Mohon tunggu...
Heru F.S Haloho
Heru F.S Haloho Mohon Tunggu... Lainnya - I'm just a long life learners and i like to inspire people

Lihat lebih dekat, Dengar lebih seksama, Rasakan lebih dalam.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Waspadai Pola Komunikasi yang Salah antara Orangtua dan Anak!

17 Desember 2022   15:30 Diperbarui: 17 Desember 2022   15:38 323
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Konflik antara Orangtua-Anak Source : https://www.freepik.com/

PENTINGNYA PERANAN ORANGTUA DALAM PENGEMBANGKAN KONSEP DIRI ANAK

Keluarga merupakan institusi pendidikan pertama sekaligus terlama di dalam kehidupan manusia pada umumnya. Betapa tidak, sejak kita dilahirkan ke dunia maka keluargalah yang pertama kali memberikan pengajaran kepada manusia. Keberhasilan tumbuh kembang seorang anak akan sangat ditentukan oleh peran keluarga. 

Yang saya maksud keluarga pada tulisan ini adalah keluarga inti yakni ayah, ibu, dan anak diana setiap anggota keluarga memiliki hubungan dinamis (Soemanto, 2014). 

Lewat tulisan ini saya ingin menyoroti bagaimana pola komunikasi dan kerjasama kedua orang tua dalam mempengaruhi konsep diri seorang anak. 

Konsep diri adalah cara pandang individu terhadap dirinya sendiri yang terbentuk lewat serangkaian pengalaman yang didapatkan lewat berbagai interaksi dengan lingkungan (Riadi, 2020). 

Keluarga inti sebagai institusi sosial pertama yang berinteraksi dengan seorang anak, memegang peranan penting dalam pembentukan konsep diri dan karakter anak. 

Sederhananya, akan ada perbedaan yang cukup signifikan antara seorang anak dibesarkan di tengah-tengah keluarga yang harmonis dibandingkan dengan keluarga yang broken home.

 Seseorang yang dibesarkan di lingkungan keluarga yang penuh kasih sayang dan saling memahami satu dengan lainnya akan membentuk pribadi anak menjadi lebih percaya diri dan menghargai orang lain. 

Sebaliknya, jika anak dibesarkan di lingkungan keluarga yang dipenuhi dengan drama pertengkaran keluarga atau bahkan KDRT maka akan membentuk kepribadian anak menjadi minder, emosional serta tidak dapat bersosialisasi pada komunitas dimana ia berada.

PERBEDAAN PERSPEKTIF MEMICU KONFLIK DALAM RUMAH TANGGA

Pada kesempatan ini saya ingin membagikan pengalaman saya betapa pentingnya peran kedua orangtua dalam pembentukan konsep diri seorang anak melalui perspektif ilmu komunikasi yakni dalam konteks komunikasi antar pribadi.

Komunikasi antar pribadi atau komunikasi interpersonal ialah komunikasi antara 2 orang atau lebih yang memiliki relasi yang mantap dan jelas dan terjadi proses saling mempengaruhi (DeVito, 1997). 

Berdasarkan pengertian tersebut maka dapat disimpulkan bahwa komunikasi antara suami-istri ataupun orangtua-anak merupakan contoh dari komunikasi antar pribadi. 

Berikut adalah sepenggal kisah yang mungkin dapat menjadi bahan renungan kita bersama agar memperhatikan pola komunikasi antara orang tua kepada anak. 

Saya adalah seorang kepala keluarga di dalam sebuah keluarga kecil. Saya menikah tahun 2014 silam dan telah dikaruniai seorang anak laki-laki yang telah berusia 7 tahun yang kini duduk di bangku kelas 2 SD. 

Pada periode awal masuk sekolah dasar, saya dan istri sempat mengalami kegamangan bagaimana cara mendidik anak kami. Pengalaman masa lalu sebagai seorang taruna Akademi Penerbangan secara tidak sadar membentuk karakter saya menjadi sosok yang menjunjung tinggi kepatuhan dan disiplin. 

Saya berasumsi bahwa ketidakpatuhan anak akan berujung kepada kenakalan. Oleh karena itu saya kerap bersikap tegas kepada anak saya yang kala itu berusia 6 tahun. 

Beberapa kali saya memarahinya apabila tidak mematuhi perintah orangtua. Saya terkadang mengucapkan kata-kata yang kurang baik bagi anak seperti  pemalas, penakut, bodoh, dan lain-lain. 

Alih-alih membuat anak sadar bahwa yang dilakukannya adalah sebuah kesalahan, yang terjadi malah sebaliknya. Anak saya kerap menunjukkan "perlawanan" berupa pengulangan kesalahan. 

Akibatnya, saya dan istri tak jarang berdebat mengenai pola didik dan cara berkomunikasi yang baik dengan anak. Singkat cerita konflik pun tidak dapat dihindari, saya dan istri  saling berargumen sesuai dengan perspektif masing-masing. Kami mencari pembenaran di satu sisi akan tetapi di sisi yang lain mulai saling menyalahkan.

 Saya menganggap istri saya terlalu "lembek" dan selalu mengedepankan perasaan dibandingkan logika. Suatu perbedaan yang pada umumnya menjadi pembeda antara gender pria dan wanita.  

Selain itu perspektif budaya kami yaitu bahwa anak laki-laki memiliki tanggung jawab untuk membawa nama baik keluarga. Alasan-alasan tersebut menjadi pembenaran saya untuk bersikap tegas.

Hal tersebut bukan tidak beralasan mengingat beberapa contoh nyata di keluarga saya bahwa sikap yang "lembek" akan menjadikan anak manja dan tidak patuh terhadap peraturan. Apalagi apabila suami dan istri memiliki pola asuh yang berbeda. 

Misalnya ketika ayah memarahi anak maka si ibu akan membelanya, begitupun sebaliknya. Hal tersebut akan membuat anak berlindung di balik kesalahannya dan selalu berusaha mencari pertolongan untuk mentolerir kesalahannya.

Sementara di lain sisi, istri saya berpendapat bahwa saya terlalu keras mendidik anak dan pengalaman hidup yang saya lalui dulu kurang relevan dengan psikologis anak-anak masa kini. 

Istri saya beranggapan bahwa sikap kritis dari anak dalam berargumen seharusnya dipandang sebagai hal yang positif, bukan malah dianggap sebagai sebuah pembangkangan. 

Kata-kata seperti "kamu kenapa kurang pintar" dan "dasar pemalas" juga ternyata berkontribusi membuat anak saya tidak percaya diri akan kemampuan yang dia miliki. 

Setelah melalui berbagai evaluasi bersama istri, saya menyadari bahwa ucapan tidak dapat ditarik kembali. Ibarat paku yang sudah tertancap lalu dicabut maka akan meninggalkan bekas. 

Semua terekam dalam memori anak dan sadar atau tidak, akan membentuk caranya mempersepsikan dirinya. Misalnya ketika seorang anak disebut kurang pintar atau bodoh maka akan mempersepsikan dirinya menjadi seorang yang bodoh dan pada akhirnya membentuknya menjadi pribadi yang minder.

SOLUSI MANAJEMEN KONFLIK DALAM PEMBENTUKAN KONSEP DIRI ANAK

Setelah melalui serangkaian evaluasi terkait cara mendidik anak yang benar, proporsional berdasarkan umur, dan memperhatikan fase tumbuh kembang anak yang berbeda-beda, maka pada akhirnya saya dan istri menemukan  solusi. 

Manajemen konflik yang kami terapkan yaitu teknik kolaborasi yang berusaha mencari titik temu suatu permasalahan  atau konsep win-win solution (Devito, 2015) . Kuncinya cukup sederhana namun ternyata sulit dipraktikkan apabila suami dan istri tidak merendahkan ego masing-masing. 

Tidak saling menyalahkan dan berpegang teguh pada tujuan yang sama, yaitu keinginan bersama untuk membentuk karakter anak yang positif, kami pun membagi peran-peran dalam berkomunikasi dan menerapkan sistem hierarki.

Apabila berkaitan dengan akademis dan perilaku sehari-hari maka istri saya memiliki peran yang lebih dominan. Namun apabila istri saya tidak dapat menyelesaikan permasalahan tersebut maka tibalah saatnya saya untuk turun tangan. Lambat laun anak saya mulai menunjukkan perubahan yang cukup signifikan. Rasa percaya dirinya semakin bertumbuh. Dia pun dapat mengikuti pelajaran dengan baik dan semakin menyadari bahwa orangtua sangat menyayanginya. 

Saran saya kepada pembaca artikel ini, secara khusus keluarga muda yang masih memiliki anak kecil maka harus ekstra hati-hati dalam mendidik anak. 

Hindari penggunaan kata-kata kurang pantas yang pada akhirnya membentuk cara pandang seorang anak akan dirinya. Evaluasi dan kerjasama antara suami dan istri harus terus dilakukan untuk menentukan pola asuh yang terbaik dan cocok diterapkan kepada anak. Tetap semangat dan teruslah belajar karena pada dasarnya anak bagaikan kertas putih dan keluarga merupakan senimannya. Baik buruknya "output" anak akan merefleksikan pola asuh kedua orang tuanya. 

And last but not least, hindari konflik suami-istri di hadapan anak karena akan merusak perkembangan mentalnya. Salam hormat dan teriring doa saya untuk semua orang tua yang selalu berusaha memberikan pendidikan karakter yang baik kepada anak-anaknya.  Semoga Tuhan memberkati!

Daftar Pustaka

DeVito, J. (1997). Komunikasi Antarmanusia. Jakarta: Professional Books.

Devito, J. A. (2015). Human Communication : The Basic Course. USA: Pearson.

Riadi, M. (2020, November 18). Konsep Diri (Pengertian, Aspek, Dimensi, Jenis dan Faktor yang Mempengaruhi). Retrieved December 15, 2022, from kajianpustaka.com: https://www.kajianpustaka.com/2020/11/konsep-diri.html

Soemanto, R. (2014). Pengertian dan Ruang Lingkup Sosiologi Keluarga. Jakarta: Universitas Terbuka.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun