Mohon tunggu...
Heru Kesuma
Heru Kesuma Mohon Tunggu... Novelis - Penulis

Seorang penggemar berat Harutya. Menulis untuk hidup, selain mengisi waktu. Karena ia hanya seorang pengangguran yang hampir dua puluhan. Setiap apa yang ditulisnya membuatnya merasa dirinya punya alasan atas eksistensinya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mata dan Telinga Tidak Tertutup

1 Oktober 2023   17:16 Diperbarui: 1 Oktober 2023   17:23 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bisa-bisa kepalanya yang lebih dulu berlubang. Sebelum dapat ia melubangi kepala orang. Jangankan mengejar mereka, berdiri pun tak lagi ia sanggup. Sudah agak lama ranting tajam yang diinjaknya hingga melubangi kaki dicabut. Namun rasa sakitnya tentu belum hilang, malahan tambah parah. Hampir dua hari perutnya belum ada diisi. Kecuali rerumputan yang ditelannya beberapa kali. Bukan perkara yang mudah untuk keluar dari hutan pohon-pohon karet, pikirnya. Ia tak ingat mana jalan yang benar. Keadaannya juga tak memungkinkan untuk bergerak. Tak ada lagi rasanya asa yang tersisa, ia memejamkan mata, menahan rasa sakit.

Menyesal rasanya karena ikut mengejar sisa-sisa PKI itu. Hanya dengan bermodal pistol usang, bergerak secara kelompok, walau akhirnya ia tetap terpisah dari kelompoknya itu. Dalam pada itu, ia ingat-ingat waktu mengejar sesalah satu orang yang diduga komunis. Ya, hanya berdasar dugaan. Beberapa daftar orang dikumpulkan, lengkap dengan ciri fisiknya. Bahkan beberapa ada fotonya. Entah benar mereka paham kiri atau tidak yang penting ditangkap dahulu. Barulah mulai mengusut. Tanpa menunggu polisi atau militer sekali pun.

Ia tak lebih dari sekadar Vigilante, tapi bukan bergerak karena hukum yang dilanggar. Melainkan demi nama, atau uang, atau hanya ingin sedikit berguna. Bukan paham benar ia akan Gerakan 30 September. Bukan kenal ia akan jenderal-jenderal yang dicampakkan ke dalam sumur itu. Melihat orang-orang di sekitarnya bergerak, maka ia pun bergerak. Apakah komunis itu pun tak lagi perlu dicerna katanya. Tapi nasib malah menempatkan Vigilante dalam posisi sekarat seperti sekarang. Sekarang haruskah ia bersumpah pada siapa pun yang menolongnya, jika perempuan akan dinikahi, jika lelaki akan dijadikan saudara. Agar ada agaknya yang datang menyelamatkan.

Di tengah-tengah lamunan sekaratnya itu, ada seorang yang mendekat. Lelaki. Komunis. Si Vigilante benar-benar yakin. Tak terbantah, karena lelaki itu juga yang membuatnya harus masuk ke hutan karet untuk mengejar. Sekarang tamatlah ia, pikirnya. Tak mungkin Komunis itu akan diam saja melihat dirinya sekarat. Rasa ingin meronta, tapi tak ada lagi sisa tenaga. Tamat sudah.

Benar saja. Komunis itu memang tak tinggal diam. Dia merobek lengan kemejanya, dan mengikat kaki Vigilante. Membaringkan tubuh sekarat itu di tanah. Menuangkan segenggam demi segenggam air yang dituangnya dari botol kaca. Entah dari mana Komunis mendapatkan itu. Dari saku celana kainnya yang hitam, dia mengeluarkan ubi, yang juga entah dari mana ia dapati. Kelihatan jelas ubinya masih mentah. Namun tetap disodorkannya pada si Vigilante.

Tak ada tanda-tanda akan dikulumnya ubi itu. Vigilante bahkan tak sanggup makan. Tentu saja, apa lagi dengan ubi keras yang mentah. Komunis itu yang mengunyahnya sekarang. Giginya cukup keras untuk melakukan itu. Sampai dirasanya sudah empuk, dikeluarkannya sari ubi itu dan dimasukkannya dalam mulut Vigilante. Jijik. Benar-benar jijik Vigilante melihatnya. Namun tanpa diinsafi lagi, langsung ditelannya semua. Bahkan sisa kunyahan seperti itu sangat enak baginya sekarang. Lambat laun sakit di kakinya berkurang. Darahnya tak lagi mengucur. Perutnya pun kekenyangan.

***

Pelan sekali. Sambil terengah-engah, membawa orang yang lebih besar dari dirinya. Sambil digendong pula di punggung. Si Komunis tak sanggup terus berjalan. Sebab itu dia berhenti agak berapa kali. Sejurus saja lamanya, untuk mengatur nafas. Ingat jelas dia bahwasanya Vigilante ini, yang digendongnya ini, yang mengejarnya tadi pagi. Tapi siapa sangka sekarang dia malah menolongnya. Tidak nyaman baginya meninggalkan seseorang yang hampir sekarat.

"Pergi saja. Tinggalkan aku di pinggiran hutan. Kalau yang lain melihat, bisa-bisa kamu langsung ditangkap. Anggap rasa terima kasihku, aku tak melihat seorang komunis pun di sini," kata Vigilante yang setengah berbisik di telinga Komunis.

"Saya memang kucing-kucingan tadi. Sudahlah. Mau sampai kapan saya lari. Ditangkap pun tak apa," tolak Komunis memaksakan senyum.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun