Upaya tanggap darurat belum terkoordinasi dengan benar dan baik. Kearifan lokal dianggap angin lalu. Bahkan contoh kasus pemadaman cara lokal yang sukses pun belum menjadi pembuka nurani pemangku kepentingan.
Pengobatan lokal ada yang memanfaatkan asap. Dalam bahasa Dayak Ngaju di sebut Marabun. Untuk membuat asap ini bahan flora fauna abu di bakar menghasilkan asap mengusir roh jahat dan penyakit. Kebakaran flora fauna tanah yang lengkap unsur obat didalamnya saat ini di Kalteng mengusir roh jahat pergi, sedangkan ISPA bukan karena asap tapi karena kondisi higienis yang amat menurun dalam kemarau panjang. Saat ini roh jahat pergi ke tempat aman menunggu waktu yang tepat kembali ke Kalteng dengan pesawat dan kapal laut untuk melakukan lanjutan kegiatan proyeknya di eks lahan paska bencana. Namun roh jahat saat ini pun tetap aktif memantau dan beberapa kali meninjau kelapangan dengan kamuflase yang hebat bahkan seolah peduli dan membantu.
3. Bantuan asing terlambat dan diskriminatif alokasinya.
Hanya lokasi tertentu yang menjadj target operasi bantuan pemadaman. Daerah lain cuma dapat masker yang juga jadi polemik di koran tentang jumlah dan kualitas masker. Bantuan untuk dana tanggap darurat belum jelas alokasinya ada buat Pemda. Dalam kondisi persiapan Pilkada maka APBD Kalteng untuk Pilkada, tak mungkin mengalihkan dana daerah yang memadai ke keperluan darurat.
Operasi bom air dari udara di Sumsel jelas belum berhasil dan niat baik arogansi asing memadamkan api dipertaruhkan.
4. Penetapan Status Bencana Nasional dianggap malah tidak perlu.
Logika menolak status ini amat kurang kuat. Dikatakan status bencana adalah lex special melindungi pembakar. Padahal tindak hukum itu kan juga kausal sebab akibat. Manusia terpapar akibatnya itulah yang paling penting, bukan logika hukumnya. Asap sudah nyata sebarannya sampai luar negeri. Analoginya bila terjadi perang antar negara kita dengan pihak lain cuma pada lokasi tertentu, apa bukan darurat nasional. Kan perang bisa dihindari melalui antara lain perundingan dan bukan force majeure.
Tanpa penetapan bencana nasional maka bantuan tak datang teratur dari pusat, lalu Pemda terdampak harus aktif sendiri padahal semua orang itu korban dan belum ada rencana sebelumnya akan menghadapi bencana yang amat besar. Yang menyedihkan adanya pola pikir menilai masyarakat yang terpapar dampak itu manja tak mau tolong diri sendiri, ya kalau masih skala kecil memang semua bisa dikelola sendiri. Bahkan sebuah rumah pun kerap butuh bantuan orang atau pemadam kebakaran saat terbakar. Sikap berlaku tega negatif non empati terhadap sebuah persoalan orang banyak merupakan watak kekurangan sensitivitas atau kebal rasa yang menjurus skeptisme.
5. Kasus asap menjadi ajang unjuk intelektual basa basi dengan tindakan nyata minim.
Di Kalteng terdapat ahli gambut yang aktif di riset dan praktek pengendalian kebakaran sejak lama. Bahkan diakui oleh PBB atau Internasional. Namun karena eskalasi areal kebakaran sangat luas, upaya pemadaman yang terus dilakukan dengan tenaga biaya sarana yang minimal tidak mampu mengejar meluasnya api.
Nampaknya amat jelas hanya berharap hujan turun, tapi belum turun juga karena usaha manusia memperbaiki bumi belum sebaik merusaknya sehingga do'a barangkali sikap tak bertanggung jawab ingin solusi instan.