Ada bau masam yang naik ke hidung. Bau yang asalnya tak jauh dari saya. Sepuluh dua puluh langkah agaknya. Beranjak saya ke sana setelah baru keluar dari kedai kopi, tempat biasa berutang. Di sana, di asal bau masam, duduk-duduk sejajar lemon yang kuning pucat. Di belakangnya ada pula dua orang berdiri, sepanjang kaki saya, dari pinggang sampai ke tumit. Dua orang yang masih bau kencur, sepasang anak kembar.
Melihat lusuhnya mereka, dengan baju dan celana dekil, memberi tahu kalau mereka pendatang. Bukan asli orang kota sini. Apa lagi lemon yang hendak mereka jaja. Tidak ada satu pun pohon lemon di kota ini, tidak pula orang yang membeli buah langsung. Semuanya selalu dalam kaleng. Jadi saya berjanji pada mereka kalau semua lemon akan saya beli, asal mereka mau mendengar cerita saya. Duduk bersebelahan di samping kedai kopi.
Saya bercerita bagaimana sebuah kota yang jauh lebih kecil ketimbang kota ini. Kota bobrok di mana, yang setiap penduduknya lakukan hanya menanami lemon dan jeruk lainnya di musim semi, memanennya di musim panas, mengolahnya di musim gugur, dan mengirimnya ke tempat lain di musim dingin. Halaman-halaman rumah akan selalu ada pohon lemon, dan tidak ada lemon yang akan mati atau gagal panen. Sebuah kota kecil berbau masam.
Sebuah lemon yang baru tumbuh, ingin pergi ke tempat di mana hanya ada sedikit lemon. Ia ingin menjadi lemon yang langka, yang jarang-jarang didapatkan. Bukan satu dari ribuan lemon di tempatnya. Masamnya aroma kota membuatnya tak nyaman. Ia selalu menanti musim panas datang, saat ia akan dipanen. Namun ia belum cukup matang di sebuah musim panas, dan harus menunggu musim panas selanjutnya.
Melihat lemon-lemon yang lebih tua akan pergi di musim dingin, iri ia rasanya. Ia melepas diri dari rantingnya, bergelinding ke tumpukan lemon lain, dan ikut keluar dari kota itu. Alih-alih belum diolah, matang saja ia belum. Tapi ia berhasil ke kota yang baru. Kota di mana tercium bau mesin, bisingnya klakson mobil, dan langkah kaki orang ramai.
Ketika semua lemon masuk ke dalam kaleng atau diperas jadi minuman, ia tidak ikut. Ia hanya dibiarkan terjatuh di pinggiran pabrik, tidak ada yang ingin memakannya. Ia diguyur hujan salju di musim dingin, ditumpuki salju yang mencair di musim semi, dan mengering terkena musim panas. Lalu di musim gugur angin menerbangkannya, ke tengah-tengah jalan, dipijak orang-orang dan tersapu ke dalam tempat sampah oleh pembersih jalan. Dan membusuk sampai mati.
"Itu kota kami, Kek!" ungkap mereka berdua.
Itu juga kota saya. Saya juga kabur dari kota masam itu, puluhan tahun lalu. Sampai sekarang saya hanya buruh bangunan gedung di kota ini. Kalau saya tidak kabur, mungkin saya sedang makan lemon sama anak cucu. Saya hanya mau itu kembali, hari di mana saya makan lemon sambil bercakap-cakap. Seperti saat ini.
"Lemon itu menyesal?"
Mendengar itu saya menjawab, "Iya, ia lebih mau dimakan langsung di sana. Dari pada masuk ke kaleng atau sendirian di kota ini. Ia mau mencium aroma masam lagi."