Jika berbicara tentang wisata atau industri pariwisata, dari pengalaman pribadi, bagi saya tidaklak terlalu sulit. Itu karena saya lahir di kota wisata Yogyakarta atau populer juga dengan nama singkatnya, Jogja.Â
Lebih khusus lagi, saya menghabiskan masa kecil hingga masa-masa kuliah di sebuah kampung di tengah-tengah kota Jogja bernama Taman Sari.
Kampung saya, jika Anda suka jalan-jalan atau berwisata ke berbagai daerah Nusantara termasuk Jogja, sangatlah terkenal. Di sinilah banyak objek wisata, seperti Keraton Jogja, alun-alun, hingga kampung saya sendiri yang termasuk menjadi salah satu kampung wisata.
Di kampung saya, tumbuh industri batik, dan bahkan, saat ini di masa milenial, kampung saya dikenal sebagai perintis Kampung Cyber. Saking menariknya, beberapa tahun lalu pendiri Facebook, Mark Zuckerberg, mampir ke kampung saya tersebut.
Itu hanya sekilas gambaran betapa lekatnya saya dengan industri pariwisata karena semasa di Jogja, keseharian saya tidak bisa dipisahkan dari pariwisata.Â
Tiap hari saya melihat turis asing maupun domestik. Tiap hari saya melihat para pemandu wisata mengantarkan wisatawan ke tempat-tempat tujuan wisata dan menjelaskan sejarah suatu bangunan atau sejarah batik di Jogja.
Para pembatik pun dengan riang menghasilkan beragam karya yang keren dan memikat hati para turis untuk membelinya. Belum lagi industri makanan khas Jogja yang menggeliat pesat, seperti bakpia dan gudeg. Semua sendi perekonomian bergerak leluasa dan menginduk dari satu kata ini: wisata.
Jika saya tarik lebih jauh lagi, di desa-desa tempat saudara-saudara saya tinggal, tetap tak bisa dilepaskan dari industri pariwisata. Ada industri kerajinan tangan di Kabupaten Bantul, misalnya, atau lokasi wisata pantai seperti Parangtritis. Semua itu merupakan kebanggaan masyarakat dan menjadi penggerak roda ekonomi yang luar biasa penting dan tentu saja, menguntungkan.
Kehidupan saya tempo dulu di Jogja tersebut hanya sekadar contoh bahwa industri pariwisata menjadi andalan. Di beberapa daerah pun, kita dapat melihat bahwa sektor pariwisata menghidupi banyak orang.Â
Sebut saja Bali, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Jawa Barat hingga daerah lebih jauh lagi dari rumah saya sekarang di pinggiran Jakarta, seperti Nusa Tenggara Timur, Papua, dan lain-lain. Dari Sabang sampai Merauke, betapa banyak destinasi wisata yang dapat dikunjungi wisatawan mancanegara maupun domestik.
Di masa pandemi Covid-19, saya sangat memahami kehidupan pariwisata ikut terpengaruh. Banyak tempat tujuan wisata ditutup dan tentu saja berakibat buruk pula untuk pemasukan bagi masyarakat.Â
Sekarang, ketika Covid-19 sudah mulai mereda atau setidaknya tidak seheboh pada awal-awal kemunculannya, secara bertahap destinasi wisata mulai dibuka.Â
Ini menjadi awal yang baik bagi masyarakat yang menggantungkan hidupnya dari industri pariwisata, seperti teman-teman saya di Jogja, juga di daerah lainnya.
Tentu menjadi kabar gembira di tengah pandemi. Saya yakin masyarakat yang mendapatkan pemasukan dari dunia wisata bisa mulai tersenyum. Kehidupan mulai bergerak lagi, karya demi karya seni mulai bisa dimunculkan kembali. Industri terkait pun mulai bisa berdenyut, seperti industri makanan, transportasi, dan lain sebagainya.
Tidak hanya sangat menguntungkan terutama bagi masyarakat yang langsung bersentuhan dengan industri wisata, tapi juga membuka harapan baru untuk kehidupan yang lebih baik lagi. Risikonya pasti ada, yakni penularan Covid-19 bisa terjadi di tempat-tempat wisata yang mulai dibuka.
Untuk meminimalkan risiko tersebut, pemerintah dan masyarakat tentu sudah sangat paham protokol kesehatan. Wajib pakai masker, jaga jarak, pemeriksaan suhu tubuh, dan bentuk-bentuk antisipasi medis lainnya dapat diterapkan untuk mengurangi risiko tertular Covid-19.Â
Masyarakat yang menerima turis atau wisatawan harus benar-benar menjaga diri dengan protokol kesehatan dan wisatawan pun diperiksa sangat ketat untuk memastikan mereka dalam kondisi sehat selama di tempat-tempat tujuan wisata.
Memang setiap keputusan ada risikonya, bahkan merupakan risiko yang besar. Jika destinasi wisata tidak dibuka maka masyarakat yang mengandalkan hidupnya dari dunia wisata akan semakin dirugikan, semakin buntung, dan semakin merasakan kesulitan.Â
Sebaliknya, jika tempat tujuan wisata dibuka kembali dan menguntungkan, namun risiko munculnya klaster baru penularan Covid-19 pasti ada. Untung maupun buntung harus ditimbang dengan baik, cermat, cerdas, dan kreatif. Jangan sampai keputusan yang diambil menghilangkan banyak peluang, tapi juga jangan sampai membawa kesulitan yang baru.
Mengakhiri tulisan ini, saya kutip kata-kata Carrie B, "Ambillah peluang. Ambillah risiko. Apa yang telah Anda bangun mungkin tidak serapuh yang Anda bayangkan." Â Semoga kita semua tetap optimistis dalam menghadapi krisis akibat pandemi dan terus berusaha mengatasinya demi kehidupan yang lebih baik lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H