Gempar GAFATAR
Eksistensi Gerakan Fajar Nusantara telah membuka mata publik tanah air pada periode awal tahun 2016 ini. Pembakaran dan perilaku anarkis di Mempawah Kalimantan Barat seolah menjadi momentum bagi aparat negara untuk melakukan evakuasi bagi seluruh eks anggota di seluruh propinsi khatulistiwa ini. Negara secara resmi melakukan “pengusiran legal” yang mengatasnamakan keamanan kepada orang-orang yang hendak membangun hidup melalui dunia pertanian ini. Pemerintah secara sistematis dan terorganisasi dalam waktu sekejap sudah berhasil mengevakuasi dan memulangkan ribuan warga negara Indonesia yang tidak bersalah ini menuju Pulau Jawa dan Sumatera.
Pasca tragedi pembakaran pemukiman dan pemulangan eks GAFATAR ini muncul dukungan dan hujatan dari berbagai personal, komunal maupun dunia internasional kepadanya. Keberadaannya telah menyihir keingintahuan masyarakat terhadap enomena dan esensi dari apa yang sedang diperjuangkan oleh gerakan berlogo matahari terbit ini. Pro dan kontra mewarnai nuansa publik negeri ini disebabkan oleh maraknya pemberitaan di media sosial. Hari ini banyak orang ingin mencari tahu informasi terkait seluk beluk dari organisasi yang berdiri pada tanggal 14 Agustus 2011 dan secara resmi dibubarkan pada tanggal 11 Agustus 2015.
Fatwa Sesat yang Tersesat
Pedih dan lara eks GAFATAR ini belum kunjung usai, karena beberapa hari setelahnya justru mendapatkan sebuah “justifikasi” sebagai organisasi sesat dan menyesatkan dari Fatwa Majelis Ulama Indonesia nomer 6 tahun 2016. Fatwa MUI Pusat ini melengkapi fatwa sebelumnya yang telah dikeluarkan oleh MUI Sultra, MUI Kalimantan Barat, dan MPU Aceh. Padahal, GAFATAR menurut AD/ART-nya oraganisasi ini berasaskan Pancasila dan menjunjung tinggi nilai-nilai kebenaran universal. Kendaraan yang membawa misi kebenaran ini terpaksa diadili oleh sebuah pandangan/penilaian sepihak dari majelis agama tersebut.
Fatwa MUI ini sebenarnya sudah diantisipasi oleh mantan pimpinan Gerakan Fajar Nusantara. Beberapa hari sebelum dikeluarkannya fatwa, mantan Ketua Umum Gerakan Fajar Nusantara telah menyatakan sikap keluar dari pemahaman agama islam mainstream. Dengan kata lain, ormas GAFATAR ini ingin menekankan bahwa dirinya bergerak bukan pada ranah agama tertentu, serta melepaskan diri dari jerat “agama Islam mainstream” yang hari ini sudah terpecah belah ke dalam beberapa golongan dan masing-masing golongan merasa bangga terhadap dirinya sendiri. Eks Ketum ini mempertegas bahwa perihal keyakinan adalah sangat individual dan asasi, sehingga tidak boleh dipaksakan oleh siapapun. GAFATAR sendiri mempunyai keyakinan bahwa para anggotanya berpegang teguh pada ajaran universal atau jalan kebenaran sejati yaitu Millah Abraham sebagaimana telah dicontohkan oleh para Nabi dan Rasul Tuhan Yang Maha Esa.
Dengan demikian, fatwa MUI ini tidak lagi relevan ditujukan kepada organisasi ini. MUI sebagai organisasi masyarakat berbasis keagamaan tidak berhak memberikan fatwa terhadap organisasi berbasis kesamaan kegiatan (sosial). Apalagi MUI ini mewakili salah satu agama tertentu yaitu Islam, sementara para anggota GAFATAR ini banyak terdiri atas berbagai macam agama di dalamnya. Akan tetapi, karena hasrat dan desakan atas nama masyarakat, MUI tetap bersikukuh mengeluarkan fatwa sesat kepada GAFATAR yang sedang berjuang menegakkan nilai-nilai ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kepemimpinan dan keadilan ini, sebagaimana diamanahkan dan dicita-citakan oleh foundhing father negeri ini.
Uji Kebenaran GAFATAR Vs MUI
Hal menarik pasca dikeluarkannya fatwa MUI tentang aliran GAFATAR yang sesat dengan pernyataan sikap eks Ketua Umum GAFATAR yang mempertegas berpegang teguh pada jalan hidup yang benar “Millah Abraham” adalah membuktikan siapa yang benar dan siapa yang sesat. Hari ini keduanya sudah memberikan argumen dan pernyataan benar menurut organisasinya masing-masing. Tinggal siapa yang benar-benar tersesat? Siapa yang benar-benar berjalan pada jalan hidup yang benar?
Untuk menjawab dan menganalisa siapa yang benar dan salah ini, maka tentu kita harus memahami apa itu kebenaran. Benar dan salahnya sesuatu harus diukur menggunakan metode ilmiah. Kebenaran harus diuji, divalidasi dan diverifikasi menurut kaidah ilmu yang ilmiah. Kebenaran itu sendiri menurut kamus bahasa Indonesia adalah keadaan yang cocok dengan keadaan sesungguhnya, sesuatu yang sungguh-sungguh ada, kelurusan hari, kejujuran dan tidak seorang pun menyangsikan. Untuk melihat sesuatu itu “benar atau salah” dapat melalui suatu metode atau teori yaitu korespondensi, koherensi maupun pragmatis.
Teori korespondensi adalah suatu teori yang menyimpulkan bahwa sesuatu pernyataan dianggap benar apabila berkorespondensi (berhubungan) dengan kenyataan atau fakta. Teori koherensi adalah suatu teori yang menyimpulkan suatu pernyataan dianggap benar bila pernyataan tersebut bersifat kehoren atau konsisten dengan pernyataan sebelumnya yang dianggap benar. Sementara teori pragmatis menyatakan bahwa sesuatu itu benar manakala mempunyai fungsional dan kebermanfaatan dan nilai kegunaan.
Jika memperhatikan teori kebenaran tersebut, maka paham atau ajaran eks Gerakan Fajar Nusantara maupun ideologi MUI dapat diuji dan diverifikasi melalui teori tersebut. Apakah ajaran GAFATAR dan MUI ini berkorespondensi dengan kenyataan? Apakah paham mereka berkoherensi dengan teori sebelumnya? Apakah MUI dan GAFATAR ini mempunyai nilai pragmatis atau kegunaan manfaat universal bagi kehidupan? Ukuran-ukuran ilmiah inilah yang harus dibuktikan oleh keduanya sehingga bisa dikatakan sebagai sesuatu yang “benar” dan tidak “sesat”.
Penulis mencermati bahwa apa yang dilakukan oleh eks GAFATAR ini hanya menggenapi dari teori-teori yang ada dalam kitab suci. Segala perilaku eks GAFATAR ini berkorespondensi atau terbukti dalam alam kenyaatan dan faktual. Mereka melakukan pertanian sebagai upaya korespondensi atau menggenapi dari teori atau perintah dan pernyataan yang ada dalam kitab suci. Mereka ini hanya menjadi figur penggenap dari teori-teori yang ada di dalam informasi kitab suci. Hal ini berbeda dengan MUI yang mengedepankan penafsiran teori-teori firman secara deduktif tanpa menguji kebenarannya dalam dunia empiris atau fakta di lapangan.
Selain itu, paham yang dipegang teguh oleh GAFATAR yaitu Millah Abraham juga cukup berkoherensi (terkait dan konsisten) dengan teori-teori sebelumnya. Millah Abraham adalah jalan hidup yang diikuti oleh para Nabi dan Rasul Allah sepanjang zaman. Jalan Kebenaran ilmiah Millah Abraham ini dapat dilihat dari keterkaitan dan kesinambungan beberapa firman Tuhan Yang Maha Esa dalam kitab suci Al Quran seperti Qs: Al Anam [6]: 161, Qs: An Nahl [16]: 123, Qs: Al Baqarah [2]: 130, dan Qs: An Nisaa [4]: 125. Gaya hidup Abraham telah menjadi suri tauladan bagi rasul-rasul setelahnya sebagaimana pernyataan firman Qs: Al Mumtahanah [60]: 4.
Secara teori kebenaran pragmatis, para mantan GAFATAR ini menunjukkan “buah” kebermanfaatan universal yang diberikan kepada masyarakat. Mereka melakukan aksi sosial gotong royong, donor darah, pendidikan pelatihan, serta hasil pertanian yang secara langsung dan pragmatis digunakan oleh khalayak manusia. Buah yang baik selalu dihasilkan dari batang dan akar yang baik. Aksiologi perilaku yang baik selalu merepresentasikan ontologi atau keyakinan yang benar. Sementara itu, keberadaan MUI juga mungkin memberikan hasil dan dampak bagi orang-orang yang menyakininya.
Kebenaran Selalu Menang
Dengan demikian, melalui uji teori kebenaran ini sebenarnya sudah mulai terlihat siapa yang benar dan siapa yang sesat. Namun begitu, hari ini tidak bisa disimpulkan siapa dari keduannya yang benar-benar dalam jalan kebenaran atau tersesat. Semua membutuhkan ujian-ujian dan teratmen untuk mengetahui mana sesungguhnya yang berjalan pada jalan hidup yang benar atau lurus. Kebenaran membutuhkan eksistensi ruang, masa dan waktu untuk membuktikannya. Biarlah perjalanan hidup ini akan menjadi saksi siapa yang menjadi padi atau ilalang, mana emas mana loyang, mana air dan mana buih, mana yang benar dan mana yang salah.
Kebenaran selalu menang pada waktunya. Ketika kebenaran datang maka kesesatan akan menghilang. Kebenaran murni akan selalu melalui fase atau tahapan dibenci, dihujat, dihina, dilarang, tetapi pada akhirnya akan diterima tanpa alasan secara luas. Jika eks GAFATAR yang membawa nilai-nilai kebenaran sejati pada hari ini sedang mengalami fase hujatan, hinaan, pengusiran, maka tidak menutup kemungkinan suatu saat nanti akan diterima secara luas tanpa alasan apapun. Toh, jika belajar dari perjuangan Rasulullah Muhammad dahulu juga pernah dicaci maki, dihujat, dibenci, diusir sehingga hijrah atau ekosdus ke Madinah, tetapi pada akhirnya bangsa Mekah menerima bahkan dunia mengakui sebagai pembawa kebenaran sejati dari Tuhan.
Apapun itu, sebenarnya perihal kepercayaan dan keyakinan adalah hak asasi yang paling fundamental. Manusia dan lembaga tidak boleh mengintervensi keyakinan seseorang bahkan menghakiminya. Konstitusi Negara ini juga sudah menjamin dan melindungi kebebasan menurut agama dan keyakinanya masing-masing. Bahkan Tuhan Yang Maha Esa sendiri tidak pernah memaksakan sistem hidupnya kepada manusia untuk mematuhi atau tidaknya. Namun demikian, setiap pilihan memiliki konsekuensi. Hari ini yang paling penting adalah memberikan kebebasan berkeyakinan dan berkarya untuk membuktikan siapa yang paling bermanfaat dan bisa menjadi perpanjangan tangan Tuhan Yang Maha Esa dalam berbuat kasih dan sayang kepada makhluk hidup lainnya, menjadi manusia berkat bagi semesta alam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H