Mohon tunggu...
Heru Mulyantoro
Heru Mulyantoro Mohon Tunggu... Penulis -

Life is choice to change for a better live

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pancasila, Sebuah Janji Tak Kunjung Terjadi

19 Desember 2014   09:24 Diperbarui: 17 Juni 2015   14:59 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pigura yang Menghilang

Penulis mencoba menelusuri keberadaan tulisan lima sila dasar negara Indonesia di rumah warga masyarakat. Inspirasi ini teringat oleh sebuah masa tahun 1990-an dimana saat itu masih banyak sekali di gubuk maupun rumah mewah selalu ada “pigura” tulisan Pancasila yang selalu terpampang di atas foto presiden dan wakil presiden RI. Namun kini, dari beberapa rumah yang penulis singgahi tak satupun ada yang menempelkannya pada dinding rumahnya. Entahlah, apakah ini menjadi tanda atau memang Pancasila kini sudah ada dalam lorong sepi sebagaimana ungkapan bapak B.J. Habibie.

Visualisasi “pigura” ini sebenarnya menunjukkan eksistensi keberadaan dari makna dibalik gambar yang divisualisasikan. Jika gambar yang tampak oleh mata sudah tidak terlihat, maka nilai-nilai abstrak yang kasat mata dibalik gambar juga bisa dipastikan hilang bersamanya.  Penulis tidak tahu apakah fenomena ini disengaja atau tidak disengaja. Yang pasti, sebuah cita-cita ideal yang menjadi dasar negara ini sudah kabur entah kemana.

Kita mencoba mencari kembali Pancasila di sekitar kehidupan ini. Kalau tadi dicari gambarnya, kita sekarang mencari aktualisasi dari gambar tersebut. Pancasila hari ini ada dalam setiap upacara bendera. Ia selalu dibaca dengan penuh hikmat dan bunyi yang merdu. Frekuensi suara Pancasila masih sering ditemui dalam beberapa agenda resmi kenegaraan maupun hari besar nasional. Pertanyaanya apakah frekunesi suara tersebut sudah sinergi dan terkoneksi dengan frekuensi gerak aplikasi kehidupannya?

Potret Negeri Sendiri

Kita tengok sejenak perwujudan dari aplikasi nilai-nilai luhur tersebut dalam kehidupan nyata. Dasar untuk membandingkan terwujudnya nilai praktis ini harus disesuaikan dengan konsep teoritis sebagaiman tertuang dalam dasar negara yaitu pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Penulis cuplikkan tujuan utama dibentuknya negara dengan lima dasar tersebut.

"Kemudian daripada itu untuk membentuk suatu pemerintah negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada : Ketuhanan Yang Maha Esa,kemanusiaan yang adil dan beradab,persatuan Indonesia, dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan,serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia."

Kita croscek tujuan tersebut dengan kondisi kekinian pada hari ini. Pemerintah bertugas melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Hari ini banyak sekali terjadi pertumpahan darah. Berbagai peristiwa yang menyebabkan kehilangan nyawa ada dimana-mana. Peperangan antar suku dan golongan, perebutan sengketa tanah, perebutan kekuasaan selalu menumpahkan darah saudara sendiri. Kesejahteraan umum diwujudkan dengan meningkatnya angka kemiskinan. Human Developmen Index Indonesia (Indeks Pembangunan Manusia dilihat dari pendidikan, kesehatan dan pendapatan) pada tahun 2013 berada di urutan 108 dari 187 negara. Tingkat kecerdasan sumber daya manusia Indonesia masih dibawah rata-rata. Bangsa ini cukup sulit ikut menjaga perdamaian dunia karena keterbatasan dalam segala hal. Alih-alih melaksanakan ketertiban dunia, justru semakin banyak anak negeri yang ingin memisahkan diri dari NKRI karena ketidakadilan di daerah perbatasan terluar dari negeri khatulistiwa ini.

Jika kita jujur dan melihat dengan jernih, memang bangsa ini mengalami berbagai kemajuan dalam beberapa aspek kehidupan. Namun, terkait dengan keberhasilan mewujudkan tujuan negara inilah yang harus dipertanyakan. Bangsa ini sudah 69 tahun merdeka, tetapi cita-cita tujuan tersebut tak kunjung tergenapi. Orde lama, orde baru, orde reformasi, dan orde sekarang ini telah melakukan tugasnya dengan maksimal walaupun buahnya belum sesuai dengan yang diharapkan. Jika sudah demikian, dimana kesalahannya? Bagaimana cara memperbaikinya?

Belajar dari Eksistensi Pohon

Alam ini penuh dengan pelajaran. Jika kita mau sejenak melihat rumput yang bergoyang, maka akan ditemukan jawabannya. Sebuah negara itu ibarat sebuah pohon. Pohon yang baik terdiri atas aka yang kuat, batang yang menjulang dan berbuah setiap musimnya. Buah yang baik berasal dari akar yang baik. Ilustrasi ini juga ada dalam sebuah negara. Negara terdiri atas undang-undang dasar (akar), pemerintahan (batang), dan ketundukpatuhan rakyat (buah). Jika ketundukpatuhan rakyat atau hasil peradaban dari rakyat ini buruk, maka telah terjadi kerusakan pada undang-undang dasar atau ideologinya. Walaupun jika pohon yang tidak berbuah itu pasti semuanya terjadi kerusakan baik pada akar maupun pada batangnya. Jika sebuah cita-cita atau tujuan negara tidak kunjung tercapai, maka pastinya ada kesalahan dalam memaknai ideologi maupun undang-undang dasar dari bangsa ini.

Penulis sepakat bahwa lima dasar ini sudah mutlak dan tidak perlu diperdebatkan. Akan tetapi, dari kelima dasar ini harus ditafsirkan berdasarkan kaidah ilmiah universal sebagai jalan hidup bangsa ini. Kita harus berani membedah apa yang menjadi persoalan dari ideologi bangsa ini. Logikanya, jika secara visual “pigura” Pancasila saja sudah sulit untuk ditemukan, maka hipotesanya adalah nilai-nilai dasar Pancasila juga sudah hilang atau sudah tergantikan dengan ideologi barat, timur, maupun timur tengah (mungkin juga banyak ditemukan visualisasinya di rumah-rumah warga).

Kembali kepada Jalan Tuhan YME

Penulis mencoba melihat dengan bening krisis multidimensi dari bangsa ini. Menurut hemat penulis, bangsa ini sudah benar menempatkan dasar negara yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Justru karena bangsa ini berani melandaskan kehidupannya pada Tuhan YME, penulis menjadi takut jika bangsa ini tidak menjalankan kehendak dan rencana dari sang Maha Pencipta tersebut. Konsekuensi jika seseorang atau bangsa mengaku Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, tetapi tidak menjalankan perintah-Nya, maka Tuhan akan murka dan memberikan kutuk bagi bangsa tersebut. Tuhan YME sangat marah jika hanya disebut-sebut tetapi tidak dijadikan landasan dalam setiap berfikir, berkata dan berbuat.

Jika bangsa ini benar-benar mengakui Dia sebagai Tuhan YME, maka seluruh anak dari bangsa ini harus mengenal Dia. Manusia Indonesia harus mengenal dimensi, sifat, peranan maupun karakter-Nya sehingga bisa mengabdi dengan benar kepadanya. Tuhan Yang Maha Esa adalah Sang Pencipta alam semesta yang Maha Pengasih dan Penyayang mempunyai fungsi sebagai Pengatur, Penguasa, dan Pusat pengabdian bagi seluruh makhluk-Nya. Setiap diri manusia menjadikan Tuhan Yang Maha Esa sebagai satu-satunya Tuan sehingga tidak ada Pengatur, Penguasa, dan Pusat pengabdian lain kecuali Dia. Dia sangat benci jika dipersekutukan dengan Tuan-Tuan lain. Tuan-Tuan lain tersebut adalah sesuatu yang diyakini, dipuja, dicintai, dan ditaati segala kehendak dan perintahnya, seperti manusia, harta, tahta, wanita, kendaraan, rumah, sawah, ladang, maupun hawa nafsu sendiri bisa menjadi Tuhan yang mempersekutukan Tuhan YME.

Jika bangsa ini ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, maka bangsa Indonesia harus menjadikan Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber Kebenaran Sejati, sumber hukum dan sumber dari segala sumber nilai bagi hidup dan kehidupan manusia. Segala peraturan, hukum, dan konstitusi disusun berdasar pada nilai-nilai Kebenaran Sejati sehingga seluruhnya merupakan pengejawantahan dari ajaran Tuhan Yang Maha Esa.  Bangsa Indonesia harus beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan tunduk patuh hanya kepada-Nya sesuai dengan Jalan Kebenaran sejati yang alamiah dan ilmiah sebagaimana dicontohkan oleh para Pembawa Risalah-Nya.

Jika bangsa Nusantara ini mendengarkan suara Tuhan YME dan melakukan dengan setia segala perintah yang diucapkan oleh Pembawa Risalahnya, maka segala berkat akan dilimpahkan kepada bangsa ini dan akan dijadikan bangsa di atas segala bangsa di bumi. Jika sekiranya penduduk negeri ini beriman, maka akan didatangkan anugerah dari langit dan bumi. Bangsa ini akan menjadi terang dunia atau mercusuar dunia sebagaimana yang dicita-citakan oleh foundhing father. Syaratnya adalah menjalankan semua perintah Tuhan YME dengan setia.

Namun, jika bangsa ini hanya sekedar mengaku ber-Ketuhanan Yang Maha Esa tetapi tidak melakukan dengan setia segala perintah-Nya, justru berkiblat kepada hukum bangsa-bangsa (barat-timur-timur tengah), maka Tuhan YME akan memberikan kutuk atau menjadikan bangsa ini selalu tertinggal dengan bangsa lainnya. Bangsa ini akan selalu berada dalam gelap gulita dan mengalami krisis multidimensi yang semakin merajalela. Tuhan akan mendatangkan berbagai macam kerusakan alam maupun kerusakan sosial karena kedurhakaan bangsa ini. Jika bangsa ini tidak mengikuti Jalan Kebenaran Sejati sebagaimana yang dicontohkan Para Pembawa Risalah-Nya, berarti bangsa ini sedang mempersekutukan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Pancasila, Janji yang harus Ditepati

Inilah esensi atau akar tunggal dari permasalahan bangsa. Jika bangsa yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa ini benar-benar memahami karakter Tuhan dan menjadikan karakter tersebut menjadi karakternya, maka empat nilai dasar lainnya akan tergenapi. Jika manusia Indonesia sudah berkarakter Tuhan, maka akan tercipta manusia yang berkemanusiaan yang adil dan beradab, bersatu, berkerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permuyswaratan perwakilan, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Semua hukum Tuhan yang tercatat dalam kitab sucinya selalu mengajarkan kepada manusia tentang monotheisme untuk menyatu dengan Tuhan “manunggaling kawula gusthi” atau Ketuhanan Yang Maha Esa, menjadi manusia yang beradab penuh dengan cinta kasih, bersatu, berkepemimpinan dalam upaya menciptakan keadilan dan menjadi rahmat bagi semesta alam. Hukum utama dan terutama adalah cintailah Tuhan segenap akal budimu dan cintailah manusia sebagaimana mencintai dirimu sendiri.

Inilah Pancasila, sebuah janji bersama dan komunal warga bangsa untuk menjadi manusia yang ber-Tuhan, berkemanusiaan, bersatu, berkepemimpinan dan berkeadilan. Jika manusia belum mengenal Tuhan, maka selamanya akan terjadi kebiadaban, perpecahan, arogansi kekuasaan, dan ketidakadilan. Jika manusia sudah menepati janji untuk menyatu dengan Tuhan, ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, ber-Pancasila sejati, maka semua tujuan dalam pembukaan UUD 1945 hanya menunggu waktu dan ridho dari yang mencipta bangsa ini. Pancasila, sebuah janji yang harus ditepati agar semua itu segera terjadi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun