Pelaku bisnis harap -harap cemas menghadapi tahun 2023.Hari ini,Senin,02/01/2023 Â adalah hari kedua dimulainya memasuki tahun tahun 2023. Banyak stigma negatif di tahun 2023 ,dari ancaman resesi ekonomi global ,ekonomi suram dan ditambahkan banyaknya bencana alam yang akan menguras keuangan suatu negara.
Secara bersamaan ,tahun 2023 merupakan tahun politik nasional ,pasti akan memicu gejolak politik dan ekonomi. Dibutuhkan treatmen khusus bagi pengusaha agar dapat hidup survival menghadapi disrupsi politik. Tidak peduli perusahan besar atau kecil,semuanya harus waspada dan siaga.
Era DigitalÂ
Perkembangan teknologi telekomunikasi berdampak disektor bisnis dari hulu ke hilir . Telah menggeser dan mengubah sistem rejim ekonomi kapitalis lama ke rezim ekonomi digital ( e- commerse). Terjadilah fase disrupsi bisnis secara revolusioner, tampa batas dan kendali.
Revolusi digital,tampa kecuali menghujam disektor mata rantai distribusi. Ekosistem distribusi barang  dan jasa serentak berubah. Proses kanibalisme terjadi antar pelaku ekonomi dalam fase rejim ekonomi digital. Hukum pasar berguncang dan berubah. Kemana arah  pelaku usaha harus memilih dan berpayung?
 Ekonomi Tradisional ke Ekonomi DigitalÂ
Hijrah besar -besaran pembeli shifting ke sistem online dalam bertransaksi terjadi sekitar tahun 2018.  Mulai merasakan market place asing atau lokal mulai membuka lapak barang -barang yang dijual belikan di toko offline  .Mereka memulai bakar uang secara besar-besaran untuk mencaplok dan memenangkan pasar.  Secara gradual ( pelan ),pelanggan toko offline  menjadi sensitif harga  dan konsumen mulai menghilang .
Saat ini masih sering terjadi dan terdengar berdebat dan berkelahi antar pembeli dan pedagang karena perbedaan  tafsiran harga yang perdagangkan,disparitas harapan pembeli dan penjual terlalu lebar . Penjual secara umum merasa tidak dihargai dan dilecehkan  oleh pembeli, sementara pembeli merasa ditipu penjual karena bandrol harga yang dijual terlaku mahal dan culas.
Konflik Penjual dan Pembeli
Akhirnya menemukan akar permasalah baik dari pembeli dan juga penjual. Bermuara persoalan menemukan sumber informasi harga yang sudah diketahui atau didapatkan oleh pembeli di media sosial atau lapak online. Resources produk dan harga sangat terbuka ,bisa dinikmati dan diakses oleh siapapun tampa batas.
Bagi penjual offline merasakan jika mereka menjual barang dagangannya harus menyertakan atribut ongkos produksi ( HPP). Wajar jika harga yang dibandrol mahal .Â
Tidak hanya menjual  barang semata tetapi mereka berpikir jika diharga yang tertera sudah termasuk biaya -biaya lain  yang harus ikut sertakan. Jika tidak ,mereka akan rugi dan tidak bisa melangsungkan ekosistem penjualannya.Â
Blunder Rantai PenjualanÂ
Ketidakadilan  sistem penjualan atau manajemen distribusi tejadi sehingga menyebabkan kondisi parah yang menyudutkan toko -toko offline. Hal yang sangat menyedihkan adalah para importir barang dan juga sebagai distributor pertama ikut serta memperdagangkan barang impornya melalui sistem online.Â
Dampak yang sangat terasa adalah toko -toko offline yang dulunya adalah mitra  distributor barang impor harus berkelahi  memperebutkan pasar yang sama . Celakanya mereka berdagang dua arah,memasok barang ke toko -toko offline  dan juga berdagang online .
