Kalau boleh memilih, saya pergi ke Belanda, pasti akan pilih bulan April atau Mei. Saat yang tepat untuk melihat tulip bermekaran di Keukenhof. Tapi pasti itu sulit dong, buat status mahasiswa seperti kami. Yang dilakukan pertama adalah mencari jadual conference yang sesuai dengan topik riset kita. Lalu mencari travel grant-nya. Semua teman yang ikut itu-pun harus hunting secara bersamaan. Jadi ngga mungkin pilih-pilih waktu, sudah bisa ditebak pasti waktunya tidak pada bulan itu. Jadual conference memang sudah pada waktu tertentu. Keinginan saya itu namanya terlalu ngarep, tapi sulit kesampaian.
Lha emang tujuannya mau conference atau mau jalan-jalan ya? He he he. Tapi boleh deh ditanyakan ke seluruh mahasiswa ‘Permanent head Damage’ di seluruh dunia. Apa tujuan utama selain conference, dengan dalih untuk publikasi risetnya? Jawabannya bisa ditebak. Alasan utama adalah karena otak perlu rileks, tidak harus berkutat melulu di laboratorium. Kadanghasil analisis laboratorium dengan Gas Chromatograph bisa membuat kepala langsung pusing tujuh keliling jika hasilnya tidak sesuai dengan harapan. Saat conference adalah waktu yang tepat untuk beristirahat dari keharusan melakukan simulasi dengan angka-angka yang rumit untuk mengerjakan modeling. Kadang setiap kali di-run membuat hati jadi deg degan menunggu hasilnya seperti apa. Dan perlu membebaskan diri sejenak dari tekanan sang supervisor. Itu menurut saya, tapi siapa tau ada yang ngga begitu ya. Abis conference, terus ngacir pulang. Eh, sayang amat :D.
[caption id="attachment_218265" align="aligncenter" width="606" caption="Inilah pantai Scheveningen itu (dok. Herti)"][/caption]
Jauh-jauh hari, itinerary sudah tersusun dengan rapi. Schengen visa sudah di tangan. Semua detail perjalanan sudah siap. Berharap semua terlaksana sesuai dengan rencana. Namun apa mau dikata, ketika berada di sana cuaca di Belanda sedang tidak bersahabat. Meskipun keadaan tahun lalu itu musim panas, hujan sering turun. Dan angin kencang pun bertiup. Beberapa kali ada badai di daerah tertentu. Otomatis hanya 1 hari saja kami dapat memanfaatkan waktu untuk berjalan-jalan. Itinerary jadi berantakan. Keinginan setelah selesai conference untuk melihat deretan kincir angin di Zaanse Schans pupus, apalagi Volendam, sama. Rencana tinggal rencana. Tak berdaya karena cuaca. Seorang teman, yang sedang studi di Belanda wanti-wanti, ‘Mbak jangan pergi, ntar banyak area terbuka, takut terbang terbawa angin’. Ih serem juga deh. Tapi memang kami tak berani pergi ke area wisata tersebut. Meskipun demikian, tetep aja tak rela jika harus berdiam diri di tempat kami menginap.Masak sudah menempuh perjalanan yang super jauh gitu, cuma untuk ngga pergi ke mana-mana. Rugi dong. Meskipun ada teman yang berniat ingin tinggal, tapi akhirnya kami semua bepergian.
Dari Den Haagkami pergi dengan kereta ke Amsterdam. Tak peduli hujan, kami susuri jalan dan mampir di pertokoan sekitar Dam Square, merupakan town square di Amsterdam. Pulangnya sekitar jam 8 malam sampai di Den Haag Centraal lalu naik bus Veolia terakhir, menuju ke Wassenaar, tempat kami menginap. Turun dari bus, hwaaa, ternyata hujan masih cukup deras, dan angin kencangnya mengerikan, meskipun suasana masih terang. Sesekali terpaksa saya berpegangan kuat-kuat pada pagar rumah orang, takut ikut terbang terbawa angin, he he he. Payung sudah tidak karuan bentuknya, patah-patah. Kami hanya berlindung di balik mantel plastik yang baru kami beli, plastiknya seperti kantong kresek. Alhamdulillah akhirnya sampai juga ke Wisma KBRI itu. Saya jadi lebih mengerti setelah mengalami sendiri, kenapa banyak kincir angin di negeri ini. Rupanya untuk memanfaatkan tenaga angin yang berlebihan di sini.
