Mungkin aku adalah orang yang paling beruntung di dunia, atau mungkin tidak juga. Aku tidak pernah ingat ada sesuatu yang tak sejalan dengan keinginanku. Bahkan saat itu, aku yang hanya duduk di kursi pojok kelas, mendengarkan celoteh temanku, di tengah pelajaran. Guru yang sadar kami tidak mengikuti pelajaran melemparkan penghapus papan tulis ke arahku. Aku berharap penghapus itu tidak mengenaiku, dan benar saja, temanku menepisnya dengan tangannya. Tentu saja guru tetap meneriaki kami dari depan, dan mengancam akan menghukum kami. Aku tidak ingin itu terjadi, akan sangat merepotkan jika dapat hukuman, waktu dan tenaga akan terbuang untuk sesuatu yang tak ingin kulakukan. Tentu saja, guru itu hanya menggertak, tapi aku bersyukur keinginanku terjadi.
Saat jam makan siang, semua siswa di kelas berusaha untuk makan bersamaku. Aku juga tidak tahu, rasanya aku seperti memiliki daya tarik magnet, sementara mereka adalah besinya. Secara alami memiliki sesuatu yang membuat orang-orang ingin mendekati. Bukan karena penampilan, aku tidak merendah, tapi aku benar-benar biasa saja. Kemampuan dan sikap, aku sama seperti kebanyakan murid lainnya yang tergolong rata-rata dan tidak terlalu baik. Namun, mereka selalu berusaha dekat denganku. Ya, sebenarnya aku yang memang ingin menjadi pusat perhatian mereka pada awalnya.
Walau pun begitu, rasanya ada yang aneh dengan diriku. Melihat senyum mereka, mendengar gelak tawa, dan kata-kata mereka-yang entah mengapa selalu saja sesuai dengan apa yang kuinginkan-itu terasa memuakan. Aku bosan, senyum mereka lama kelamaan menjijikkan. Tawa mereka memekakkan telinga. Semuanya terasa palsu. Mereka tidak menyembunyikan sesuatu, atau mungkin aku yang tidak sadar. Hari-hari yang kujalani seharusnya terasa menyenangkan dengan penuh warna. Namun, yang kurasakan hanya sesuatu yang hambar dan kelabu, tidak hitam maupun putih. Membosankan, memuakan, menjijikkan, membuatku selalu muntah ketika pulang sekolah.
Bahkan saat di rumah, orang tuaku yang senyumnya sama mencoba dekat denganku. Aku tahu seharusnya orang tua memang harus dekat dengan anaknya, tapi ini terjadi tiba-tiba. Sampai beberapa bulan yang lalu, mereka berdua---ayah dan ibuku selalu pergi dengan urusan mereka masing-masing. Entah itu pekerjaan atau hanya untuk memenuhi kesenangan mereka saja. Sekarang mereka merasa dekat denganku, hanya mereka. Aku merasa semakin jauh, bukan berarti aku tetap tidak terima perlakuan mereka terhadapku sebelumnya, malah rasanya aku ingin kembali sendiri seperti dulu. Benar, keinginanku tak pernah mengkhianati, jika aku ingin kembali seperti dulu, mungkin mereka akan menyingkir.
Begitulah hari-hariku. Saat ini aku berbaring di halaman sekolah yang dipenuhi rumput. Menolak ajakan teman-temanku yang ingin pulang bersama, menunggu matahari terbenam, agar aku tidak terlalu cepat melihat wajah orang tuaku. Jika saja, ada seseorang terasa berbeda dari yang lainnya. Seseorang yang tak akan pernah sesuai dengan keinginanku. Seseorang yang tidak terus memamerkan senyum menjijikkan. Seseorang yang tidak ingin dekat denganku, melainkan aku yang ingin mendekatinya. Jika keinginanku memang tak pernah mengkhianati, maka aku yakin orang seperti itu  mungkin akan kutemui. Oh tidak, rasanya pikiranku telah melalang buana terlalu jauh.
Samar-samar mataku melihat seseorang yang tengah berjalan. Seseorang yang belum pernah kulihat sebelumnya, tertatih ke arahku. Ia seperti sampah masyarakat yang sering mabuk dan tanpa tujuan hidup. Namun, tidak sesungguhnya terlihat seperti itu juga. Hal yang membuatku bertanya-tanya adalah ia yang menggunakan gaun pengantin lengkap dengan kerudung serba putih. Membawa beberapa tangkai mawar yang telah mengering di tangan kirinya. Mawar itu cukup kering, dan harus segera dibuang. Kaki kanannya hanya diseret tanpa melangkah, rantai melilit kaki putih mungil yang tanpa alas itu. Mungkin ia ingin kawin lari dan berhasil kabur dari belenggu orang tuanya. Ya ampun, terasa seperti cerita roman murahan. Ia berhenti tepat di depanku, aku duduk di rumput dan ia merobohkan tubuhnya ke diriku.
Kedua tangannya tiba-tiba memegang erat kepalaku sehingga mawar itu dicampakkan. "Maaf, siapa kau? Bukankah sedikit tidak sopan memegang kepala sambil menjatuhkan tubuhmu ke seseorang yang baru kau temui?"
Ia hanya diam membisu, dan semakin terlihat tidak baik-baik saja. Tubuhnya tak sanggup ia tahan lagi. Dengan cepat aku menangkapnya, kulihat mata cokelatnya mulai menutup. Sepertinya ia tertidur kelelahan atau mungkin pingsan, aku tak tahu.
Sambil terengah-engah aku menggendongnya sampai ke ruang UKS. Tidak ada siapa pun lagi di sekolah, semua guru juga sudah pulang. Kubaringkan tubuhnya di atas kasur, untung saja ruang ini tidak pernah dikunci. Aku duduk di kursi, mengatur nafasku kembali. Wanita ini mungkin pertengahan dua puluhan, tapi gaun pengantin ini membuatku bingung. Siapa peduli, rasanya mataku mengantuk. Perlahan kupejamkan mataku, walau aku tahu sebaiknya tidak tidur saat senja berganti malam. Namun, aku tak dapat menahan kantuk yang tiba-tiba ini.
***