Beberapa teman sebenarnya suka menulis, tapi tidak mau produktif menulis. Ketika saya tanya alasannya, mereka mengatakan, sudah banyak yang menulis. Sudah banyak tema yang serupa, dituliskan, dipublikasikan, diterbitkan. Sulit rasanya untuk menulis hal yang baru atau unik, atau setidaknya, ada pembedanya dari tulisan yang lain.
Belum lagi jika harus menulis naskah buku, teman-teman saya semakin tidak mau menulis. Alasan mereka, apa ada penerbit yang mau menerbitkan hasil tulisan mereka, apalagi di masa pandemi Covid-19, semakin sulitlah menembus penerbit.
Saya sangat memahami alasan-alasan yang disampaikan teman-teman baik saya yang suka menulis, untuk setidaknya berhenti menulis, atau sekali-kali saja menulis, alias tidak kontinu. Beragam alasan atau faktor bisa berpengaruh pada orang-orang yang sebenarnya hobi menulis, tapi tidak melakukannya sepenuh hati. Persaingan yang ketat, sudah banyak tulisan dengan tema yang sama, atau sudah banyak penulis yang menghiasi beragam media, baik itu media massa atau media sosial, blog, dan lain sebagainya.
Saya pun menyadari hal itu. Meski saya tidak berhenti menulis, dan terus menulis, saya bisa merasakan betapa sulitnya bersaing di dunia kepenulisan. Setiap hari, banyak karya tulis diterbitkan, baik itu dalam bentuk artikel maupun buku. Bahkan, di masa wabah corona pun, setiap hari saya bisa melihat banyak sekali tulisan dihasilkan, oleh banyak penulis kreatif, yang saya pun tak mungkin bisa menghitung berapa banyak mereka.
Untuk itulah saya seakan menulis di tengah lautan tulisan tak bertepi. Saking banyaknya. Saking berlimpahnya sumber ide dari banyak orang, yang kemudian dituangkan dalam bentuk karya tulis. Ada artikel fiksi maupun nonfiksi. Ada naskah buku. Semua itu muncul setiap hari, bahkan setiap detik. Mewarnai khazanah literasi yang dapat dinikmati para pencinta bacaan bermutu, informatif, inspiratif, dan memotivasi untuk menjalani hidup lebih baik lagi.
Jika teman-teman saya kemudian menyerah saja dan tidak menulis secara kontinu, apalagi produktif, lain halnya saya. Nekat saja nulis! Tulis, tulis, dan tulis apa yang ada di kepala, di pikiran, di otak, dan alirkan ide melalui kata demi kata, kalimat demi kalimat, paragraf demi paragraf. Tak perlu risau dengan jumlah pembaca, tingkat keterbacaan, atau penilaian orang lain.
Selagi masih bisa menulis dan dikaruniai ide maka saya menulis. Selama masih diberi kesempatan untuk menuangkan hasil karya tulis maka saya memanfaatkan kesempatan tersebut. Saya menikmati saja prosesnya dan hasilnya sudah bukan menjadi kewenangan saya. Asyik-asyik saja berproses, menikmati hidup, memanfaatkan talenta yang saya miliki.
Hasilnya tidak jelek-jelek amat kok. Tetap saja ada yang membaca tulisan saya, tetap saja ada yang membeli buku-buku saya. Termasuk di masa pandemi ini, masih saja ada yang memanfaatkan karya-karya saya untuk menambah ilmu mereka, untuk memperkaya pengetahuan anak-anak, dan untuk menginspirasi keluarga tercinta.
Maka menulis di tengah lautan tulisan tak bertepi bagi saya tetap enjoy saja. Itu karena saya memahami bahwa dengan tulisan demi tulisan yang saya hasilkan, kehadiran saya lebih bermakna. Apalagi ketika beberapa orang yang membaca tulisan saya memberitahukan bahwa mereka terinspirasi. Atau, mereka mengatakan buku yang saya tulis sangat bermanfaat dan mengubah hidup mereka ke arah yang lebih baik.
Poin pentingnya, menurut saya, kita harus tahu terlebih dahulu manfaat tindakan kita. Jika kita tahu manfaat membaca, misalnya, maka kita pasti suka membaca. Demikian pula, jika kita tahu manfaat menulis, maka kita akan menulis dengan rajin, kreatif, tekun, dan tak mudah menyerah, meski banyak orang juga menulis hal yang sama.