[caption id="attachment_218266" align="aligncenter" width="606" caption="Di dekat pantai, tempat kami naik tram, dari jauh tampak Kurhaus hotel yang terkenal di Scheveningen (dok. Herti)"]
[caption id="attachment_218267" align="aligncenter" width="499" caption="Suatu sudut jalan di dekat pantai (dok. Herti)"]
[caption id="attachment_218268" align="aligncenter" width="606" caption="Jalanan yang berjarak terdekat dengan pantai, bayak berderet mobil dan bangunan apartemen (dok. Herti)"]
Untunglah hari pertama sebelumnya kami punya 1 hari yang cerah, hari dimana ada matahari bersinar dengan terik. Salah satunya kami pergi ke pantai Scheveningen. Sebelumnya teman saya juga sudah memperingatkan, ‘Mbak jangan banyak berharap dengan pantai itu, jauuh dengan pantai-pantai milik kita,di Indonesia. Ngga ada apa-apanya, siap-siap sebelum ntar kecewa’. Tapi meskipun dikomentari demikian, tetap berniat ke sana karena semakin penasaran. Lalu akhirnyakami pergilah ke pantai Scheveningen.
Hari itu memang sangat cerah, kami berangkat dari tempat kami menginap naik bus ke Den Haag Centraal. Sambil menunggu bus datang, ada seorang perempuan tua yang sedang menunggu di halte yang sama. Saya tanpa sengaja memperhatikannya. Tampak dia sesekali matanya memandang ke atas, ke langit yang biru. Dan dia tersenyum sendiri dan tampak raut wajahnya yang bahagia. Belakangan saya baru paham, perempuan itu ternyata begitu bersyukur dengan panasnya matahari. Matahari yang sering bersembunyi, meskipun saat musim panas tiba. Saya jadi teringat cerita teman kuliah saya, satu ruangan dan satu laboratorium. Dia lebih beruntung, karena mendapatkan beasiswa Erasmus Mundus ke Torino, Italia selama 20 bulan. Selama musim panas, kalau dia pergi ke kampus berjalan kaki, dia memakai payung. Biasa, takut mukanya jadi hitam. Lalu temannya ada yang protes, kok kamu ngga bersyukur dengan sinar matahari?. He he he. Asal tau aja, kalau di Yogya dia kan ngga pernah berjalan kaki, melainkan berlindung di balik city car-nya. Mana mau dia berpanas-panas ria menghitamkan kulit.
[caption id="attachment_218270" align="aligncenter" width="606" caption="Orang-orang yang mau piknik ke pantai (dok. Herti)"]
[caption id="attachment_218271" align="aligncenter" width="606" caption="Banyak sepeda (dok. Herti)"]
[caption id="attachment_218272" align="aligncenter" width="606" caption="Sepeda-sepeda disandarkan begitu saja (dok. Herti)"]
Sebelum menuju ke pantai kami pergi ke Madurodam terlebih dahulu. Scheveningen adalah bagian kota (stadsdeel) dari Den Haag. Untuk ke pantai kami melanjutkan perjalanan dengan tram. Turun di perhentian, kami hanya berjalan kaki ke arah pantai. Pantai cukup dekat dengan perhentian terakhir. Yah, benar saja, lautnya tidak sebiru pantai milik kita, warnanya sesuai dengan warna langitnya, lebih dominan abu-abu. Apa ya tepatnya kesan yang timbul, yah pantainya biasa saja. Kami tidak berminat bermain pasir, apalagi berjalan di atas pasir putih itu. Cukup menikmatinya dari jauh. Sepertinya di pantai ini memang tidak ada yang berenang. Pengunjung hanya berada di atas pasir putih saja. Berwisata ke pantai ini bebas tanpa tiket masuk.
