kenaikan PPN 12 persen bukan lagi mejadi proposal atau rancangan UU lagi atau sekedar isu yang sedang viral . Kenaikan PPN sebesar 12% pasti terjadi. Apapun ceritanya  akan membawa dampak politik dan ekonomi bagi Pemerintah Prabowo-Gibran sendiri. Boomerang kebijaksan yang sembrono dan senonoh. Perlu diingatkan kembali jika saat ini Pemerintah Prabowo masih dalam monitoring kerja-kerja politik selama 100 hari kerja.Â
HantuKebijakan  PPN 12% di perlakukan 1 Januari 2025, menjadi mencatatkan pahit bagi Kabinet  Merah Putih.Dapat dipastikan PPN akan naik menjadi 12 di awal Januari 2025. Presiden Prabowo Subianto sudah mengumumkan Pajak pertambahan nilai (PPN) tetap naik menjadi 12 persen pada tahun depan, kendati kenaikan tarif PPN itu hanya menyasar barang mewah.Kenaikan PPN tersebut diyakini  merupakan amanat UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan, Jakarta, Jumat (6/12).
Pertanyaan paling mendasar adalah untuk kepentingan siapa PPN 12 persen dipaksa diberlakukan per 1 Januari 2025 ?Â
Kebijakan Kontra ProduktifÂ
Kenaikan PPN berdampak langsung pada opini masyarakat secara keseluruhan. Masyarakat secara agregat tentunya akan berpikir negatif dan skeptis. Dalam kaca mata ekonomi bahwa awal pemerintahan era  Prabowo- Gibran ini sudah cacat dari sisi kebijakan ekonomi makro.Â
Kebijakan kenaikan PPN ini menurut penulis justru kontra produktif dengan apa yang sedang dibutuhkan para pelaku industri terutama produsen barang mewah padahal merekalah  sebenarnya yang memberikan  kontribusi pajak paling signifikan . Para produsen mobil dan ATPM ( Importir ) mobil adalah pihak yang akan menjerit. Dari deretan produk-produk yang dihasilkan dikategorikan mobil mewah.Â
Disusul kemudian para pelaku industri properti yang juga sama memberikan kontribusi terhadap  signifikasi penerimaan pajak ke pemerintah. Sektor properti akan semakin terpuruk di tengah lesunya transaksi penjualan baik di properti kelas menengah dan juga properti yang dikatakan sebagai produk mewah atau kelas atas.Â
Konsumen Terdempak
Seperti diketahui jika Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) sydah mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 menjadi UU APBN 2025 dalam Rapat Paripurna Pembicaraan Tingkat II atau Pengambilan Keputusan terhadap RUU tentang APBN Tahun Anggaran 2025 di Jakarta pada Kamis (19/9).
Dalam kesempatan tersebut, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati menjelaskan pendapatan negara diperkirakan mencapai Rp3.005,1 triliun didukung oleh penerimaan perpajakan sebesar Rp2.490,9 triliun dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp513,6 triliun. Terlihat jelas jika sumber pajak menjadi instrumen pendapat penerimaan pajak terbesar bukan dari sumber sumbangan kekayaan alam Indonesia atau kontribusi profit hasil kerja BUMN.Â
Mata rantai bisnis otomotif dan properti ujungnya adalah pihak konsumen selaku  pemakai. Konsumen yang notabenya adalah pembeli produk-produk  barang mewah tersebut adalah para pembayar pajak besar . Mereka salah satu pahlawan negara karena  kontribusinya pembayaran pajak .Â