Hallo apa kabar rekan-rekan Kompasioner tercinta,
Lama sekali saya tidak memposting tulisan apapun hampir setahun, akibat kesibukan di kantor, akibat jabatan baru yang saya pegang saat ini.
Namun yang namanya seorang penulis, tidak bisa dibohongi, bahwa suatu saat saya pun akan merindukan menulis di kolom Kompasiana yang sampai saat ini masih menjadi media "public journalism" terbaik di negeri ini.
[caption id="attachment_410178" align="aligncenter" width="300" caption="Poster film TJOKROAMINOTO (ga-nol blogspot.com)"][/caption]
Saya ingin mencoba meresensi film "Guru Bangsa Tjokroaminoto" versi saya sendiri yang saya baru saja saksikan semalam sebelum menulis resensi ini.
Bagi saya, sutradara Garin Nugroho adalah jaminan mutu....layaknya Oliver Stone di Hollywood, Luc Besson di Prancis dan Zhang Yimou di industri film Mandarin.
Mulai dari membuat film tentang anak desa terpencil, hingga film tentang bapak Bangsa, Garin selalu menjadi "pembeda".
Sebagai seorang muslim, saya bahkan tidak risih, bahkan turut "terbakar" rasa nasionalisme saya setelah menyaksikan biopic uskup Katolik pertama Indonesia, yang menjabat di era revolusi kemerdekaan Monsigneur Soegijopranoto dalam film "SOEGIJA" yang diperankan oleh seorang aktor Muslim Nirwan Dewanto. Justru peran sang pembantu uskup, yang diperankan oleh aktor Katolik, Butet Kartaredjasa.
Di sini terlihat keunggulan Garin sebagai seorang sutradara, mampu menghidupkan karakter uskup, dari seorang aktor yang agamanya beda.
Untuk film "TJOKROAMINOTO" memang masalah tersebut bukanlah lagi issue utama.
Saya justru agak terkejut, karena ketika membuat film "Soegija", Garin menyatakan bahwa porsi pembuatan film biopic tentang tokoh bangsa yang beragama Islam seolah dia serahkan kepada sutradara lain seperti Hanung Bramantyo dan lainnya, dan ia ingin lebih mengambil porsi pahlawan bangsa Non Muslim yang dianggapnya nyaris tidak ada insan perfilman Indonesia yang bersedia mengangkatnya ke layar lebar.
Namun hal ini seolah terbantah, ketika  membuat film Tjokroaminoto seolah Garin pun "tergoda" untuk ikutan membuat film tentang seorang tokoh perjuangan yang banyak mendidik dengan landasan agama Islam.
Seorang Bapak Bangsa yang melalui penularan ideologinya melahirkan para pemimpin maupun tokoh pemberontak bangsa seperti Soekarno, Abdul Moeis, H. Agus Salim, Musso, Semaun, Alimin, Kartosuwiryo, Tan Malaka dan lainnya.
Sehingga Garin mengangkat judul film ini "GURU BANGSA: TJOKROAMINOTO", seolah menyamakan beliau dengan George Washington bagi Amerika Serikat dan Gandhi bagi India.
Inilah Garin, walaupun idenya terkesan ikut-ikutan mengankat tema tokoh bangsa beragama Islam, namun tokoh yang ia pilih yang nyaris diluar dugaan orang, yaitu Haji Oemar Said Tjokroaminoto !
Film ini menarik dan detil dari segi setting, ciri khas Garin Nugroho, yang bahkan jika saya bandingkan dengan film "Soekarno" karya Hanung Bramantyo, masih lebih unggul film "GURU BANGSA: TJOKROAMINOTO" ini.
Suasana Hindia Belanda era awal abad 20, lebih terasa, lebih mengena di hati seorang penikmat sejarah seperti saya, yang sejak SD sudah "tergila-gila" dengan biografi Soekarno, Agus Salim, dan HOS Tjokroaminoto di atas.
Apa yang coba diangkat dari sisi Pak Tjokro di film ini adalah sisi kemanusiaan beliau.
Bagaimana sang Guru Bangsa (yang diperankan sekali lagi dengan gemilang oleh Reza Rahadian) di elu-elukan oleh pengikutnya sebagai "YANG UTAMA", ternyata adalah seorang pemimpin yang seringkali terjebak dalam kebimbangan bahkan seringkali lebih senang mengambil "jalan tengah" dalam mengambil keputusan. Acapkali bertanya meminta pandangan pada rekannya Agus Salim (yang diperankan dengan baik oleh Ibnu Jamil) maupun para murid nya seperti Kusno (Soekarno), Sosro, Musso dan Semaun.
Bagaimana pak Tjokro yang begitu tegar menghadapi interogasi petugas Belanda di Penjara Kalisosok Surabaya tahun 1921, namun ternyata seringkali terlibat pergulatan emosional dalam memutuskan langkahnya, sehingga sempat memarahi putrinya Siti Oetari yang belum mengerti apa-apa, akibat terlalu pusing memikirkan masalah bangsanya.
Sosok Bapak yang mampu mengayom bukan hanya anak-anak kandung nya, namun juga anak-anak kenalannya, seperti Soekarno, Musso, Semaun dan lain-lain, ternyata sempat galau di kala perjuangan nya mendapat tekanan berat baik dari pihak Belanda, maupun dari pengikutnya sendiri yang berseberangan jalan dengannya.
Pak Tjokro yang ternyata terlalu sibuk memperjuangkan nasib bangsanya hingga digambarkan, dalam film ini, tidak sempat melepas "kepergian" Soeharsikin yang wafat hanya beberapa meter jaraknya dari tempat ia sednag berorasi di depan massa Surabaya yang butuh wejangan darinya. Istrinya, wanita yang telah dinikahinya selama 15 tahun lebih, wafat seorang diri di kamar tidur nya di saat sang suami sedang berpidato di halaman depan rumah mereka, Rumah Peneleh Soerabaia.
Bagaimana akibat sifat selalu menjadi "penengah", justru pak Tjokro tak mampu mencegah Semaun yang ambisius untuk memisahkan diri dari Sarekat Islam yang didirikan Tjokroaminoto.
[caption id="attachment_410179" align="aligncenter" width="300" caption="Semaun vs Agus Salim dalam kongres SI pertama (gresik.co)"]
Sehingga di akhir era 1920-an terdapat dua Sarekat Islam
Sarekat Islam Hijau pimpinan HOS Tjokroaminoto dan H. Agus Salim, yang lebih mengutamakan peningkatan kualitas pendidikan bangsa untuk mencetak pemimpin-pemimpin yang mampu memerdekakan Hindia Belanda dari penjajahan kelak. Contoh hasilnya adalah Kusno yang kemudian hari lebih kita kenal sebagai Presiden RI pertama Ir. Soekarno, dan juga Sekar Maridjan Kartosuwiryo yang sayangnya di era 1950-1960-an justru memipin pemberontakan terhadap RI dengan Darul Islam nya dan akhirnya tewas di hadapan regu tembak.
Sarekat Islam Merah pimpinan Semaun yang lebih beraliran "kiri" alias komunis. Anggota utamanya adalah para tokoh-tokoh yang kemudian di era kemerdekaan merubah SI Merah menjadi terang-terangan "Merah" yaitu Partai Komunis Indonesia. Mereka lalu tewas akibat terlibat dalam pemberontakan PKI Madiun yaitu Musso, Alimin dan Darsono.
Di film ini juga hebatnya untuk pertama kali dalam film sejarah Indonesia, ditampilkan tokoh Sneevliet (pejuang komunis dari Belanda) yang sempat berkawan dengan Tan Malaka di Belanda, yang membawa ajaran komunis ke Indonesia pasca suksesnya revolusi Bolshevik 1917 di Russia yang lemudian hari membentik lahirnya negara Uni Soviet.
Sneevliet yang kemudian dideportasi kembali ke Belanda di tahun 1920, adalah "guru alternatif" yang meracuni pola pikr Semaun dkk., untuk beraliran komunis, yang menyebabkan akhirnya mereka meninggalkan guru pertama mereka, HOS Tjokroaminoto yang beraliran nasionalis religius
Sisi hebat lainnya dari film ini adalah untuk pertama kali dalam film Indonesia ditampilkan mars kaum komunis yang berjudul "INTERNACIONALE" yang dinyanyikan versi bahasa Indonesia nya di atas kereta oleh Semaun, Musso, Alimin dan kawan-kawannya.
[caption id="attachment_410182" align="aligncenter" width="300" caption="Sneevliet (www.kekuatanide-blogspot.com)"]
Apresiasi untuk Tanta Ginting yang di film "Soekarno" memerankan Sutan Syahrir yang radikal namun sejalan dengan Soekarno, namun di film "Tjokroaminoto" tampil memerankan Semaun yang sekali lagi radikal namun kali ini berseberangan jalan dengan Soekarno dan Agus Salim.
Juga bagaimana mengharukannya peran Chelsea Islan di film ini sebagai seorang gadis Indo cantik yang terpaksa berjualan koran karena ayahnya seorang Belanda tulen di deportasi ke negeri asal nenek moyang nya, dan ibunya seorang Nyai Jawa yang hanya berstatus wanita simpanan, tidak mampu membesarkannya, karena tidak kuat menghadapi tekanan publik akibat menyandang status sebagai seorang "Kafir" dan "Pelacur".
Jika ada hal yang "hilang" dari film ini itu adalah ketiadaan penokohan seorang S.M Kartosuwirjo yang di kemudian hari, di era kepemipinan Presiden Soekarno, ia mendirikan negara Islam (Darul Islam) dengan pasukan nya Tentara Islam Indonesia (TII), dan dihukum mati setelah pemberontakannya berhasil dipadamkan Kolonel Kawilarang.
Padahal Kartosuwiryo adalah seorang "murid penting" di Rumah Peneleh milik Pak Tjokro dengan ideologi Negara Islam nya, bersama Semaun dengan ideologi Komunisnya dan Soekarno dengan ideologi yang memadukan keduanya (Nasakom).
Dalam hal ini film "Soekarno" lebih unggul, karena di masa awal kehidupan remaja Kusno (Soekarno) di film tersebut, digambarkan bahkan Kartosuwiryo yang lebih sering diajak berdiskusi dengan Pak Tjokro, lebih daripada Semaun maupun Soekarno.
Juga tokoh Musso di film Soekarno digambarkan lebih radikal komunisnya dibanding Semaun.
Tak ketinggalan, ketidakhadiran Tan Malaka yang walaupun hanya sebentar, namun dalam sejarahnya di akhir 1920-an sempat berguru kepada Pak Tjokro.
Yang agak juga "mengganggu" seorang Muslim seperti saya adalah sebagai tokoh perjuangan Islam, mengapa dalam hal ini hampir tak pernah digambarkan kehidupan beragama sang Guru Bangsa, mengapa pidato-pidato Tjokroaminoto dalam film ini tidak diawali dengan "Assalamu'alaikum maupun Bismillah" ?
Apapun itu, film ini layak diberikan apresiasi, karena berhasil menghidupkan bukan hanya kehidupan mendiang HOS Tjokroaminoto , namun juga menghidupkan kembali Hindia Belanda di awal abad 20 dengan setting detil khas seorang Garin Nugroho, ada kaum Tionghoa berkuncir ala Wong Fei Hung, ada trem Surabaya, mobil Ford model T yang klasik, gedung Hotel Oranye, stasiun Gubeng jaman Belanda, settingan pelabuhan Ujung Surabaya, kereta api lokomotif uap khas era kolonial.
Jika diadu dengan film "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck" yang juga mengambil setting Surabaya tahun 1920-an maka film garapan Garin Nugroho dan Ong Wahyu ini jauh lebih "realistis" settingan dekorasi nya.
Walaupun dibumbui dengan adegan bu Suharsikin bermain piano mengiringi Pak Tjokro bernyanyi, adegan opera jaman Hindia Belanda, namun lagu-lagunya pun diatur yang memang sedang menjadi hits di saat itu, tidak ada electronic techno music sebagaimana adegan pesta di film "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck".
[caption id="attachment_410180" align="aligncenter" width="300" caption="Tjokro bernyanyi bersama istrinya (wowkeren.com)"]
Juga para pemeran tokoh-tokoh Belanda nya pun di perankan oleh aktor dan aktris Belanda yang walalupun tak terkenal namun cukup menarik perhatian pemirsa, terutama akting sang Meneer Gendut yang bengis namun kocak.
Juga keberanian Garin menampilkan tokoh Gubernur Jendral Hindia Belanda yang anti gerakan kemerdekaan, Van Limburg Stirum dalam film ini.
[caption id="attachment_410181" align="aligncenter" width="300" caption="Setting Soerabaia versi Garin (www.rri.co.id)"]
Jangan lupakan kehebatan akting para aktor kelas satu Indonesia seperti alm. Alex Komang (ini adalah film terakhir sebelum beliau wafat bulan Maret 2015), Christine Hakim dan Alex Abbad.
Lebih hebat lagi bahwa Alex Komang (sebagai saudagar Surabaya kaya Hasan Ali Surkati) dan Christine Hakim (sebagai Mbok Toen pembantu keluarga Tjokroaminoto) sebagai aktor aktris peraih Piala Citra, mereka bersedia turun kelas sebagai "peran pembantu" namun penokohan yang mereka tampilkan tetap "kuat berkarakter".
Juga penampilan Maia Estianty mantan istri Ahmad Dhani dan ex vokalis duo Ratu yang tak lain merupakan cucu dari sang Guru Bangsa, sebagai ibunda dari HOS Tjokroaminoto dan sang ayah diperankan oleh seniman "Mbeling" Sujiwo Tedjo.
Kita pegang motto beliau dalam memperjuangkan cita-cita yaitu menggunakan prinsip:
"Setinggi-tinggi ILMU, semurni-murni TAUHID dan sepintar-pintar SIASAT"
Kita tunggu film sejarah Indonesia beserta karya-karya epik Garin Nugroho berikutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H