Totalitas untuk melakukan hal yang berbeda itu butuh sensasi khusus dan juga perbuatan yang serius. Bukan hanya akan berdampak pada dirinya tetapi perubahan yang  diharapkan menjadi keyakinan baru.
Kiranya kebutuhan yang mendesak bagi bangkitnya kembali kesadaran untuk merawat dan mempertahankan demokrasi di Indonesia?
Dalam perkembangan demokrasi Indonesia, Pemilu 2024 diyakini sebagai pelaksanaan demokrasi terbesar namun dikatakan sebagai tonggak kematian demokrasi secara dramatis.Â
Pemilu 2024 dengan banyak teatrikal politik yang merusak dan membakar marwah, subtansi sekaligus memutuskan cita-cita luhur para pendiri bangsa.
Disebutkannya jika output politik hanya sekedar memberikan legitimasi searah bagi langgengnya feodalisme yang berkerja sama dengan rejim sedang berkuasa.Â
Produk politik yang nihil akan moralitas dan integritas dengan penyertaan politik transaksional yang brutal dan mengenaskan.
Agenda Pemilu 2024 salah satunya memilih Capres dan Cawapres. Pilpres sudah berakhir dengan segala kompleksitas permasalahan yang berjenjang.Â
Pilpres dianggap berakhirnya politik transaksional baik yang dilakukan oleh elite partai, partai politik dan juga pihak-pihak yang sudah melakukan pertaruhan modal besar. Pemilu sekedar menghasilkan isu kekuasaan dan distribusinya.
Wajar saja jika dalam proyeksi politik mengandalkan jual beli posisi dan juga bargaining politik. Mereka para pihak selaku pemenang Pilpres lebih suka berbagi kekuasan dan kenyamanan. Politik kerjasama yang membahagiakan semua pihak.
Bagiamana mungkin seorang capres yang belum dilantik sudah pasang badan melakukan deal politik khusus dengan berbagi kekuasan.Â
Bukan hanya kartel politiknya yang akan  dibagikan dan juga dijanjikan posisi jabatan yang mengiurkan, lawan politiknya pun ditawarkan kelezatan kekuasaan.
Wajar saja jika proyeksi kementrian akan meledak dan presiden terpilih Prabowo Subianto akan membentuk sebuah kabinet yang gemuk. Jumlah Menteri yang akan diangkat meledak dari 34 ke 40 Kementrian.Â
Penambahan kementrian ini untuk alokasi dana distribusi para elite yang mencomot di luar partai pendukung.Â
Kabinet bersama untuk menikmati kekuasaan bersama ketimbang kabinet yang efektif dan efesien untuk melayani masyarakat dan simbul pengabdian bagi masyarakat.
Presiden terpilih mengumbar janji dengan menyertakan entitas politik di Kabinetnya. Tidak berfikir memberikan ruang untuk para pejuang demokrasi steril dari penyakit virus kekuasaan.Â
Justru sebaliknya Prabowo Subianto mengaku akan terus menjalin kerja sama dengan semua kekuatan. Meski begitu, dia tidak mempermasalahkan jika masih ada yang tidak mau untuk diajak kerja sama.
"Indonesia tidak bisa dibendung. Kecuali elit Indonesia tidak bisa atau tidak mau kerja sama.
Kuncinya itu. Dengan demikian, saya akan berjuang terus bersama semua kekuatan yang mau diajak kerja sama. Yang tidak mau diajak kerja sama tidak apa-apa," kata Prabowo dalam acara Bimtek dan Rakornas PAN di Hotel JS Luwansa, Kuningan, Jakarta Selatan, Kamis (9/5/2024).
Setujukah dengan keputusan  politik bagi-bagi kekuasaan dilakukan oleh Prabowo Subianto sebagai upaya meredam konflik dan untuk kepentingan negara dan bangsa Indonesia?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H