Mohon tunggu...
Hersa RachmadaniSiswanto
Hersa RachmadaniSiswanto Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Airlangga

Konten favorit saya Skincare

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Menyingkap Strategi Ekonomi di Balik Overclaim Produk Skincare: Antara Bisnis, Etika, dan Fenomena Flexing Kemewahan

11 Desember 2024   20:10 Diperbarui: 11 Desember 2024   20:06 24
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG


 Industri skincare di Indonesia tengah menjadi tren akhir-akhir ini. Produk-produk perawatan kulit tidak hanya menjadi kebutuhan dasar, tetapi juga simbol gaya hidup modern. Namun, di balik tren ini, muncul isu serius yaitu klaim berlebihan (overclaim) yang digunakan promosi untuk menarik perhatian konsumen. Ironisnya, praktik ini sering kali dibarengi dengan fenomena flexing kekayaan oleh pemilik brand, yang menampilkan kemewahan sebagai bukti kesuksesan bisnis mereka. Overclaim biasanya berupa janji manis seperti "kulit glowing dalam semalam," "memutihkan secara permanen," "bebas bahan kimia berbahaya," atau overclaim bisa juga berupa klaim pada kemasan mengandung niacinamide 5% tetapi saat di uji lab hanya terkandung 2% niacinamide. Klaim seperti ini memang terdengar menggiurkan. Produk dengan klaim bombastis ini biasanya dijual dengan harga tinggi, menargetkan konsumen yang mendambakan hasil instan tanpa mempertimbangkan dampak jangka panjang.    
Strategi ini jelas menguntungkan secara finansial bagi para pemilik brand. Namun, banyak dari mereka tidak berhenti pada pemasaran produk. Mereka menggunakan flexing menampilkan kekayaan seperti rumah mewah, mobil sport, hingga liburan glamor untuk memvalidasi kesuksesan mereka. Sayangnya, ini justru menambah ironi kekayaan mereka sering kali dihasilkan dari produk yang kualitasnya diragukan dan bahkan berpotensi merugikan konsumen.  
 Media Sosial dijadikan sebagai pengungkapan fakta. Fenomena ini mendapat perhatian luas di media sosial, terutama oleh para profesional medis yang berani bersuara, seperti "Dokter Detektif" di TikTok. Mereka membongkar fakta-fakta di balik produk-produk dengan overclaim sambil mengedukasi konsumen untuk lebih kritis dalam memilih skincare.  
 Namun, tak jarang upaya ini mendapat perlawanan dari pemilik brand yang merasa tersudut. Alih-alih memberikan klarifikasi yang jujur, beberapa di antara mereka justru mengandalkan pengaruh dan kekayaan untuk membungkam kritik atau mengalihkan perhatian konsumen dengan narasi kemewahan mereka. Tindakan flexing pemilik brand sering kali bertujuan untuk menciptakan citra keberhasilan. Mereka berharap publik melihat kekayaan sebagai indikator bahwa produk mereka berkualitas. Namun, ini sebenarnya adalah bentuk manipulasi psikologis. Alih-alih meningkatkan kepercayaan konsumen, flexing seperti ini justru mengaburkan fakta penting apakah produk yang dijual benar-benar aman dan efektif?  
  Dari sudut pandang ekonomi, fenomena ini mencerminkan praktik kapitalisme yang memprioritaskan keuntungan tanpa memikirkan etika bisnis. Menggunakan hasil dari overclaim untuk mendanai gaya hidup mewah tidak hanya melanggengkan praktik tidak sehat dalam industri, tetapi juga merugikan konsumen secara moral dan finansial. Untuk melawan fenomena ini, literasi konsumen menjadi kunci utama. Konsumen harus lebih cerdas dalam menilai produk, membaca label, dan mencari ulasan dari sumber terpercaya.
 Di sisi lain, pemerintah melalui BPOM perlu memperkuat pengawasan terhadap klaim produk, termasuk menindak tegas brand yang terbukti menyebarkan informasi menyesatkan. Sebagai pembelajaran, masyarakat juga harus menyadari bahwa kemewahan yang dipamerkan pemilik brand tidak selalu mencerminkan kualitas produk mereka. Keputusan membeli harus didasarkan pada fakta dan kebutuhan, bukan sekadar terpengaruh citra kemewahan.  
 
   Masa Depan Industri Skincare  Industri skincare Indonesia memiliki potensi besar untuk berkembang secara sehat dan berkelanjutan. Namun, ini hanya bisa tercapai jika para pelaku usaha mengedepankan integritas dan etika bisnis. Pemilik brand harus memahami bahwa kepercayaan konsumen adalah aset jangka panjang yang jauh lebih berharga daripada keuntungan instan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun