Mohon tunggu...
Herti Utami
Herti Utami Mohon Tunggu... Dosen - Hasbunallah wa nikmal wakil

Seorang istri | ibu dari 4 orang anak | suka membaca dan jalan-jalan | lecturer, researcher, chemical engineer | alumni UGM | hertie19@hotmail.com

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Mengenali Potensi Kayu Pinus Sebagai Sumber Senyawa Terpen

21 Februari 2015   05:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:47 126
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selama ini pemanfaatan hasil hutan di Indonesia masih bertumpu pada kegiatan pengelolaan hutan berbasis produk kayu akibatnya ini akan mempercepat berkurangnya luas hutan. Di Indonesia berdasarkan hasil penafsiran citra landsat tahun 2000 terdapat 101,73 juta hektar hutan dan lahan rusak, diantaranya seluas 59,62 juta hektar berada dalam kawasan hutan. Menurut Kementrian Kehutanan, hutan di Indonesia yang masih tersisa dalam keadaan bagus (primer) tinggal 64 juta hektar. Jadi dari total luas tersebut, sekitar 50% nya sudah mengalami degradasi dan kerusakan.

Hal ini menempatkan Indonesia sebagai negara dengan laju deforestasi tercepat di seluruh dunia, dan sebagai negara penghasil emisi gas rumah kaca ketiga terbesar di dunia.Bank Dunia pada tahun 1986 silam memperingatkan, jika laju kerusakan hutan tidak bisa dihentikan,Indonesia akan menjadi negeri tandus alias padang pasir pada tahun 2026 nanti.1

Kondisi ini harus disikapi dengan arif dan segera dicari upaya-upaya penyelamatan hutan antara lain dengan melalui rehabilitasi lahan, reboisasi, dan pengelolaan daerah aliran sungai (DAS) yang lebih baik. Tindakan lainnya adalah mengelola dan menjaga hutan yang masih ada. Agar bisa dilaksanakan dengan baik, perlu ada peraturan ketat agar tidak terjadi lagi penyalahgunaan. Hal itu bisa saja dilakukan oleh warga lokal, masyarakat adat, perusahaan ataupun pemerintah daerah.

Salah satu upaya yang bisa dilakukan untuk menyelamatkan hutan di Indonesia adalah menghentikan atau mengurangi pengelolaan hutan berbasis produk kayu menjadi pengelolaan hutan berbasis non kayu. Salah satu potensi yang bisa menjadi target andalan adalah hutan kayu pinus. Pengelolaan hutan pinus yang merupakan bahan baku pembuatan terpentin, saat ini ditangani oleh P.T. Perhutani yang merupakan BUMN dengan tugas menyelenggarakan perencanaan, pengurusan, pengusahaan dan perlindungan hutan.

Keberadaanpohonpinusdengansejumlahprodukturunannya berbeda dengan hutan jati yang selama ini menjadiandalanP.T. Perhutani.Pendapatan kayu jati, murni hanya dari kayu. Adapun pohon pinus, produk bisa berasal dari getahnya, sementara kayunya tetap dipertahankan. Perluasan areal hutan pinus dapat dilakukan dengan menanam pinus di lahankosongdalamprogram reboisasi, dan mendesain ulang hutan yang kurang produktif.

Pinus (Pinus merkusii Jungh. et de Vriese ) atau disebut tusam juga dikenal sebagai pinus Sumatra (Sumatran pine) merupakan satu-satunya jenis tusam yang mampu menyebar secara alami ke kawasan selatan khatulistiwa. Tanaman ini pertama kali ditemukan oleh seorangbotanis asal Jerman, Dr. F. R. Junghuhn pada tahun 1841 di kawasan Tapanuli Selatan. Tusam jenis ini merupakan tusam yang cepat tumbuh dan tidak memerlukan persyaratan khusus untuk tumbuh,bahkan dapat tumbuh di area yang tanahnya kurang subur. Tanaman ini dapat tumbuh dengan baik pada dataran dengan  ketinggian antara 200 – 1700m dpl.Pada umur 10 tahun,Pinus merkusii mulai dapat dipungut getahnya.Pohon tua dapat menghasilkan 30-60 kg getah, 20-40 kg resin murni dan 7-14 kg terpentinper tahun.2

Gondorukem (padat) dari getah pinus (http://www.sisilain.net/2010/11/gondorukem.html)

Dari total produksi getah pinus, sekitar 70 persen diolah menjadi minyak gondorukem (gum rosin) dan 15 persen menjadi terpentin.Jadi minyak terpentin ini sebenarnya merupakan produk samping dari pengolahan getah pinus. Produk terpentin ini sebagian besar diekspor langsung dalam bentuk minyak terpentin, namun masih dalam bentuk crude-nya saja. Belum diolah menjadi produk turunannya.

14244458401001197612
14244458401001197612

Terpentin (https://cimanggu.wordpress.com/tag/gondorukem/)

α-Pineneadalah komponen utama dalam terpentin. Sebagian besar terpentin juga terdiri dariβ-pinene, d- atau l-limonene, 3-carene, atau α-terpinene. Di samping komponen-komponen tersebut, terpentin juga mengandung α dan γ-terpinene, α- dan β-phellandrene, terpinolene, myrcene, p-cymene, bornyl acetate, anethole, sesquiterpenes, heptanes, nonane, dan senyawa-senyawa lainnya. Sedangkan terpentin Indonesia menurut Fleig (2005) sekitar 65-85 % α-pinene, kurang dari 1% camphene, 1-3% β-pinene, 10-18 % 3-carene dan limonene 1-3%.3

α-Pinene dan β-pinene dapat diisolasi atau dimurnikan dari terpentin dengan distilasi. Kedua senyawa ini merupakan komponen terpentin yang merupakan material pemula untuk sintesis berbagai macam produk turunan baik produk politerpen maupun bentuk komponen dasar monoterpen yang sangat penting di industri kimia. α-Pinene dan β-pinene secara luas juga telah diaplikasikan sebagai solven untuk cat dan varnish, atau sebagai bahan baku untuk industri camphor, insektisida, fragrant substances, obat-obatan, senyawa untuk fine organic synthesis.

Hidrasi dengan katalis asam dan isomerisasi α-pinene menghasilkancampuran monoterpen yang kompleks, alkohol dan hidrokarbon. Produk utama adalah α-terpineol, limonene, danterpinolene. Serta sejumlah kecil camphene, α-terpinene danγ-terpinene, α-fenchol dan β-fenchol, isoborneol, borneol, γ-terpineol dan 1,8-terpine juga terbentuk. Produk ini secara umum berguna untuk membuat wewangian (fragrances) dan bahan obat.4 Sedangkan khusus produk turunan terpentin α-terpineol, secara luas digunakan pada industri kosmetik sebagai parfum, dalam industri farmasi sebagai anti jamur dan anti serangga, desinkfektan dan lain-lain.

Dalam hal pengolahan produk turunan terpentin ini memang Indonesia masih tertinggal jauh jika dibandingkan dengan China. Dengan membuat produk turunan atau derivate dari terpentin diharapkan akan mempunyai nilai jual yang lebih tinggi dibandingkan dengan terpentin sebagai crude. Jadi tidak sekedar hanya berpikir bahwa ‘untuk apa diolah lagi dijual terpentinnya saja sudah untung kok’. Pola pikir ini yang harus diubah karena dengan mengolah menjadi produk turunan selain memperoleh keuntungan yang lebih tinggi, diharapkan juga dapat membuka lapangan kerja untuk proses produksinya. Namun langkah ini perlu pengembangan riset dan kebijakan yang strategis dari pengelola negara. Dan yang paling penting adalah dengan memanfaatkan potensi hutan kayu pinus dengan pengelolaan hasil hutan berbasis non kayu ini, selain memperoleh produk-produk senyawa terpen, kita juga dapat mengurangi laju deforestasi dan dapat menyelamatkan hutan Indonesia.

*****

Referensi artikel :

1.http://www.greenradio.fm/index.php/news/latest/508-luas-hutan-indonesia-tinggal-separuh.html

2.Direktorat Perbenihan Tanaman Hutan,2001, Pinus merkusii Jungh. et de Vriese, Informasi Singkat Benih.

3.Fleig, H., 2005, Turpentines, chap. 14., Wiley-VCH Verlag GmbH and Co., KGaA, Weinheim.

4.Monteiro, J.L.F, and Veloso, C.O., 2004, “Catalytic Conversion of Terpenes Into Fine Chemicals, Topics in Catalysis”, 27, 1-4.

(Artikel Herti tentang : Potensi Sumber Daya Alam 8)

Artikel lainnya dapat dibaca:

Artikel Potensi Sumber Daya Alam lainnya : 1 (Gracilaria) 2 (Eucheuma), 3 (Sargassum), 4. (Bioetanol dari Biomassa), 5 (Biodiesel), 6 (Biofuel) , 7 (Bioetanol dari Sampah Kota)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun