Setiap pembaca berhak menilai suatu tulisan yang dibacanya. Penulis pun perlu memahami hal ini. Penilaian itu bisa berujung pada nilai yang baik bisa juga tidak. Saya sebagai penulis harus memahami dan menerima apa pun penilaian setiap pembaca, setidaknya untuk bahan refleksi.
Suatu ketika pun saya berposisi sebagai pembaca. Banyak bacaan saya nikmati dan juga berujung pada penilaian pribadi. Termasuk ketika membaca tulisan yang bertebaran di Kompasiana, setelah menyelesaikan satu bacaan, saya memberikan penilaian pribadi.
Banyak yang membuat saya terinspirasi atau kagum terhadap tulisan yang saya baca. Namun, sesekali pula saya seperti tercekik ketika membaca akhir kalimat dari sebuah tulisan.
Kenapa seakan tercekik?
Beberapa hari lalu saya membaca satu tulisan di Kompasiana, dan menurut saya tulisan tersebut menggantung, tidak tuntas, bahkan terlalu dini untuk diselesaikan sebagai sebuah gagasan yang brilian. Saya serasa terkaget ketika asyik menikmati tulisan tersebut karena apa yang saya baca tidak tuntas.
Isi tulisannya tidak seperti yang saya bayangkan. Saya dibuat kaget, terhenyak tiba-tiba, dan berujung pada penilaian kecewa. Maaf jika kata terakhir ini saya sampaikan.
Kekecewaan saya bertambah sedikit karena ternyata yang menulis sudah masuk level "centang biru". Penilaian saya pribadi, penulis yang sudah centang biru memiliki pengalaman menulis jauh lebih banyak, terutama jika dibandingkan dengan saya yang masih penulis pemula di Kompasiana.
Jika saya lihat profil penulis bercentang biru, setidaknya ini informasi yang bisa saya dapatkan: jumlah tulisannya banyak, pembacanya pun banyak, tulisan yang nangkring di artikel utama juga tidak sedikit. Tak hanya itu, pengikutnya juga lumayan, dan seterusnya dan seterusnya. Gambaran tersebut membuat saya berkesimpulan bahwa penulis bercentang biru merupakan penulis berpengalaman, berkualitas, dan bisa mempertanggungjawabkan apa yang ditulisnya.
Namun, hari itu ketika saya membaca tulisan salah seorang penulis bercentang biru, bayangan saya tidak sesuai dengan kenyataannya. Tulisan yang saya baca kala itu terlalu pendek untuk menjelaskan suatu topik. Hanya tersusun sekitar enam paragraf dan tidak tuntas. Ini merupakan penilaian pribadi yang bagi saya, meskipun kecewa, tetaplah harus memahami bahwa penilaian yang saya lakukan belum tentu benar.
Saya pun terinspirasi dari rasa kecewa secara pribadi karena membaca tulisan yang membuat saya terasa tercekik, terkaget, atau bisa diungkapkan dengan kata "Kok cuma segitu?" Setidaknya ketika memulai proses menulis, saya harus mengingat beberapa hal berikut.