Mohon tunggu...
Heru Prabowo
Heru Prabowo Mohon Tunggu... Insinyur - Lagi belajar nulis...

Seorang ayah yang terus berusaha terlihat sempurna di depan putrinya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Hikayat Negeri Rokok

9 November 2018   18:45 Diperbarui: 9 November 2018   18:59 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(rokokindonesia.com)

Alkisah terdapat suatu negeri yang makmur bernama Mbakonesia. Negeri yang masyhur karena kekayaan buminya, tanahnya subur, lautnya luas, rakyatnya hidup akur dan damai.

Di suatu hari di sebuah warung kop dikelilingi asap tembakaui, di depan Monday Market, terdengarlah percakapan yang seru antara dua orang kampung.

"Susah mbah, jaman sekarang. Apa saja mahal. Beras mahal, bensin naik melulu, belum uang seragam anak yang ampun-ampunan!!", keluh Pak Garpit sambil menghisap dalam-dalam rokoknya.

Pak Garpit berumur awal 50 an, layaknya penduduk kampung yang lain, dia menggantungkan hidupnya dari bertani. Walaupun sudah berumur, badannya masih terlihat tegap dan kekar.

"Mana pencitraan mulu kan Sang Raja. Naik motor chopper lah, yang pakai jaket jeans lah. Gratisin jembatan aja pake diresmiin sendiri. Kayak gak punya menteri aja.", lanjut Pak Garpit.

"Iyaa betul itu pit. Enakan jaman Raja kita yang dulu ya."

"Yahh, biarpun harus terus disuruh milih partai Bonsai, pager rumah kudu dicat kuning, seenggaknya hidup gak sesusah sekarang.", Mbah Kretek menimpali.

Lain Pak Garpit, lain lagi Mbah Kretek. Mbah Kretek ini berumur 73 tahun. Orangnya kolot tipikal orang tua, dan selalu memakai blangkon sebagai penutup kepalanya.

"Tapi gak kayak gitu juga sih mbah, waktu itu kan harga murah karena dibiayai pakai duit utangan", sergah Pak Garpit.

 "Mau duit hasil ngutang kek, mau hasil ngepet kek. Kita rakyat kecil mah gak peduli, pit! Yang penting kita bisa hidup tenang.", ketus Mbah Kretek gak mau kalah sambil menyeruput kopi pahitnya.

Dari meja sebelah dua orang pemuda tersenyum-senyum mendengar percakapan mereka. Rupanya sedari tadi mereka ngopi sambil menyimak obrolan dua orang kampung itu.

Pemuda yang satu berpenampilan necis, berambut klimis layaknya pemuda millennial dan satunya lagi berambut gimbal dan berewokan.

Sang pemuda millennial pun kemudian berdiri dan menghampiri meja tempat Pak Garpit dan Mbah Kretek mengobrol.

"Boleh saya gabung Mbah? Pak?"

"Nama saya Mild dan itu teman saya yang gimbal itu, Cimeng", kata si pemuda millennial memperkenalkan diri.

"Meng, sini meng!"

"Saya dengar dari tadi sepertinya seru sekali obrolan bapak-bapak ini. Emang lagi pada bahas apaan sih Pak?"

Pak Garpit dan Mbah Kretek pun memandangi kedua pemuda itu dari atas kepala hingga ujung kaki. Dipandanginya lekat-lekat kedua pemuda itu.

"Ini lho dek, kita lagi ngomongin harga-harga yang lagi pada naik. Gak kayak jaman Raja-raja kita yang dulu. Yang mau naikin bensin aja dipikir seratus kali. Nah sekarang, gak ada ujan gak ada angin, malem diumumin, siangnya udah naik aja.", keluh Pak Garpit.

"Oooooohhh..", Si Mild cuma manggut-manggut mafhum.

"Kalo begini terus, saya mau ikutan gerakan #2019GantiRaja lah!", sahut Mbah Kretek.

"Begini Pak, Mbah. Jangan melihat orang dari kelemahannya saja. Semua manusia kan pasti ada kurangnya kan Mbah? Namanya juga manusia, bukan malaikat."

"Bapak-bapak wajib tau juga alasannya kenapa Raja kita naikin harga bensin. Bensin itu kan nanti jadi penerimaan negara tuh Pak. Hasilnya dipakai buat pembangunan infrastruktur, buat nutup hutang Raja-Raja dahulu, buat pendidikan sama lain-lain", Jelas Si Mild.

"Kan Si Mbah bisa lihat sekarang di kampung pelosok timur sana, sudah mulai dibangun infrastruktur yang memadai. Yang sudah puluhan tahun gak tersentuh pembangunan. Padahal mereka nyumbang emas lho buat pemasukan negara kita."

"Memang sih Raja yang sekarang masih banyak kurangnya, tapi saya rasa kok gak adil kalau kita cuma lihat seseorang dari kurangnya saja.", tambah Cimeng.

Pak Garpit manggut-manggut kayak bandot lagi ngunyah rumput.

"Kamu pasti pegawai kerajaan yaa??", Tanya Mbah Kretek pada Si Mild .

"Hahahaha, bukan Mbah. Saya juga orang kampung sini, saya anaknya Pak Cerutu, mantan tentara yang sekarang punya peternakan kuda di selatan kampung", jawab Si Mild.

"Hoooo., iya iya. Mbah kenal sama bapakmu. Salam buat bapakmu ya, Le."

"Tapi ada benernya juga kalian, Le. Alangkah baiknya kalau kita suudzon sama Raja kita. Biar kerempeng gitu, dia juga udah bikinin kita bandara. Jadi Mbah bisa nengokin cucu Mbah di Samarinda. Hehehe.."

 "Terus yang satu ini anak mana? Udah berewok, rambut kayak pel-pelan lantai begitu? Ra gatel po sirahmu??" Tanya si Mbah Kretek.

"Auk ah Mbah.., saya orang Jamaika!!"

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun