Setidaknya, orang-orang normal ini bisa bersosialisasi dengan baik, bisa bertoleransi, bisa juga memahami apa yang juga dibutuhkan orang lain di saat-saat tertentu.
Misalnya, ketika hendak mengambil uang di mesin ATM. Orang yang punya jiwa sosial secara normal akan memahami berapa lama ia sebaiknya berada di dalam bilik dan tetap memperhatikan kepentingan orang lain. Ini berbeda dengan orang yang antisosial.
Egoisme atau mementingkan dirinya sendiri menjadi kelewat besar dan ia tidak peka terhadap kebutuhan orang lain di tempat yang sama; tempat pelayanan publik yang membutuhkan saling mengerti atau memahami.
Saya melihat si ibu muda itu dengan terheran-heran. "Masih ada juga orang seperti ini," batin saya. Seandainya seorang bapak di depan saya tidak mengetuk pintu bilik ATM, jangan-jangan berjam-jam pun bisa dilakoni oleh si ibu yang antisosial.
Namun, pikiran baik saya juga mengatakan, "Banyak amat duit si ibu, sampai lama berada di dalam bilik ATM. Berarti ia sudah siap menghadapi resesi ekonomi di masa pandemi jika resesi benar-benar terjadi."
Satu kisah antisosial yang saya temui di malam Minggu yang indah setidaknya bisa menjadi pembelajaran bagi saya; bahwa dalam situasi apa pun, jangan egois. Apalagi di ruang publik, ketika banyak orang berkumpul untuk berbagai keperluan, maka berikan ruang kepada hati dan pikiran yang jernih, agar kita tidak menjadi pribadi yang antisosial.
Tapi entahlah, apakah yang saya tulis ini benar, karena jangan-jangan saya gagal paham. Jangan-jangan, si ibu itu punya prinsip yang berbeda, "Selow aja. Anggap orang lain tak ada."
Nah, jika sudah begini, saya tak akan banyak berkomentar. Nikmati saja malam Minggu yang indah, dengan rasa syukur dan tetap semangat.
Salam inspirasi! Â Â