Jika diminta menyimpulkan tentang hari ini, saya bisa menuliskan satu kata ini: lelah. Itu karena banyak yang saya lakukan sepanjang hari bersama keluarga, terutama untuk anak-anak dan untuk usaha mereka dalam meraih mimpi-mimpi menyongsong masa depan. Lelah yang membahagiakan.Â
Namun, siapa yang meminta saya menyimpulkan? Tidak ada. Itu bentuk keisengan saya saja untuk bertanya kepada diri sendiri, bagaimana saya mengisi hari ini, dari pagi hingga malam. Ini juga salah satu bentuk introspeksi sederhana saya sebelum pagi datang menjelang.
Jika berbicara tentang hari ini, saya pun tak akan bisa melepaskan diri dari sang waktu. Menjalani hidup setiap hari, kemudian berkembang ke minggu demi minggu, bulan demi bulan, tahun demi tahun, dan seterusnya, waktu sangatlah penting; apakah saya bisa memperkaya diri dari pengalaman atau hanya sekadar hanyut oleh aliran sang waktu.
Begitu pentingnya waktu, saya pun tak bisa memisahkan diri dengan waktu jika saatnya berkarya. Penulis tanpa menghargai waktu tak akan bisa menulis dengan baik, apalagi bisa produktif dan kreatif. Penulis yang tak bisa menerjemahkan makna sang waktu juga tidak akan mudah menempatkan dirinya dalam dunia kepenulisan.
Di sinilah saya juga bisa menuliskan kelebihan dan kelemahan saya yang berkaitan dengan waktu. Bagi saya, begitu banyak waktu berkarya, tapi sedikit waktu yang bisa saya bagi untuk bersosialisasi. Termasuk di platform media sosial (medsos), yang menuntut banyak waktu untuk eksis jika ingin punya banyak teman di dunia maya.Â
Saya tidak bisa melakukan itu karena selain menulis, masih banyak yang harus saya pikirkan, terutama tentang beragam persoalan hidup dan tantangannya yang harus bisa saya respons dengan cepat. Itulah kelemahan saya di dunia media sosial, termasuk ketika menulis di media semimedsos, ada interaksi langsung dengan pembacanya.
Kelemahan saya tersebut, yang tidak bisa intens berkomunikasi atau meluangkan banyak waktu untuk berselancar di media sosial dengan beragam bentuknya, saya sikapi dengan cara ini: menulis artikel inspiratif.Â
Termasuk, ketika menulis status di medsos, saya biasanya menulis kalimat inspiratif, yang tak perlu banyak berinteraksi atau mengharapkan tanggapan atau komentar. Saya berharap kehadiran saya melalui tulisan sudah cukup menyapa para pembaca saya di dunia media sosial, yang dihubungkan dengan saluran internet.
Itu berbeda ketika saya menulis naskah buku dan karya saya dijual di toko buku. Saya tidak perlu berinteraksi sosial seperti ketika menulis artikel di medsos atau platform digital yang memungkinkan para penulis dan pembacanya berinteraksi.Â
Selama buku-buku saya bermanfaat dan pas di hati para pembaca maka karya-karya saya tetap laku atau dibeli. Tidak ada interaksi sosial secara langsung dan saya bisa lebih menikmati waktu berkarya, tanpa mengabaikan kualitas. Isi tulisan jauh lebih penting dalam hal ini, siapapun saya sebagai pengarangnya, tak terlalu menjadi pusat perhatian.Â
Sekali lagi, saya mengandalkan isi tulisan, kualitas, dan setidaknya feeling atau prediksi, tulisan jenis apa yang bisa banyak menarik minat pembaca. Pengalaman demi pengalaman sudah membuktikannya dan sampai saat ini saya masih bisa menulis di jalur ini.