"Tidak! Aku tidak mau ulang tahun! Aku mau mati! Tuhan, tolong hentikan umurku ini!" teriak seorang pria tua bangka yang bersujud di lantai.
Di lantai toko pangsit yang dingin, ia meneteskan air matanya. Sudah lewat tengah malam waktu itu, tidak ada lagi pelanggan yang makan. Hanya tinggal si pemilik toko dan istrinya.
Dua jam sebelumnya, kakek tua itu berjalan sendirian di tengah malam. Kakinya menyeret-nyeret rantai berkarat di tiap langkah. Telapaknya yang telanjang menciumi aspal yang dingin. Ia tidak tahu ke arah mana ia menuju.
Kampung tempatnya tinggal itu, sudah habis orang. Semuanya pergi ke kota, mencari kerja, mencari laki dan bini, mencari anak yang mengundang setelah tahunan merantau.
Tinggal dirinya sendiri, yang makan ubi sendiri. Dengan daunnya yang selalu direbus. Kompornya dari kayu kering yang ia juga cari sendiri. Sedangkan apinya dari menggesek-gesek kayu dengan batu.
Si kakek tidak ingat kapan mulanya ia berjalan di tengah malam. Ketika mendapati suara ledakan, ia merasa harus berjalan. Matanya tidak benar-benar bisa melihat. Jadi ia mengandalkan telapak kaki. Jalanan kampung yang sudah dihafal luar kepala tidak dapat hilang. Asalkan terasa di telapaknya, ia tahu ada di mana.
Kini hanya tinggal menyusuri aspal sampai ada yang memanggilnya. Ia tidak tahu siapa yang akan memanggilnya, tetapi rasanya selalu begitu. Tiap kali ia keluar kala langit meledak, ia harus berjalan, dan akan ada orang yang memanggilnya.
Lebih dari satu jam sudah ia berjalan. Telinganya menangkapi cakap-cakap. Akhirnya sudah ada beberapa orang selain dirinya. Napasnya yang tersengal menandakan ia tidak akan sanggup jika harus berjalan lebih jauh.
"Kek! Kakek! Kakek sudah datang? Mari ke toko," kata seseorang yang mengejarnya dari sebelah kiri.
Suara itu tidak ia ketahui empunya, entah tidak kenal atau sekadar lupa. Namun itu suara yang tidak asing di telinganya. Suara seorang pria yang berat dan serak. Ketika ia menghadap ke pria itu, meski tidak jelas, sedikit kelihatan kalau pria itu punya tubuh yang besar. Seakan bisa menghancurkan tubuhnya jika mereka berpelukan.
Bau yang mencuat dari tubuh si pria juga akrab di hidungnya. Bau yang sedikit berminyak. Tidak salah lagi, memang pria itu yang ada di ingatannya. Setelah dipanggil, ia akan diajak oleh pria itu. Entah ke mana tujuannya. Sebab telapaknya tidak lagi bisa merasakan. Ia diletakkan di punggung si pria.
Sepanjang jalan, si pria sibuk mengoceh. Cakap pria itu tidak begitu ingin ia dengar. Jadi masuk telinga kiri, keluar telinga kanan saja.
"Istri saya sudah siapkan yang biasa. Khusus untuk kakek. Momen setahun sekali begini harus kita rayakan dengan hikmat. Salah, dengan nikmat!" oceh si pria besar.
Mata si kakek bisa merasakan sesuatu yang silau. Lebih silau dari lampu teploknya, sudah pasti itu bohlam. Mereka masuk ke sebuah toko pangsit kecil. Yang dindingnya sudah puluhan tahun tidak dicat. Warna putihnya sudah menguning. Dan bau dari si pria lebih kuat di sini. Bau pangsit.
Telapaknya kembali merasakan sesuatu yang dingin. Namun lebih licin. Sebuah lantai! Lalu bokongnya diletakkan di kursi plastik. Si pria besar pergi memanggil istrinya. Tinggal si kakek sendiri yang mengingat-ingat tempat ini. Sebuah toko, atau sebuah kedai, atau rumah makan, apa pun itu. Si kakek yakin sudah berkali-kali ke sini.
Dalam lamunan itu, ia dikejutkan oleh suara si pria. Yang bernyanyi bersama wanita. Mungkin istri si pria tadi.
"Selamat ulang tahun, selamat ulang tahun, selamat ulang tahun kakek ... semoga panjang umur." Suara suami istri itu saling kejar-kejaran.
Si kakek yang mendengarnya dibuat menganga. Ulang tahun. Ia tidak ingat itu.
"Hari ini, pas di tahun baru, kakek sudah seratus tahun, ya," ujar si wanita dengan suaranya yang terasa lemah lembut. Berbanding terbalik dengan si pria besar.
"Hari ini biar saya yang menyuapi kakek. Tidak perlu mengotori tangan. Saya dan istri sudah buat pangsit paling spesial!" kata si pria besar. Tangannya yang memegangi bolu disodorkan ke mulut si kakek.
Meski sudah seratus tahun, si kakek masih lumayan lengkap giginya. Mungkin ada dua atau tiga yang patah. Meski begitu, giginya yang tersisa masih banyak. Namun bukannya membuka mulut, si kakek malah menangis.
Ia teringat tahun-tahun sebelumnya. Bagaimana bisa ia lupa dengan hari ini, hari di mana orang sibuk merayakan tahun baru, lalu ia akan keluar dari kampung untuk menemui suami istri pemilik toko pangsit ini. Makan dan minum, berbincang sampai mau pagi.
Si kakek sudah tidak bisa begitu. "Kenapa umurku masih bertambah juga? Seratus tahun? Aku bahkan lupa dengan istri dan anakku. Di mana mereka pun aku tidak tahu. Kenapa kalian sebaik ini pun aku tidak tahu," keluh si kakek.
Si pria besar menjawabnya, "Dulu sekali, kakek pernah datang ke toko kami. Bersama dengan nenek. Kakek bilang suka sekali dengan pangsit kami. Sampai pernah bilang kalau kakek selalu ingin memakannya waktu ulang tahun. Pangsit kami harus jadi hadiah ulang tahun kakek."
"Tidak! Aku tidak mau ulang tahun! Aku mau mati! Tuhan, tolong hentikan umurku ini!"
Si kakek bersujud ke lantai, membasahinya dengan tangisan. "Mau seberapa panjang umurku lagi? Mau seberapa lama lagi aku di sini sampai bisa menemui-Nya? Mau berapa ratus tahun lagi?"
Ia menangis sejadi-jadinya. Si pria besar dan istrinya pun tak tahu mau berkata apa. Mereka hanya memilih diam sampai tangisan si kakek berhenti sendiri.
"Kau tahu yang paling menakutkan bagiku?" kata si kakek, "hidup, bangun di pagi hari mendapati diri masih hidup. Mengulang lagi kesendirian. Sudah lama sekali sejak istri dan anakku mati. Tuhan masih juga memberiku usia yang panjang. Aku menyesal pernah memintanya sewaktu dulu. Kupikir umur panjang itu membahagiakan, tetapi itu hanya racun yang terus menggerogoti. Akalku terus mencegah untuk bunuh diri. Namun aku ingin mati."
Si pria besar memeluk si kakek. Sambil ikut menangis. Seperti dugaan si kakek, tubuhnya terasa mau remuk saat dipeluk pria itu.
"Kumohon, kakek. Makanlah hadiah ini, hadiah yang kakek minta tahun lalu." Si pria besar menyuapkan pangsitnya pada si kakek.
Si kakek menatap pangsit itu begitu lama. Ada bau yang berbeda di kuahnya. Ia tidak kenal bau itu. Lantas si kakek memandang si pria besar dan istrinya. Ia tersenyum lebar. Menampakkan giginya yang putih dan rapat.
Habis semangkuk penuh pangsitnya, si kakek langsung tertidur. Berbantal kaki si pria besar, sedangkan si istri memegangi tangan si kakek. Sampai lewat pula sudah puluhan menit.
"Kakek sudah tiada?" tanya si istri pada suaminya.
"Sudah. Jantungnya tidak lagi berdetak. Tubuhnya mulai dingin. Racun di pangsit tadi berhasil. Kita telah memberinya hadiah yang dia inginkan tahun lalu." Air mata si pria masih menetes.
"Aku tidak ingin kita mati terpisah."
"Aku pun tidak ingin berumur panjang. Sampai hidup terpisah darimu."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H