Jika ada hal yang "hilang" dari film ini itu adalah ketiadaan penokohan seorang S.M Kartosuwirjo yang di kemudian hari, di era kepemipinan Presiden Soekarno, ia mendirikan negara Islam (Darul Islam) dengan pasukan nya Tentara Islam Indonesia (TII), dan dihukum mati setelah pemberontakannya berhasil dipadamkan Kolonel Kawilarang.
Padahal Kartosuwiryo adalah seorang "murid penting" di Rumah Peneleh milik Pak Tjokro dengan ideologi Negara Islam nya, bersama Semaun dengan ideologi Komunisnya dan Soekarno dengan ideologi yang memadukan keduanya (Nasakom).
Dalam hal ini film "Soekarno" lebih unggul, karena di masa awal kehidupan remaja Kusno (Soekarno) di film tersebut, digambarkan bahkan Kartosuwiryo yang lebih sering diajak berdiskusi dengan Pak Tjokro, lebih daripada Semaun maupun Soekarno.
Juga tokoh Musso di film Soekarno digambarkan lebih radikal komunisnya dibanding Semaun.
Tak ketinggalan, ketidakhadiran Tan Malaka yang walaupun hanya sebentar, namun dalam sejarahnya di akhir 1920-an sempat berguru kepada Pak Tjokro.
Yang agak juga "mengganggu" seorang Muslim seperti saya adalah sebagai tokoh perjuangan Islam, mengapa dalam hal ini hampir tak pernah digambarkan kehidupan beragama sang Guru Bangsa, mengapa pidato-pidato Tjokroaminoto dalam film ini tidak diawali dengan "Assalamu'alaikum maupun Bismillah" ?
Apapun itu, film ini layak diberikan apresiasi, karena berhasil menghidupkan bukan hanya kehidupan mendiang HOS Tjokroaminoto , namun juga menghidupkan kembali Hindia Belanda di awal abad 20 dengan setting detil khas seorang Garin Nugroho, ada kaum Tionghoa berkuncir ala Wong Fei Hung, ada trem Surabaya, mobil Ford model T yang klasik, gedung Hotel Oranye, stasiun Gubeng jaman Belanda, settingan pelabuhan Ujung Surabaya, kereta api lokomotif uap khas era kolonial.
Jika diadu dengan film "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck" yang juga mengambil setting Surabaya tahun 1920-an maka film garapan Garin Nugroho dan Ong Wahyu ini jauh lebih "realistis" settingan dekorasi nya.
Walaupun dibumbui dengan adegan bu Suharsikin bermain piano mengiringi Pak Tjokro bernyanyi, adegan opera jaman Hindia Belanda, namun lagu-lagunya pun diatur yang memang sedang menjadi hits di saat itu, tidak ada electronic techno music sebagaimana adegan pesta di film "Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck".
[caption id="attachment_410180" align="aligncenter" width="300" caption="Tjokro bernyanyi bersama istrinya (wowkeren.com)"]
Juga para pemeran tokoh-tokoh Belanda nya pun di perankan oleh aktor dan aktris Belanda yang walalupun tak terkenal namun cukup menarik perhatian pemirsa, terutama akting sang Meneer Gendut yang bengis namun kocak.