Kebanyakan pengunjung datang dengan sepeda. Mereka lalu menikmati suasana pantai. Sayang kami malas untuk berjalan lebih dekat dengan pantai. Jika kita berjalan di sepanjang anjungan besi atau pier, yang lumayan jauh jaraknya, kita bisa menikmati pemandangan pantai lebih dekat. Mungkin karena sudah sering menikmati pantai Parangtritis, Baron, dan Kukup dari dekat, jadi harap maklum jika kami tidak terlalu antusias.
[caption id="attachment_218273" align="aligncenter" width="606" caption="Cukup melihat aktivitas di pantai dari jalan yang agak lebih tinggi (dok. Herti)"]
[caption id="attachment_218274" align="aligncenter" width="606" caption="Menara pengawas pantai di sebelah kiri (dok. Herti)"]
[caption id="attachment_218276" align="aligncenter" width="606" caption="Ada kasino di bangunan paling ujung pier yang menjorok ke pantai (dok. Herti)"]
Setelah puas melihat-lihat, kami melanjutkan perjalanan dengan menyusuri jalan yang terdekat dengan pantai. Di sana ada deretan penjual makanan atau kafe, juga toko-toko penjual souvenir. Sebenarnya souvenir yang dijual hampir sama dengan tempat wisata lain di Belanda. Hanya saja kalau di sini kita bisa memperoleh kartu pos, atau tempelan magnet yang bergambar dan bertuliskan Scheveningen.
[caption id="attachment_218277" align="aligncenter" width="415" caption="Salah atu toko souvenir (dok. Herti)"]
Tak terasa hari sudah siang, dan perut terasa lapar. Ada beberapa pilihan menu makanan di sini. Tapi tetep aja yang dicari adalah nasi. Akhirnya kami temukan penjual kebab di antara deretan penjual makanan itu. Nomer satu alasan kami pilih itu adalah karena kehalalannya, dan tentu saja karena ada nasinya. Kami menikmati dengan lahap, siapa tau beberapa hari ke depan tidak akan bertemu dengan nasi :D (eh ternyata benar, 3 hari berikutnya kami baru makan nasi lagi).
[caption id="attachment_218279" align="aligncenter" width="450" caption="Adana yang dipesan teman saya (dok. Herti)"]
Ketika sudah selesai makan, kami berjalan kembali ke tempat perhentian tram untuk melanjutkan perjalanan menuju ke Delft. Di salah satu jalan sekitar daerah Scheveningen itu, ternyata kami menemukan ada beberapa penjual menu makanan Indonesia, salah satunya adalah soto. Tapi karena udah terlanjur makan dan kenyang, jadi batal deh keinginan mencicipi-nya. Seharusnya kalau berada di suatu tempat baru sebaiknya seperti yang dilakukan oleh orang lain, yaitu mencicipi kuliner khas daerah tersebut. Tapi sepertinya itu tidak berlaku buat kami. Daripada tidak doyan, lebih baik cari aman. Dan tidak mau berspekulasi, apalagi sekali makan lumayan mahal. Begitulah sedikit cerita tentang kunjungan kami ke pantai Scheveningen, pantai yang biasa saja, tapi merupakan salah satu pantai tujuan wisata andalan di Den Haag, Belanda. Catatan dari perjalanan ini adalah saya sangat bersyukur tinggal di Indonesia, dengan kehangatan sinar matahari yang melimpah, adalah sebuah anugerah yang luar biasa. Ayo kita mensyukurinyadengan bekerja lebih keras. Salam jalan-jalan.
*****,
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H