Mohon tunggu...
Rahmat HerryPrasetyo
Rahmat HerryPrasetyo Mohon Tunggu... Penulis - Writer

Penulis lepas dan editor freelance.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Cerita Seru tentang Ponsel, Pulsa, dan PJJ

15 Agustus 2020   21:46 Diperbarui: 15 Agustus 2020   21:34 571
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beberapa minggu lalu sebenarnya saya ingin menuliskan tentang pengalaman pribadi terkait sebagai orangtua yang merasa kerepotan karena anak terpaksa belajar di rumah. Mengapa saya bilang kerepotan? Karena saya tidak siap dengan situasi dan kondisi belajar di rumah. 

Banyak orangtua pun tidak siap. Ini sangat wajar karena pandemi corona datang tiba-tiba, meluluhlantakkan sebagian besar aktivitas kehidupan, dan... poin pentingnya: hampir semua orang tidak siap dengan beragam bentuk perubahan yang terjadi.

Ketidaksiapan saya, menjadi kerepotan yang harus saya atasi, bukan berarti saya lantas menyalahkan pemerintah atau guru, tapi saya lebih suka menyalahkan corona. Karena Covid-19-lah maka anak-anak terpaksa belajar di rumah. Karena Covid-19 maka pemerintah khususnya Kemendikbud memutuskan dan menyelenggarakan pembelajaran jarak jauh (PJJ) atau belajar daring (online). Ini merupakan bentuk keterpaksaan daripada tidak belajar sama sekali di masa pandemi.

Lalu, apa pengalaman pribadi yang ingin saya tuliskan? Sekadar cerita intermeso saja. Di masa-masa awal pandemi, anak saya yang sekarang naik kelas 9 SMP, harus berada di rumah, sesuai anjuran pemerintah: bekerja di rumah, belajar di rumah, dan beribadah di rumah. 

Sekitar dua bulan, tidak ada aktivitas belajar sama sekali waktu itu, dan di saat akan kenaikan kelas, tiba-tiba para gurunya memberikan soal-soal ujian. Soal-soal tersebut harus dikerjakan secara daring. Bukan itu yang menjadi pokok persoalannya. Hal yang saya herankan, selama pandemi tanpa diberi pelajaran, tiba-tiba dikasih soal ujian. Anak saya kaget, saya juga kaget, kok bisa begini proses belajar-mengajar di sekolah anak saya.

Singkat cerita, dikerjakanlah soal-soal ujian untuk kenaikan kelas tersebut. Saya tanya ke anak saya, apakah bisa mengerjakannya. Ia bilang banyak yang nggak bisa dan anak saya pun mengerjakan semampunya. Memang bisa akses Google untuk mencari jawaban dari soal-soal ujian tersebut. Tapi, anak saya sepertinya tidak terlalu antusias untuk berselancar lebih jauh di dunia maya, dan sebisa mungkin tetap menuntaskan ujian tersebut.

Apa hasilnya? Kegagalan untuk anak saya. Berturut-turut sejak kelas 7 masuk kelas unggulan, anak saya kali ini terlempar keluar dari kelas unggulan di kelas 9. Salah siapa?  Mungkin salah gurunya yang tidak memberi pelajaran tapi tiba-tiba langsung memunculkan soal-soal ujian akhir. Mungkin salah anak saya karena tidak optimal mengerjakan soal-soal yang diberikan secara daring.

Saya melihat ekspresi anak saya yang sedih karena tidak dimasukkan lagi di kelas unggulan, yang berisi siswa-siswa dengan nilai terbaik. Saya hibur anak saya dan mengatakan bahwa ujian yang dikerjakan di rumah tidak bisa menjadi patokan yang tepat untuk menilai pintar tidaknya seorang anak. 

Guru pun tidak pernah tahu dengan pasti apakah ujian yang dikerjakan di rumah benar-benar dikerjakan sendiri oleh siswanya. Mungkin saja dikerjakan oleh kakaknya, bundanya, ayahnya, kakek atau neneknya, dan lain sebagainya. Banyak hal bisa berpengaruh pada baik buruknya suatu nilai ujian jika dikerjakan di rumah.

Itu hanya sekilas pendapat saya, yang punya pengalaman pribadi di masa-masa awal belajar online diterapkan. Masih adakah pengalaman lagi? Benar, ada nih.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun