Mohon tunggu...
Rahmat HerryPrasetyo
Rahmat HerryPrasetyo Mohon Tunggu... Penulis - Writer

Penulis lepas dan editor freelance.

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Menulis di Kompasiana, Mengapa Baru Sekarang?

17 Agustus 2020   00:47 Diperbarui: 17 Agustus 2020   01:29 105
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari ini saya teringat kembali sekilas perjalanan kepenulisan saya, saat membaca kata "Debutan" di profil saya. Sebenarnya saya sudah mendaftar untuk menulis di Kompasiana bulan Mei. Namun, waktu itu entah kenapa ada kendala teknis seperti ini.

Saat akun sudah tervalidasi dan saya ingin mengetik di dasbor Mulai Nulis, layar laptop saya hanya putih saja, tidak muncul ruang untuk menulis. Saya lalu menghubungi Kompasiana untuk kendala teknis ini.

Sudah dibantu untuk cara mengatasinya, tetap saja layar laptop saya putih, tidak beranjak menuju menu menulis. Saya berpikir mungkin laptop saya sudah ketinggalan zaman, tidak bisa mengakses beberapa menu di Kompasiana. Atau entahlah, ada kendala apa saya tak tahu.

Alhasil, beberapa bulan saya tidak membuka Kompasiana dan menulis di tempat lain, sambil mempersiapkan website untuk jualan buku. Tiba-tiba, di suatu sore nan bengong, saya membuka laptop, dan mencoba klik Kompasiana, lalu klik Mulai Nulis.

Eh, kebuka tuh ruang untuk menulis! "Nah, ini bisa!" begitu spontan saya merespons. Ada rasa senang dan saya ingin segera mencoba menulis artikel perdana. Namun, saat dasbor sudah kebuka, saya belum siap dengan artikel baru. Tak mau berlama-lama, saya lalu menulis artikelnya. Beberapa waktu kemudian, saya unggah tulisan perdana dan muncul di Kompasiana. Demikian seterusnya hingga tulisan ini, malam ini, malam tujuhbelasan, 16/08/2020 menuju pagi 17 Agustus.

Jauh sebelumnya, sekitar enam atau tujuh tahun silam, seorang teman yang sudah aktif menulis di Kompasiana mengatakan kepada saya, "Nulislah di Kompasiana. Banyak kok manfaatnya." Kawan saya tersebut lalu menjelaskan beberapa contoh manfaat yang sudah ia dapatkan melalui aktivitas kreatifnya di Kompasiana.

Mengapa saya dulu tidak langsung menyambut ajakannya? Apakah saya begitu sombongnya tidak mau menulis artikel di Kompasiana dan sibuk dengan naskah buku? Tentu saja tidak. Waktu itu saya masih bekerja di sebuah perusahaan penerbitan pers, sebagai editor bahasa. Waktu itu juga, saya menulis banyak naskah untuk mengisi suatu rubrik di koran tempat saya bekerja.

Di waktu luang, saat berada di rumah, saya menyusun beberapa naskah buku, itu pun tidak terlalu banyak. Karena saya masih bekerja maka waktu pun banyak terfokus untuk menyelesaikan pekerjaan kantor. Setidaknya itu menjadi bentuk tanggung jawab saya sebagai karyawan, yang mendapatkan gaji dari tempat saya bekerja.

Alasan lainnya, sebenarnya saya merasa tidak percaya diri kalau menulis artikel. Apalagi jika dikirimkan ke media massa yang di situ bertabur bintang para penulis hebat. Juga di Kompasiana, saya dari dulu hingga sekarang mengetahui bahwa di sini banyak penulis hebat, produktif dan kreatif. Untuk itulah waktu itu saya masih tidak percaya diri untuk menulis artikel di sini. Apalagi sebenarnya, artikel bagi saya merupakan bentuk tulisan yang sulit ditaklukkan.

Ciri khasnya yang singkat, padat, dan mudah dipahami, serta diperlukan kehebatan penulisnya dalam pemilihan kata (diksi), artikel menjadi bentuk tulisan yang tak mudah saya tuliskan. Belum lagi jika harus disertai banyak bahan tulisan, sumber referensi, maka semakin sulitlah meramu ide menjadi artikel yang keren.

Di situlah saya waktu itu agak minder untuk menulis di Kompasiana. Apalagi kawan yang mengajak saya ini pun jago menulis. Membaca tulisannya sangatlah asyik, susunan kata dan isi artikelnya sangat bermutu. Tak heran jika ia beberapa kali diajak untuk menggarap proyek-proyek penulisan; dan saya waktu itu sebagai editornya.

Namun, jika menulis tips atau naskah how to bisa dimasukkan dalam kategori artikel, saya sudah memulainya jauh sebelum teman saya mengajak saya menulis di Kompasiana. Saya memulai debut menulis tentang tips atau kiat-kiat, seperti kiat bekerja yang baik atau kiat menjaga keharmonisan pasangan, di Tabloid Nova, sekitar awal tahun 2000. Sudah lama sekali ya.

Saya menulis di rubrik Anda dan Karier serta Anda dan Pasangan, di Tabloid Nova, sementara waktu itu saya bekerja juga di sebuah tabloid di daerah Jakarta Barat. Tidak terlalu jauhlah dari kantor Kompasiana saat ini.  Tulisan-tulisan saya di Tabloid Nova, saya kumpulkan, dan menjadi buku pertama saya, tentang karier, motivasi, buku pengembangan diri. Buku tersebut diterbitkan oleh penerbit yang kantornya juga satu gedung dengan kantor Kompasiana.

Hari demi hari saya menulis dan singkat cerita beberapa buku waktu itu sudah diterbitkan oleh empat penerbit berbeda, tapi gedung kantornya sama meski beda lantai, di gedung yang juga menjadi kantor Kompasiana, Palmerah Jakarta.

Singkat cerita, setelah perusahaan tempat saya bekerja, sebuah penerbitan pers, yang cetak korannya juga di lingkungan kerja Kompasiana, tutup, maka saya melanjutkan pekerjaan di rumah. Sebagai penulis buku, yang juga bekerja sama sampai kini, dengan penerbit yang berkantor di Gedung Kompas Gramedia.

Sebelum pandemi corona sebenarnya saya sering main ke kantor samping pasar di Palmerah tersebut. Dua kali juga di tahun yang berbeda ikut temu penulis di tempat tersebut. Dari rumah naik KRL dan sampai Palmerah tidak langsung menuju gedung. Saya mampir dulu, makan di warteg samping gedung. Makanannya enak dan murah meriah.

Banyak teman saya masih ngantor di Palmerah. Saya punya banyak relasi di sebuah kantor penerbitan terbesar di Indonesia tersebut bukan karena mereka satu kampus dengan saya. Atau, bukan karena dulu teman satu SMA. Mendapatkan banyak relasi di kantor tersebut karena lewat tulisan. Melalui banyak naskah yang saya kirimkan dan diseleksi oleh redaksi.

Meski terjalin pertemanan yang erat, objektivitas tetaplah terjaga. Tidak otomatis naskah yang saya tulis diterima dan diterbitkan menjadi buku. Jika naskah yang saya buat tidak layak terbit tetap saja ditolak, meski saya dan para editornya sudah saling kenal. Itu bagi saya merupakan bentuk pertemanan yang benar, jalinan relasi yang berkualitas, dan tidak tercemar oleh pujian-pujian kosong tanpa kritik. Itu semua saya dapatkan dari aktivitas menulis. Salah satu manfaatnya adalah mendapatkan relasi yang berkualitas. 

Lewat cara inilah maka sebenarnya saya bisa bertahan sebagai penulis hingga saat ini. Kualitas terjaga karena saya punya relasi-relasi yang hebat, yang sesekali menolak tulisan saya, dan sesekali pula menerimanya. Demikian setiap saat saya bertumbuh, dan kini, saya juga memulai menulis di Kompasiana.

Bertambahlah relasi saya. Jika suatu saat saya main ke Gedung Kompas-Gramedia di Palmerah, maka saya bisa mampir juga ke redaksi Kompasiana. Begitu menyenangkan menjadi penulis, banyak kawan, banyak peluang untuk terus berkreasi, dan semoga semakin banyak rezeki untuk kita semua serta senantiasa diberi karunia kesehatan di masa pandemi yang belum berakhir.

Maaf, tulisan ini sekadar cerita ringan saja, agar kita semakin saling mengenal dan saling menginspirasi!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun