Chili
Chili berhasil meningkatkan kualitas tata kelolanya melalui serangkaian reformasi yang berfokus pada transparansi dan akuntabilitas:
1. Penerapan sistem pengadaan barang dan jasa pemerintah secara online.
2. Pembentukan lembaga independen untuk mengawasi kinerja pejabat publik.
3. Penguatan mekanisme partisipasi masyarakat dalam pengambilan kebijakan.
4. Peningkatan akses informasi publik melalui undang-undang keterbukaan informasi.
Upaya ini menghasilkan peningkatan dalam indeks persepsi korupsi. Pada tahun 2020, Chili menduduki peringkat 25 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi yang dirilis oleh Transparency International, (D. Subekti & U. Pribadi, 2022).
Keberhasilan reformasi birokrasi di berbagai negara tersebut menunjukkan bahwa perubahan mendasar dalam tata kelola pemerintahan bukanlah sesuatu yang mustahil. Meski konteks dan tantangan yang dihadapi setiap negara berbeda, ada beberapa pelajaran penting yang dapat ditarik:
1. Komitmen politik yang kuat dari pimpinan tertinggi negara menjadi sendi keberhasilan reformasi.
2. Pemanfaatan teknologi informasi secara optimal dapat mempercepat proses transformasi birokrasi.
3. Keterlibatan aktif masyarakat dalam proses reformasi sangat penting untuk memastikan akuntabilitas.
4. Pengembangan kapasitas dan integritas aparatur negara harus menjadi prioritas utama.
Bagi Indonesia, berbagai praktik baik tersebut dapat menjadi inspirasi sekaligus tolok ukur dalam upaya mewujudkan reformasi birokrasi yang berkelanjutan. Tentu saja, adopsi praktik-praktik tersebut disesuaikan dengan kebutuhan spesifik Indonesia.
Tantangan Implementasi di Indonesia
Reformasi birokrasi di Indonesia telah menjadi agenda penting dalam upaya mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Kendati, dalam implementasinya, masih terdapat berbagai tantangan yang perlu diatasi. Berikut beberapa tantangan utama yang dihadapi Indonesia dalam mengimplementasikan reformasi birokrasi:
Salah satu hambatan terbesar dalam reformasi birokrasi adalah resistensi dari para birokrat sendiri. Banyak pejabat yang telah nyaman dengan sistem lama merasa terancam dengan adanya perubahan. Pola pikir dan budaya kerja yang telah mengakar selama bertahun-tahun sulit diubah dalam waktu singkat. Akibatnya, berbagai program reformasi seringkali menghadapi penolakan baik secara terang-terangan maupun diam-diam.
Penerapan reformasi birokrasi membutuhkan aparatur yang kompeten dan profesional. Sayangnya, masih terdapat kesenjangan kompetensi yang cukup lebar di kalangan ASN Indonesia. Sistem rekrutmen dan pengembangan kompetensi yang belum optimal menyebabkan tidak meratanya kualitas SDM aparatur. Hal ini menjadi tantangan serius, terutama di era digital yang menuntut kemampuan adaptasi cepat terhadap teknologi.