Mohon tunggu...
Herry Nuryadi
Herry Nuryadi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Manusia. Berusaha berpikir sebagai manusia, dan hanya ingin bicara tentang kemanusiaan....

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Jokowi dan “The Hidden Agenda”

27 Januari 2015   16:55 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:17 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14223260131930880418

[caption id="attachment_348210" align="aligncenter" width="346" caption="Sumber: Tribunews.com"][/caption]

“Pertarungan” institusi Polri dan KPK yang populer dengan julukan “Cicak vs Buaya 2” yang sekarang sedang berlangsung semakin menarik untuk diikuti. Apalagi saat ini “pertarungan” memasuki ronde dimana Wakil Ketua KPK, Bambang Widjayanto (BW), mengajukan pengunduran diri dari jabatannya dan juga sudah disetujui oleh Ketua KPK, dan hanya membutuhkan persetujuan presiden Joko Widodo agar KPK bisa melancarkan serangan “Skak Mat” pada Komjen Budi Gunawan (BG) bersama para pendukungnya yang sangat massive, karena merupakan konspirasi dari kumpulan partai-partai maupun pribadi-pribadi dengan kekuasaan yang sangat besar baik secara politis maupun ekonomis. Mengapa pengunduran diri BW bisa disebut serangan mematikan bagi kubu BG? Karena menurut saya, pengunduran BW dari jabatannya sebagai Wakil Ketua KPK dikarenakan statusnya sebagai tersangka dalam kasus kesaksian palsu sengketa Pilkada Kota Waringin di Mahkamah Konstitusi pada tahun 2010 yang lalu, “menodong” Komjen BG untuk melakukan hal yang sama, karena juga ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK dalam kasus gratifikasi, yaitu mengundurkan diri dari segala jabatannya dalam struktur kepemimpinan Polri, termasuk sebagai kandidat tunggal Kapolri. Hal ini harus dilakukan BG jika menginginkan institusi Polri masih punya “muka” dimata masyarakat. Demikian juga partai-partai dan pribadi-pribadi dibelakang BG, jika tidak ingin kehilangan muka. Dan jika presiden Jokowi dan Ketua KPK memang mempunyai “hidden agenda” (agenda tersembunyi) tersendiri, seperti yang saya perkirakan, maka besar kemungkinan Jokowi akan menyetujui pengunduran diri BW dari jabatannya untuk memperkuat tekanan terhadap BG agar turut mengundurkan diri sebagai kandidat Kapolri. Kasus BW bisa dijadikan amunisi tambahan bagi Jokowi serta memberi sinyal pada pihak-pihak dibelakang BG, bahwa manuver politik sang presiden tidaklah selugu wajahnya.

Friksi yang terjadi antara Komjen BG dan KPK (khususnya Abraham Samad) yang terjadi sekarang ini, hanyalah sepenggal ruas (dan tampaknya adalah tahap puncak) dari proses panjang pertarungan “perebutan pampasan perang” dari para pihak yang dominan dalam kubu KIH setelah memenangkan pilpres baru lalu. Walaupun pada saat kampanye pilpres yang lalu kubu KIH menggembar-gemborkan tidak akan ada bagi-bagi “kue kekuasaan” dikalangan kubu pendukung Jokowi jika memenangkan pilpres, tapi sebenarnya pihak-pihak pendukung Jokowi-JK, baik secara pribadi maupun partai, tidaklah jauh berbeda dengan KMP. Walaupun saya yakin, bagi-bagi kekuasaan bukanlah karakter pribadi Jokowi, tapi beliau tidak dapat mengelak dari tekanan para oportunis dibelakangnyayang kebetulan sangat cermat perhitungannya dalam meramalkan kemenangan Jokowi-JK, sehingga mereka berhasil dan beruntung memilih kubu yang tepat (KIH).

Menurut perkiraan saya, Jokowi mulai menyadari bahwa kubunya ternyata juga didominasi oleh pihak-pihak oportunis, seperti halnya dalam kubu KMP, sesaat setelah MK menguatkan kemenangannya dalam pilpres. Dan usaha pertama yang dilakukan Jokowi untuk mengendurkan tekanan kubunya (yang didominasi oleh Megawati, yang merupakan representasi dari PDIP, dan Surya Paloh yang merupakan representasi dari Nasdem) terhadap dirinya, adalah dengan melakukan “jurus mabuk” dibantu oleh Abraham Samad (AB), yaitu melakukan screening terhadap para calon anggota kabinetnya melalui KPK dan PPATK, terutama para calon dari partai yang merupakan kepanjangan “cakar” kepentingan partai untuk mencengkeram kekuasaan dalam pemerintahan. “Jurus mabuk” Jokowi ini benar-benar diluar dugaan kubu pendukungnya, dan ternyata efektif dalam menyaring kandidat menteri dari partai yang “track record”-nya remang-remang atau kelam. “Jurus mabuk” yang cerdik dari Jokowi tersebut berhasil menyisihkan calon-calon titipan partai yang ‘bermasalah”, diantaranya adalah Muhaimin Iskandar (Cak Imin) serta Komjen Budi Gunawan (BG). Yang sangat jelas menujukkan sikap kecewa (kalau tidak dapat disebut tidak senang) atas jurus Jokowi, adalah Megawati dan PDIP. Karena mereka merasa Jokowi adalah hanyalah “pekerja” PDIP. Ini membuat semua skenario Megawati(MSP) plus PDIP dan Surya Paloh(SP) beserta Nasdem-nya menjadi berantakan. Itulah sebabnya mengapa penetapan Kabinet Kerja menjadi mundur beberapa kali, karena MSP dan SP terpaksa harus menyusun kembali formasi kandidat titipan mereka akibat “diacak-acak’ oleh Jokowi-JK. Dan akhirnya, seperti yang kita ketahui, Maruarar Sirait dan Budi Gunawan (PDIP) akhirnya terpental dari formasi. Ada yang cukup menarik dalam kasus Ara (Maruarar Sirait). Megawati menariknya dari formasi calon menteri dengan harapan agar bisa ditanamkan pengaruhnya di Legislatif, tapi ternyata kubu KMP memakai jurus “sapu bersih” di semua jabatan Legislatif, sehingga Megawati kembali mengalami kegagalan. Tapi kelihatannya Ara cukup legowo dengan nasibnya.

Berbeda halnya dengan Komjen BG. Kegagalannya untuk masuk formasi kabinet, ternyata tidak membuatnya “patah arang”. Jika dilihat dari majalah “Tempo” (edisi 19 Januari 2015), tampak jelas bahwa BG sudah merintis ambisinya jauh-jauh hari sejak dia menjadi ajudan presiden Megawati tahun 2001-2004. BG sadar betul, posisinya sebagai ajudan presiden ibarat roket yang akan meluncurkannya sampai ke posisi tertinggi yang mampu ia raih dalam pemerintahan atau kepolisian kelak. Dan BG juga sadar sekali, kedekatannya dengan presiden juga akan memberi keuntungan secara finansial maupun politis. Dan itu semua dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh BG. Itulah sebabnya, walaupun telah terpental dari formasi kabinet, BG masih “bermimpi” untuk menduduki puncak kepempinan di Polri. Apalagi bekas ‘majikannya” saat ini -dianggapnya- punya kekuasaan dan pengaruh sangat besar dipemerintahan. Bukanlah suatu hal yang tidak mungkin kalau antara BG dan MSP bersimbiosis, karena keduanya saling memegang kartu “truf” dari rahasia dan kelemahan masing-masing. Itu bisa menjelaskan mengapa BG begitu percaya diri akan "keserakahannya" untuk meraih jabatan puncak di Polri (padahal kalau BG "tahu diri" dan memilih jalan aman, kasus "rekening gendut"nya mungkin masih memerlukan proses panjang bahkan mungkin tak "tersentuh" lagi), dan MSP begitu bernafsu untuk bisa melancarkan ambisi BG. Jadi keduanya saling diuntungkan. BG bisa memenuhi ambisinya, dan segala rahasia kelam MSP (kalau memang ada) selama menjadi presiden bisa aman dalam kepala BG. Selain itu, dengan memaksakan pencalonan BG, semakin menunjukkan betapa MSP semakin ketakutan kalau pengaruhnya terhadap si “pekerja partai” diambil alih oleh “rival” terbesarnya di KIH, yaitu SP yang dirasakan semakin “merajalela” di KIH dan semakin mendominasi si “pekerja partai” dengan diloloskannya orang “titipan” SP menjadi Jaksa Agung. Kejadian tersebut membuat MSP semakin “gelap mata” untuk memaksakan pencalonan BG sebagai Kapolri walaupun ia tahu hal itu akan menimbulkan gejolak dikalangan masyarakat luas. Blunder MSP karena desakan “keserakahan” BG yang tidak begitu saja puas dengan keuntungan ekonomis dan finansial yang selama ini sudah didapatkannya.

Hanya saja, BG dan MSP tidak menyadari bahwa si “pekerja partai” Jokowi ternyata juga punya “hidden agenda” tersendiri. Jika dilihat dari track record Jokowi, sejak menjabat walikota di Solo sampai menjadi gubernur DKI, begitu jelas karakternya yang susah dikendalikan. Adalah fakta yang tak terbantahkan, saat Jokowi menjabat sabagai walikota Solo, justru mampu menaklukan atasannya langsung, Bibit Waluyo, gubernur Jateng sekaligus elit PDIP. Dan puncak drama perselisihan keduanya diakhiri dengan kemenangan telak Jokowi dalam momen “cium tangan” Bibit Waluyo di saat ia akan berakhir masa jabatannya sebagai gubernur dan sebaliknya Jokowi mulai meroket karirnya dengan menjabat sebagai gubernur DKI. Pukulan KO dalam perspektif budaya Jawa. Begitu juga saat menjadi gubernur DKI. Jokowi bisa dikatakan tidak pernah memberikan keuntungan ekonomis secara langsung maupun tidak langsung terhadap PDIP, seperti yang biasa dilakukan kepala daerah lainnya terhadap partainya. Hal ini menujukkan karakter yang sebenarnya dari Jokowi yang tidak mau begitu saja menjadi “kawulo” dari PDIP.

Tanda-tanda bahwa Jokowi punya “hidden agenda” untuk melepaskan diri dari hegemoni kubu pendukungnya (terutama MSP dan SP) secara tersamar bisa dilihat dari beberapa peristiwa:

1. Keputusannya untuk melibatkan KPK dan PPATK dalam menyeleksi kandidat menteri. Strategi ini sedikit banyak berhasil mengendurkan tekanan dan hegemoni partai pendukungnya. Setidaknya, orang-orang oportunis dengan masa lalu kelam bisa disingkirkan dari bursa calon menteri.

2. Disaat pengumuman Kabinet Kerja. Ibu Negara, Iriana Jokowi, memberi selamat terhadap calon menteri wanita dengan melakukan “cipika-cipiki”, tapi tidak dilakukannya saat memberi selamat kepada Menkokesra Puan Maharani. Bahkan keduanya hanya berjabat tangan serta saling melemparkan senyuman “dingin”. Ada dua kemungkinan arti dari kejadian ini: Pertama, Iriana merasa “sungkan” terhadap Puan Maharani; atau kedua, Iriana memang “tidak suka” terhadap Puan dan keluarganya. Dan jika kemungkinan kedua yang benar, bisa disimpulkan bahwa Jokowi tidak menyukai usaha hegemoni keluarga Puan Maharani terhadap pemerintahannya, Karena bisa dikatakan, sikap Iriana adalah representasi dari sikap Jokowi.

3. Pengangkatan Prasetyo sebagai Jaksa Agung yang tanpa melalui screening KPK dan PPATK. Kelihatannya Jokowi mengirimkan pesan tersembunyi kepada masyarakat, bahwa MSP dan SP yang merupakan representasi dari pihak dominan di kubu KIH “sangat tidak senang” dengan “jurus mabuk” Jokowi saat pemilihan calon menteri. Sebenarnya dalam kasus ini, secara samar kelihatan bahwa Jokowi dan AS melakukan taktik “pingpong”. Jokowi memberi umpan untuk diselesaikan oleh AS. Tapi karena track record Prasetyo cukup bersih, maka AS tidak melakukan “smash” terhadapnya.

4. Pencalonan BG sebagai Kapolri. Dalam momen ini, kelihatannya Jokowi berusaha memanfaatkannya untuk mencapai beberapa target. Dilihat dari waktunya yang masih jauh dari periode normal masa jabatan Jenderal Sutarman (yang seharusnya pensiun bulan Oktober 2015), maka pengajuan BG yang seakan terburu-buru, menunjukkan bahwa Jokowi ingin cepat-cepat memutus hegemoni SBY dilingkup kepolisian. Mungkin ini suatu ancang-ancang untuk mulai “menyentuh” Cikeas dalam kasus Hambalang atau kasus lainnya. Target kedua, dengan mengajukan BG yang track record-nya “stabillo merah”, diharapkan akan terjadi penolakan besar-besaran dari DPR (yang biasanya selalu “nyinyir” terhadap apapun yang disodorkan Jokowi) maupun masyarakat luas. Selain itu, taktik “pingpong” dengan AS bisa dilakukan. Dan Jokowi yakin kalau umpannya tersebut akan di “smash” keras-keras oleh AS. Tapi ternyata yang terjadi sedikit diluar skenario. DPR hampir secara aklamasi menyambut gembira pencalonan BG sebagai Kapolri. Hal ini diluar kebiasaan sikap DPR terhadap Jokowi. Saya menilai, penyambutan anggota DPR dengan tangan terbuka terhadap BG, karena mereka juga punya agenda tersendiri jika BG jadi Kapolri. Kemungkinan para anggota DPR berharap “balas budi” dari BG jika suatu saat mereka menghadapi kasus hukum. Dan juga, dengan kartu “truf” track record BG yang gelap, diharapkan BG bisa mereka manfaatkan untuk merongrong kewibawaan pemerintahan Jokowi-JK. Karena “mulusnya” pencalonan BG, dan AS-pun tetap melaksanakan fungsinya dengan meng”smash” BG, maka skenario Jokowi agak berantakan. Rencananya untuk mengajukan calon Kapolri baru sesuai pilihannya terpaksa tertunda.

Saya melihat skenario dari pencalonan BG sebagai Kapolri secara samar-samar, justru dari sikap Iriana Jokowi. Reaksi Iriana terhadap penetapan status tersangka terhadap BG oleh AS (KPK), yaitu dengan status: “Tks, KPK...” di Black Berry Messenger-nya menunjukkan bahwa Jokowi memang tidak sepenuh hati dalam mengusung BG sebagai calon Kapolri.

Dan sekarang, segalanya sudah berjalan terlalu jauh. Kalau memang Jokowi mempunyai “hidden agenda” seperti ulasan diatas, dengan melakukan duet dengan AS (KPK) dalam taktik permainan “pingpong”. Kelihatannya tidak berjalan dengan mulus. Karena kredibilitas Jokowi sekarang ini benar-benar di ujung tanduk. Tapi kalau beliau tetap konsisten dalam tujuannya untuk menetralisir hegemoni kubu pendukungnya, khususnya MSP dan SP, mungkin suatu saat masyarakat akan menyadarinya dan kembali merapatkan barisan dibelakangnya. Tapi kalau Beliau tidak mampu bertahan dalam tekanan, bukanlah mustahil Jokowi tidak akan mancapai masa akhir jabatannya secara normal. Saat inilah Jokowi harus bisa membuktikan apakah beliau hanyalah “pekerja partai” atau seorang presiden seperti yang dikampanyekan dulu. Dan strategi berduet dengan KPK untuk “memberangus” para oportunis di kubunya adalah pilihan terbaik untuk saat ini, karena hanya KPK yang masih terjaga kredibilitasnya di mata rakyat.Ada satu hal yang harus selalu diingat oleh Jokowi, selama beliau selalu memperhatikan kepentingan rakyat, tidak ada satu kekuatanpun (meskipun itu MSP atau SP dan partai-partai politik) yang akan mampu menggulingkannya. Karena rakyat akan tetap setia dibelakangnya.

Salam Kompasiana...

Bogor, 27 Januari 2015

Sumber Reff.:

1.Majalah Mingguan “TEMPO”, Edisi 19-25 Januari 2015

2.http://politik.kompasiana.com/2012/10/20/bibit-waluyo-yang-tinggi-hati-dan-tidak-tahu-sopan-santun-502908.html

3.http://www.tempo.co/read/news/2014/11/21/078623438/3-Dosa-Jokowi-Saat-Pilih-Jaksa-Agung-Prasetyo

4.http://www.youtube.com/watch?v=GOOGFKp6RiU

5.http://news.liputan6.com/read/2160500/iriana-jokowi-terima-kasih-kpk

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun