[caption caption="'"][/caption]
Masa-masa indah anak SMA perlahan berubah menjadi masa-masa yang paling menjemukan saat kami duduk dikelas XII. Saat kami harus lebih banyak belajar daripada bermain yang mungkin tidak penting. Dari pagi ketika kami membuka mata, hingga mata kami kembali terpejam ditengah malam karena terlalu lelah dangan kata-kata, dengan angka-angka bahkan dengan rumus-rumus yang harus kami hafal secara detail untuk menghadai Ujian Nasional diakhir tahun. Standar kelulusan UN yang mengharuskan kami untuk belajar lebih dari biasanya. Dibandingkan saat kami masih kelas XI atau kelas X. Tidak boleh lagi ada waktu untuk bermain, tidak boleh ada lagi waktu untuk bersantai, atau sekedar berkumpul bersama teman-teman ditempat biasa.
Entah standar kelulusan yang terlalu tinggi atau kami yang terlalu takut untuk menghadapinya. Bapak ibu guru yang terlalu khawatir atau orang tua yang terlalu berlebihan menyikapi standar kelulusan UN. Yang pasti bapak ibu guru di sekolah menginginkan kami melupakan semuanya, kecuali belajar. Supaya kami lebih bisa berkonsentrasi dan nantinya bisa lulus UN dengan nilai terbaik. Orang tua yang ketakutan anaknya tidak lulus UN juga menginginkan anaknya untuk mengikuti les tambahan. Entah karena mereka memang tahu yang terbaik buat anaknya. Supaya anaknya pintar atau sekedar menjaga gengsi karena anak tetangga rumah juga mengikuti les tambahan. Mungkin bisa menjadi suatu kebanggaan jika anak kesayangannya mendapatkan nilai terbaik di sekolah.
Entah secara sadar atau terpaksa, temen-temen banyak yang mengikutinya. Mulai dari les privat di tempat guru mapel sampai ke tempat bimbingan belajar yang lebih mentereng. Karena takut tidak lulus atau sekedar pengen seperti temen-temennya yang lain. Atau sekedar biar kelihatan keren karena jadwal les tambahan. Sekedar bisa ketemu dengan siswa-siswa dari sekolah lain bisa saja jadi alasan mereka. Cari teman baru atau malah sekalian berharap dapat pacar disana.
Ujian Nasional diakhir tahun seperti menjadi momok bagi insan pendidikan, bagi siswa, guru, bahkan orang tua yang tak mungkin bisa menolak jika berbicara tentang anaknya yang sudah kelas XII. Masa-masa sekolah yang paling indah rasanya harus sejanak dilupakan karena Ujian Nasional. Cerita cinta diusia muda yang memberi warna tersendiri mungkin juga harus ditinggalkan. Alasannya sih sederhana, jangan sampai galau karena mikirin si doi. Bisa-bisa pikiran yang seharusnya fokus buat Ujian Nasional malah terganggu karena  masalah asmara. Entah karena lupa sms atau sekedar si doi gak perhatian. Jadi ribut sendiri karena curiga nunggu si doi gak juga bales sms. Status facebook yang dibuat untuk si doipun juga diabaikan. Gak ada komentar atau sekedar ngasih jempol yang bisa membuat sedikit tersenyum. Parahnya lagi sampai gak mau makan hanya gara-gara mikirin si doi. Dan akhirnya harus putus karena alasan ingin fokus ujian. Gak peduli mau bertambah baik atau malah justru semakin parah keadaannya.
Mungkin bagi kami itu konyol, tapi itu hak mereka yang harus bisa kami mengerti. Perbedaan yang seharusnya tidak menjadikan kami saling memaki. Perbedaan yang seharusnya tidak membuat kami saling berdebat untuk mencari siapa yang paling pintar dan siapa yang paling bodoh. siapa yang paling dewasa atau siapa yang kekanak-kanankan. Kami sadar cinta tak bisa diprediksi. Kami bisa saja bernasib seperti mereka. Merasakan patah hati yang membuat kami bisa saja menangis.
Cuma satu hal yang tidak bisa kami mengerti. Bahkan untuk menerimapun mungkin kami tak akan pernah bisa. Tidak boleh ada lagi siswa kelas XII yang mengikuti ekskul. Tidak boleh ada lagi cerita tentang bermain bola. Kemenangan, kekalahan, siapa yang mencetak gol yang menjadi kebanggan kami harus dilupakan karena alasan Ujian Nasional.
Seperti mimpi disiang bolong, tak bisa diterima. Bermain bola yang menjadikan kami belajar arti sebuah perjuangan, kebersamaan, kerja keras dan arti keringat yang terbuang untuk meraih sebuah kemenangan. Bermain bola yang menjadikan kami belajar tanggung jawab, belajar menghargai teman dan belajar menerima sebuah kekalahan harus terhenti. Kekalahan yang mengajari kami untuk tidak rendah diri dan pantang menyerah. keterbatasan yang mengajari kami untuk senantiasa berbagi dan peduli. Kemenangan yang mengajari kami untuk tetap rendah hati dan tidak berpuas diri. nilai-nilai yang mungkin hanya bisa kami dapatkan dilapangan saat bermain bola. Bukankah belajar itu universal. Selama kita punya prioritas mana yang harus didahulukan rasanya tidak ada alasan kenapa kami harus dilarang bermain bola.
Kami adalah siswa-siswa yang terlanjur mencintai bermain bola. Bukan hanya itu, kami juga punya obsesi dan cita-cita yang sama terhadap pilihan kami. Cita-cita yang kami bangun semenjak kami duduk dikelas X. Meski kini kami berbeda kelas bukan berarti kami kehilangan semuanya. Kebersamaan yang selalu kami jaga hingga sekarang. Kami boleh berbeda jurusan tapi itu tidak membedakan mimpi kami dalam bermain bola. Aku, Yoga dan Apri dijurusan IPS sementara Ibnu, Fauzan, Aer, Rici dan Zain dikelas IPA.
Kami tidak ingin gagal di ujian nasional, tapi kami juga tidak mungkin bisa berhenti bermain bola. kami tidak ingin bodoh tapi kami juga tidak ingin kehilangan salah satu mimpi kami. Kami boleh saja gagal berkali-kali tapi menyerah sekali sama saja kami membunuh mimpi kami sendiri. Kami sudah berusaha mewujudkan sewaktu kami masih kelas X dan XI. Sampai kami berada dikelas XII impian itu belum terwujud. Apakah kami harus berhenti sampai disini.
Setiap harinya kami harus berpacu dengan waktu. Mengikuti pelajaran dari menit pertama sampai bel pulang sekolah. Mungkin waktu istirahat adalah waktu yang paling berharga. Waktu yang singkat untuk merefresh otak kami yang dipaksa seperti mesin untuk terus bekerja dan berpikir.