Kasus Covid-19 masih ada, bahkan masih bertambah. Itu berarti kita bisa dengan mudah menyimpulkan bahwa pandemi corona belum berlalu. Jika sebuah lagu berjudul "Badai Pasti Berlalu", namun saat ini kita setidaknya masih harus memberi peringatan kepada diri kita sendiri bahwa "Badai Belum Berlalu".
Namun, apakah kita harus terpuruk karena "badai" wabah belum sirna? Apakah kita harus pesimistis dalam hidup karena kita masih berada di zona ketakutan, kekhawatiran, atau di zona waswas? Apakah asa, harapan untuk hidup lebih baik, harus juga terpapar Covid-19?
Berkaitan dengan diri saya sendiri, saya sedang berada di zona waswas. Itu saya rasakan setiap hari. Setidaknya karena alasan ini: istri saya tiap hari berangkat ke kantor naik KRL, commuter line, yang sangat populer dengan tingkat kepadatannya; desak-desakan di dalam kereta. Kalau untuk waktu berangkat kerja, tingkat waswas saya masih rendahlah, karena KRL Jabodetabek itu belumlah penuh di waktu dini hari. Masih ada jaga jarak di dalam kereta dan potensi penularan virus corona tidaklah besar.
Namun, untuk waktu pulang kerja, tingkat waswas saya meninggi. Di waktu pulang kerja, jumlah penumpang kereta tak terkendali, masih tetap berdesak-desakan di dalam KRL, dan tak ada lagi jaga jarak. Setiap penumpang, termasuk istri saya, Â harus waspada dan menjaga dirinya sendiri agar tidak terpapar Covid-19. Itulah yang terjadi setiap hari dan saya menyadari itulah yang membuat saya berada di zona waswas.
Namun, jika saya membiarkan diri saya kalah oleh perasaan waswas, bahkan berubah menjadi kepanikan, tentu saja akan merugikan diri saya sendiri. Untuk meredam waswas itu setidaknya saya harus bisa menenangkan diri. Ketenangan diri itu harus setiap hari dirawat, dijaga, sehingga saya dapat beraktivitas dengan baik di rumah. Saya harus terus bergerak, tak boleh berhenti. Â Albert Einstein mengatakan, "Hidup itu laksana naik sepeda. Untukk menjaga keseimbangan, Anda harus tetap bergerak."
Usaha untuk tetap bergerak dan tetap nyaman berada di zona waswas tentu dilakukan. Setidaknya juga ada ketenangan dalam diri saya karena istri saya tidak lupa menjaga kesehatan, menerapkan protokol kesehatan seperti pakai masker, rajin cuci tangan pakai sabun atau hand sanitizer. Menjaga kesehatan diri itu bisa melalui makan makanan yang bergizi, tidur dan beristirahat yang cukup, dan rutin minum vitamin. Hal ini tentu saja bukan sesuatu yang baru karena sudah disarankan oleh banyak pihak.
Kebetulan juga, dari kantor istri saya, suplai vitamin tidak pernah berhenti. Beruntung atasan istri saya berlatar belakang dokter, sehingga lebih cerdas memperhatikan kesehatan bawahannya di masa pandemi yang masih mengancam jiwa, yang setidaknya masih memberi efek ketakutan, kekhawatiran, rasa waswas, dan kepanikan.
Berada di zona waswas juga tak boleh memupuskan harapan saya untuk mengubah hidup menjadi lebih baik. Beraktivitas atau bekerja dengan penuh semangat, meski dikerjakan di rumah, dan terus-menerus mencari terobosan demi terobosan baru, agar pandemi Covid-19 tidak benar-benar mematikan langkah untuk mendapatkan rezeki yang cukup.
Untuk bisa menjaga asa dan meredam waswas di masa pandemi, setidaknya saya mengikuti saran para psikolog atau ahli kejiwaan yang disampaikan melalui media sosial maupun media massa. Banyak sarannya, di antaranya adalah tetaplah bersyukur dan bahagia di masa pandemi.
Rasa syukur tersebut karena kita masih dikaruniai kehidupan. Dalam beragam karunia tersebut tetap ada kesempatan untuk meraih keberhasilan, kesuksesan, di saat-saat kita mengalami kesulitan. Di dalam rasa syukur tersebut saya juga mudah meredam waswas, tetap berpengharapan, dan tentu saja bisa beraktivitas dengan baik.