Penyebab ketidakadilan adalah harga yang dijual oleh distributor  melalui penjualan online  sama dengan yang dijual di toko offline..Akibatnya  toko offline terpuruk ,tidak bisa bersaing harga dengan empunya ( distributor ).Â
Harga yang dijual oleh toko offline semakin mahal karena harus memperhitungkan faktor tambahan seperti sewa toko ,membayar karyawan dan juga bunga bank . Sementara distributor banyak tidak berfikir mempunyai karyawan ,sewa tempat atau harus juga membayar pajak sehingga dengan mudah tampa pertimbangan panjang memasang harga murah .
Bersaing Dengan TradingÂ
 Persaingan dagang para penjual offline tidak hanya berhadapan dengan distributor. Lapak offline harus berkelahi  keras dengan para trader lokal atau makelar yang hanya bermodalkan sistem penjualan online atau bermodalkan gambar atau brosur yang dipasang di platform penjualan media sosial seperti FB,IG dan Twitter.Â
Mereka dapat berjualan tampa modal banyak ,bisa dikerjakan sendiri ,tampa sewa tempat dan yang pasti mereka tidak membayar pajak .
Golongan trader ini biasanya menjajakan barang dagangannya melalui strategi penjualan gerilya  (tersembunyi ) di group -group media sosial ,WA dan aplikasi sosial lainnya.Â
Menawarkan harga lebih miring dengan toko offline dan ditawarkan juga paket pemasangannya juga sehingga konsumen mendapatkan harga murah dan jaminan pemasangannya juga.Â
Para trader biasanya termasuk manusia terdidik dengan bekal kecerdasan marketing dan finansial yang mumpuni. Alhasil ,mereka berjualan tampan modal besar,infrastruktur minim dan tenaga kerja banyak. Â
Harga yang ditawarkan murah dan berhasil menyakinkan konsumen untuk bertransaksi dengan berbagai jaminan atau nilai tambah lainnya.Â
Mencari ResolusiÂ
Kondisi semakin mencekam ketika banyak toko offline tidak bisa beradaptasi atau segera melakukan perubahan mendasar berkaiatan cara merespon kebutuhan dan permintaan pasar . Lapak offline juga harus dituntut untuk melakukan inovasi internal menyangkut manajemen perusahaan yang harus didesain ketat dan efesien.Â
Yang mesti dilakukan untuk dapat bersaing dengan lapak online adalah memberikan nilai tambah dalam berbelanja offline. Menciptakan situasi baru baik tempat atau sarana promosinya. Menciptakan sistem dagang yang terkoneksi langsung ke konsumen.Â
Para penjual lapak offline harus mampu mendeteksi secara dini perubahan dan keinginan konsumennya. Kemenangan penjual offline adalah mempunyai kelimpahan data base penjual. Oleh karenanya ,deteksi dini perilaku konsumen harusnya lebih cepat tercatat dan terserap dan dapat dijadikan bahan analisa dan keputusan bisnis yang tepat dan akurat.Â
Toko offline harus mampu mencapai dan menciptakan  hubungan keintiman dalam keluarga besar perusahaan. Menciptakan sistem komunikasi sederhana yang mampu menyediakan ruangan menyampaikan keluh kesah ,kritik atau keinginan lebih terhadap pelayanan yang kita miliki .Â
KesimpulanÂ
Catatan akhir ,tidak semuanya pembeli mempertimbangkan pembeliannya barang atau jasa harus berpatok di harga atau layanan online. Mereka lebih tertarik dan nyaman ketika toko offline menyediakan layanan prima yang mempunyai nilai lebih untuk dapat dinikmati oleh konsumen .
Dengan ketersediannya nilai tambah pelayanan yang toko offline yang dimiliki ,pembeli lebih berselera dan yakin akan pilihannya bertransaksi via offline dengan berbelanja langsung ke toko sekaligus menikmati kelebihan nilai toko tersebut .Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H