Gede) yang terbuat dari kayu, Sunan membangun Keraton yang terbuat dari batu bata dan dikelilingi parit besar. Keraton yang berada di tengah parit buatan itu seperti menggambarkan jiwa Amangkurat yang terasing. Amangkurat I memang mencurigai siapapun yang berada disekelilingnya.
Konon pada setiap malam, seluruh kompleks Keraton disterilkan dari laki-laki. Hanya ia sendiri yang tinggal bersama ratusan wanita, abdi dalem, dan istri-istrinya. Penjagaan diserahkan kepada pasukan wanita, terdiri tiga puluh prajurit wanita cantik; yang disebut prajurit Trinisat Kenya yang dengan setia selalu menjaganya.
Kisah Cinta
Amangkurat I adalah raja yang kejam, arogan dan suka memaksakan kehendaknya. Sebelum menjadi Sultan dan masih menjadi putra mahkota, ia terlibat skandal dengan istri Tumenggung Wiraguna. Ketika menjadi Raja, Amangkurat I menumpahkan kebenciannya kepada Tumenggung Wiraguna. Sunan mengirimnya ke timur untuk menumpas ekspansi pasukan Bali di Blambangan. Di tempat yang jauh dari keluarga dan para pendukungnya itu, Tumenggung Wiraguna dibunuh. Konon, pembunuhnya adalah Kiai Ngabehi Wirapatra, orang kesayangan terdekat Sunan Amangkurat I.
Kisah cinta Amangkurat I yang dramatis adalah bersama seorang wanita cantik, putri seorang dalang wayang. Wanita itu kemudian lebih dikenal sebagai Ratu Malang. Pada saat itu wanita itu telah menikah dengan Kiai Dalem dan sedang hamil dua bulan. Untuk melancarkan niatnya mengawini sang wanita, Sang Sunan lalu membunuh Kiai Dalem, suami Ratu Malang.
Mengetahui suaminya dibunuh, Ratu Malang sepanjang siang dan malam meratapi kematian suaminya. Kemudian, ia jatuh sakit dan meninggal. Sang Sunan mengira bahwa kematian wanita yang dicintainya itu karena para selir-selir kerajaan yang cemburu kepadanya. Amangkurat I mencurigai para dayang-dayang kerajaan telah meracuni sang Ratu.
Sunan yang kecewa karena kematian wanita yang dicintainya, lalu mengukum mati 43 orang selir dan dayang-dayangnya dengan cara mengasingkan mereka dan tidak diberi makan dan minum sama sekali. Bahkan satu orang selirnya yang masih hidup di pengasingan, akhirnya dikubur hidup-hidup disamping makam Ratu Mayang.
Kekuasaan
Dalam memerintah Sunan tidak seperti ayahnya. Amangkurat I justru menjalin hubungan dengan VOC yang pernah diperangi ayahnya. Pada tahun 1646 ia mengadakan perjanjian, VOC diizinkan membuka pos-pos dagang diwilayah Mataram. Sedangkan Mataram diizinkan berdagang ke pulau-pulau lain yang dikuasai VOC. Kedua pihak juga saling melakukan pembebasan tawanan. Perjanjian tersebut oleh Amangkurat I, dianggap sebagai bukti bahwa VOC takluk terhadap kekuasaan Mataram. Namun Amangkurat I kemudian terperangah, ternyata anggapannya salah. VOC menyerag dan merebut Palembang tahun 1659.
Dalam pada itu, permusuhan Mataram dan Banten juga semakin buruk. Pada tahun 1650 Cirebon ditugasi menaklukkan Banten, tetapi gagal. Sementara itu hubungan diplomatik Mataram dan Makassar yang dijalin Sultan Agung, akhirnya juga hancur di tangan putranya. Pada tahun 1658 Amangkurat I menolak duta-duta Makasar dan menyuruh Sultan Hasanuddin datang sendiri ke Jawa. Tentu saja permintaan itu ditolak oleh Sultan Hasanuddin.
Pemberontakan Trunajaya
Amangkurat I juga berselisih dengan putra mahkotanya, yaitu Raden Mas Rahmat. Pada tahun 1661 Mas Rahmat melancarkan aksi kudeta, tetapi gagal. Amangkurat I menumpas seluruh pendukung putranya itu. Sebaliknya, Amangkurat I juga gagal dalam usaha meracun Mas Rahmat tahun 1663.
Mas Rahmat yang sudah dipecat dari jabatan Adipati Anom berkenalan dengan Raden Trunajaya menantu Panembahan Rama alias Raden Kajoran tahun 1670. Panembahan Rama mengusulkan agar ia membiayai Trunajaya untuk melakukan pemberontakan terhadap Amangkurat I. Diperkirakan terjadi perselisihan antara Trunajaya dan Adipati Anom, sehingga Trunajaya tidak jadi menyerahkan kekuasaan kepada Adipati Anom seperti rencana semula. Malah melakukan penjarahan istana Kartasura. Mas Rahmat yang tidak mampu lagi mengendalikan Trunajaya pun berbalik, kembali memihak ayahnya.
Pada tanggal 28 Juni 1677 Trunajaya berhasil merebut istana Plered. Amangkurat I dan Mas Rahmat melarikan diri ke barat. Jatuhnya Istana Plered, menandai berakhirnya era Kesultanan Mataram.
Amangkurat I Wafat
Amangkurat Imenyelamatkan diri dan lari dari istana. Barangali karena tekanan mental karena kehilangan kekuasaan, dalam pelarian itu Amangkurat I jatuh sakit. Menurut Babad Tanah Jawi, kematiannya dipercepat oleh air kelapa beracun pemberian Mas Rahmat. Meskipun demikian, Amangkurat I tetap menunjuk Mas Rahmat sebagai Raja Mataram selanjutnya, tetapi disertai kutukan bahwa keturunannya kelak tidak ada yang menjadi raja, kecuali satu orang dan itu pun hanya sebentar.
Amangkurat I meninggal pada 10 Juli 1677 di desa Wanayasa, Banyumas dan berwasiat agar dimakamkan dekat gurunya di Tegal. Lalu pada tanggal 13 Juli 1677 Amangkurat I dimakamkan di sebuah desa. Tanah daerah tersebut berbau harum, oleh sebab itu desa tempat Amangkurat I dimakamkan, kemudian disebut Tegal Wangi atau Tegal Arum.
Penutup
Kisah-kisah seputar Mataram sangat menarik. Kerajaan ini menghasilkan dua orag raja yang masing-masing menyimbolkan dua kondisi yang sangat bertolak belakang. Sultan Agung Hanyokrokusumo, sang ayah, dengan kepemimpinan Jawanya yang ideal, protagonis, bijaksana, populis dan layak diteladani. Sedangkan sang anak, Amangkurat I mewakili sifat ekstrim seorang pemimpin : kejam, antagonistik, paranoid, sekehendak hatinya sendiri dsbnya. Sang ayah membesarkan kerajaan, sang anak yang merusakkannya. Sang ayah melawan penjajah, sang anak menjadi kolabolator penjajah.
Walaupun demikian, ada satu hal yang selalu menarik seperti diakui para sejarawan Belanda, bahwa seburuk dan sekejam apapun pemimpinnya, rakyat Jawa selalu menghormatinya. Barangkali ini timbul dari filosofi Jawa “Mikul dhuwur, mendem jero” Menjunjung tinggi segala sesuatu yang baik, dan menguburkan semua sifat buruk, kejelekan dan aib seseorang.
Orang Jawa barangkali memang pemaaf dan mudah melupakan masa silam. Buktinya sampai saat masyarakat Jawa masih menghormati makam Amangkurat I di Tegal Wangi sebagai keramat. Tidak ada yang mengenang Amangkurat sebagai tokoh yang kejam, sadis dan menyeramkan.
Bandingkan dengan Hitler yang sampai saat ini dipandang sebagai aib sejarah oleh kebanyakan penduduk Jerman.
herulegowo@gmail.com
Rabu, 17 Juni 2015
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI