Namun dengan pertimbangan akidah, (film 300 adalah film yang terlalu mengumbar aurat pria dan wanita, fiktif, tak ada unsur religius nya, juga nilai pendidikannya saya anggap sangat jauh di bawah film 99 Cahaya...ini) maka saya tetapkan hati membeli tiket untuk menonton film made in Indonesia ini.
Dan....yah...saya tak menyesal.
Guntur Suharjanto seolah memanfaatkan jeda waktu penayangan film pertama dan kedua yang juga menandakan adanya proses finishing film kedua yang belum selesai ketika film pertama tayang Desember 2013 lalu, selain memang durasi film yang tak marketable jika kedua film disatukan.
Penggambaran Eropa memang jutsru tak sedetil film pertama, apalagi dibanding novel nya.
Namun unsur-unsur drama, seperti tragedi yang menimpa ayahnya Khan di pakistan, yang membuat Khan terpaksa "ngebut" menyelesaikan thesis nya, adegan kecelakaan yang menimpa Steffan yang membuat pandangan sinisnya tentang Khan berubah.....
Dan yang tak kalah menarik adalah adegan "cinta segitiga" antara Maarja-Rangga-Hanum, yang dibumbui adegan pesta Waltz yang menampilkan keanggunan budaya musik klasik Austria.....adegan Rangga dan Hanum berdansa Waltz di tengah kota tua Wina di malam hari yang masih bergelimang cahaya.
[caption id="attachment_326804" align="aligncenter" width="300" caption="Rangga Hanum berdansa Waltz di tengah jalan (kapanlagi.com)"]
Bagi saya .....itulah sisi lebih yang saya harap dikeluarkan sutradara dan para kru film sejak film pertama.
Tambah lagi adegan mengharukan ketika akhirnya Rangga-Hanum berhasil berkomunikasi lagi dengan Fatma (Raline Shah), sahabat Turki mereka yang mengundang keduanya ke Istanbul.
Dan mengajak ziarah ke makam Ayse, yang ternyata telah wafat karena leukimia yang telah ia derita sejak film pertama, lima bulan sebelum pasangan Indonesia itu datang ke Turki.
[caption id="attachment_326806" align="aligncenter" width="300" caption="Reuni dengan Fatma di Turki (merdeka.com)"]