Mohon tunggu...
Heru Kesuma
Heru Kesuma Mohon Tunggu... Novelis - Penulis

Seorang penggemar berat Harutya. Menulis untuk hidup, selain mengisi waktu. Karena ia hanya seorang pengangguran yang hampir dua puluhan. Setiap apa yang ditulisnya membuatnya merasa dirinya punya alasan atas eksistensinya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bunuh Diri Bersama Seorang Pengantin

11 September 2023   22:07 Diperbarui: 11 September 2023   22:15 181
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : unsplash.com

Aku terbangun di tempat yang berbeda. Tempat yang terasa sudah tidak asing lagi. Baik itu dinding, langit-langit maupun lantainya semua berwarna abu-abu. Tidak ada jendela maupun pintu, benar-benar terisolasi. Ah, aku sering ke tempat ini, hanya dalam mimpi. Baik itu tidur saat siang, malam, atau kapan pun itu aku pasti bermimpi ruangan ini. Aku tidak pernah bermimpi tentang yang lain, mungkin sewaktu kecil, tapi aku sudah lupa. Kulihat sekeliling ruangan ini, tak ada apa pun, kosong. Mataku tiba-tiba menangkap sesuatu yang belum pernah ada di mimpi-mimpi sebelumnya. Wanita bergaun pengantin tadi. Mengapa ia ada di sini? Seketika kepalaku seperti kesetrum, aku mengantuk lagi. Begitu bangun, aku telah kembali ke ruang UKS.

Ia telah terbangun dan hanya duduk di atas kasur. Tampaknya ia lebih baik sekarang, tapi hari telah hampir tengah malam. Gawat sekali, tak mungkin ia kutinggalkan di sini begitu saja. Aku berulang kali mengajaknya bicara dan berulang kali juga ia tidak mengacuhkan diriku. Yang benar saja, ada apa dengannya. Aku ingin ia bicara, supaya ia menjawab pertanyaanku. Namun, pertama kalinya sesuatu tidak berjalan sesuai keinginanku. Padahal aku hanya ingin mengantarnya pulang, atau mungkin ia tidak punya rumah. Benar-benar pelarian sepertinya. Kutarik tangannya, ia mengikutiku. Tidak ada pilihan lain, aku akan membawanya pulang ke rumah.

Sepanjang perjalanan pulang yang sepi, kami tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Aku bingung ingin bicara apa, ia pasti hanya mendiamkan diriku. Kuharap kedua orang tua itu tidak di rumah. Benar saja, tak siapa pun ada di rumah. Mereka meninggalkanku pesan di kertas bahwa mereka pergi ke luar kota untuk waktu yang cukup lama. Dewi Fortuna memang selalu bersamaku, kecuali jika mengangkut wanita dengan gaun pengantin ini.

"Kau ingin ke kamar mandi? Ah, pasti kau lapar," ujarku padanya yang masih tetap diam. Ia makan saat kuberi makanan. Gaun pengantinnya tak ingin ia ganti, berapa kali pun aku bersikeras.

Berhari-hari kuhabiskan dengan seseorang yang sampai sekarang tidak kutahu namanya. Ia tak pernah keluar dari rumah. Aku jadi tak perlu memikirkan alasan jika tetanggaku menanyai kami, karena mereka tidak tahu keberadaannya di rumah ini. Setiap hari aku pulang dengan terburu-buru, menolak ajakan teman-temanku. Ia orang yang menarik, bukan hanya dari segi penampilan. Namun, juga dari sikapnya. Apa pun yang kuharapkan darinya tak pernah terjadi, berbeda dengan orang lain. Tidak ada senyuman yang menjijikkan darinya, wajahnya tanpa emosi. Tanpa tawa dan tidak berusaha mendekatiku. Ia benar-benar menghancurkan rekor keberuntunganku akan semua yang kuinginkan, walau kehadirannya sendiri merupakan keinginanku yang tercapai.

Saat malam sudah sangat larut, kuajak ia melihat langit malam yang gelap. Terkadang diterangi sinar rembulan, dan bintang-bintang yang berhamburan. Terkadang dijatuhi oleh rinai hujan. Bahkan jika gaunnya basah, ia tetap tidak menggantinya. Selalu memakai itu bahkan saat tidur bersamaku. Bukannya aku mencari kesempatan, tapi ia selalu datang ke kamarku dan tidur di sebelahku. Berkali-kali hingga membuatku menyerah untuk memperingatinya. Hari-hari yang kujalani berubah, aku tidak merasa muak melihatnya. Walau hal-hal yang kulewati ketika bersamanya juga sama saja setiap harinya. Ia tetap tidak membuatku bosan, ekspresinya sama sekali bukan kepalsuan. Karena ia juga tidak berekspresi mungkin.

"Kau mau pergi ke suatu tempat?" tanyaku padanya sambil memegang rantai di kaki kanannya yang tidak bisa dilepas. Aku tidak berharap ia akan menjawab pertanyaanku, tapi aku hanya sekedar ingin memecahkan keheningan.

"Bagaimana kalau aku tidak ada? Apa kau masih ingin meneruskan mimpi ini?" tanya dirinya padaku.

Jujur saja itu pertanyaan yang aneh. Aku tidak mengerti mimpi yang ia maksud. Dirinya yang tidak ada juga lebih tidak kumengerti. Aku sempat berpikir mungkin maksudnya adalah jika ia mati, walau ia terlihat sehat. Mungkin sebenarnya ia mengidap penyakit mematikan. Ah, pikiranku telah terlalu jauh. Apa pun itu, aku hanya mengangguk dan tersenyum padanya. Tidak baik bertanya balik untuk mengetahui maksud pertanyaannya, menurutku begitu. Karena dari awal aku sadar, ia bukan orang yang benar-benar normal. Mungkin keterbelakangan mental disertai penyakit mematikan.

***

Gedung yang dilapisi warna putih. Itulah yang kulihat saat ini, banyak mawar berserakan di lantainya. Hanya kelopak mawar, tanpa tangkai. Lalu di depanku ada pengantin yang memegang beberapa tangkai mawar, menunggu sesuatu yang sepertinya tak kunjung datang. Wajahnya tidak asing, aku mengenalnya. Tidak salah lagi, memang dirinya. Aku bermimpi, hanya hal itu yang bisa kusimpulkan. Bukan hal yang mungkin secara tiba-tiba aku berpindah ke gedung ini, dan dirinya yang tampak berbeda, tidak lusuh seperti biasanya. Belakangan mimpiku aneh-aneh. Tunggu, rasanya aku akan tahu apa yang dilakukannya selanjutnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun