Kuartal II baru saja usai di penghujung Juni lalu, tentu para pemerhati ekonomi menanti-nanti rilis BPS terkait PDB Q2-2021 yang merupakan indikator pertumbuhan ekonomi nasional terbaru. Bagaimana nasib ekonomi Indonesia dan perkembangan berbagai sektor strategis pasca 1,5 tahun wabah Covid19 di tanah air? Jawaban pertanyaan tersebut menarik untuk dinanti, namun jawabannya kurang lebih bisa diprediksi dari sekarang.
Struktur perekonomian Indonesia dari sisi pengeluaran didominasi oleh konsumsi rumah tangga lebih dari separuhnya, karena memiliki populasi yang besar sebagai penggerak utama ekonomi. Tercatat di laporan PDB nasional tahun 2020; kontribusi konsumsi rumah tangga di angka 53,9% tak banyak berubah selama 5 tahun terakhir. Bahkan setelah pandemik genap satu tahun pun, di Q1-2021 kontribusi konsumsi rumah tangga tetap bertengger di angka 54,1%. Â Bisa dikatakan bahwa Indonesia lebih tahan krisis berdasarkan PDB pengeluaran konsumsi rumah tangga dibandingkan Singapura, negara yang hanya berpenduduk 5,7 juta orang tersebut tidak bisa mengandalkan konsumsi sebagai penggerak ekonomi.Â
Sektor yang selama ini menggerakkan ekonomi Indonesia secara berurutan adalah industri pengolahan, perdagangan, pertanian, lalu konstruksi dan pertambangan sebagai lima sektor terbesar penyumbang PDB nasional. Namun peringkat ini berubah di masa pandemi Covid-19. Pertanian menjadi satu-satunya sektor yang masih tumbuh positif di Q1-2021 dengan besaran 3,8% secara year on year atau tumbuh 11,2% quarter to quarter. Diperkirakan sektor pertanian masih akan tumbuh di PDB Q2-2021 karena ada momentum bulan puasa dan lebaran di Q2 tahun ini yang mendorong konsumsi rumah tangga. Pertanian adalah sektor penghasil bahan baku pangan pokok sedangkan sektor industri pengolahan yang mengubah bahan baku menjadi barang siap konsumsi dan siap pakai.
Struktur ekonomi Indonesia bisa dipastikan tidak akan banyak berubah selama masa pandemik. Perlambatan akan terjadi di sektor industri pengolahan dan perdagangan, namun tidak dengan sektor pertanian. Turunnya daya beli masyarakat tidak akan menurunkan volume konsumsi namun menyebabkan pola konsumsi beralih dari produk premium ke produk pokok dan dasar. Masyarakat tetap membutuhkan pangan untuk konsumsi namun akan berubah perilakunya dengan membeli produk kebutuhan pokok yang lebih terjangkau dan dalam kemasan yang lebih kecil terkait ketatnya arus kas di tingkat rumah tangga.
Gelombang Ketiga Ekonomi Digital
Sektor pertanian akan terus memegang peranan cukup vital di era ekonomi digital saat ini. Perkembangan ekonomi digital mengalami tiga fase, yang pertama adalah lahirnya ecommerce yang menghubungkan penjual dan pembeli melalui platform digital dengan lintas batas (borderless). Tercatat perusahaan besar yang menikmati fase ini adalah Amazon dan Alibaba.Â
Saat ini kita berada di fase kedua perkembangan teknologi digital yaitu berkembangnya platform yang menghubungkan berbagai rantai pasok, bukan hanya penjual dan pembeli saja, tapi juga melibatkan produsen, gudang penyimpanan dan rantai pengiriman. Gojek dan Grab adalah contoh dari platform rantai pasok digital. Fase kedua ini juga ditandai dengan munculnya banyak startup yang mendigitalisasi sektor spesifik. Misalnya GudangAda yang mendigitalisasi kategori FMCG (fast moving consumer goods) dan Etanee untuk kategori makanan segar dan beku (fresh and frozen). Fase kedua ini diperkirakan akan meningkatkan nilai tambah di sektor pertanian dan pangan yang selama ini memiliki masalah efisiensi karena buruknya rantai pasok di tanah air.
Fase ketiga dari perkembangan ekonomi digital adalah penggunaan smart devices melalui kecerdasan buatan, machine learning, teknologi internet of things (IoT) yang mendigitalisasi proses produksi, budidaya, pasca panen, logistik dan pengiriman produk pertanian dan pangan. Bahkan di fase ketiga diperkirakan yang akan mendapatkan manfaat besar adalah sektor pertanian. Teknologi yang akan banyak dimanfaatkan di proses budidaya dan produksi adalah smart and precision farming untuk melakukan rencana tanam dan proses budidaya pertanian dengan memanfaatkan data historis maupun data real-time dari kondisi iklim dan cuaca. Efeknya hasil produksi budidaya akan lebih efisien dan produktif.
Kebijakan Membangun Infrastruktur Digital
Kita patut bersyukur karena Jakarta berada di urutan kedua sebagai ekosistem startup terbaik dari daftar 100 kota emerging markets, berdasarkan laporan hasil survey dari Global Startup Ecosystem Report (GSER) tahun 2021. Berikutnya kita perlu membangun ekosistem yang sejenis dengan Jakarta di kota-kota strategis lainnya di Indonesia.
Klaster provinsi Jawa Barat dan Jawa Timur memiliki profil PDRB sektor pertanian yang mirip, pun demikian dengan provinsi Jawa Tengah dan Sulawesi Utara berada dalam klaster yang sama untuk PDRB di sektor pertanian. Karena itu penting untuk membangun infrastruktur ekonomi digital di keempat provinsi tersebut dalam rangka untuk mengakselerasi sektor pertanian sebagai penggerak PDB nasional.
Menurut laporan East Venture Digital Competitiveness Index (EV-DCI) 2021, DKI Jakarta, Jawa Barat dan Jawa Timur menempati tiga posisi skor EV-DCI tertinggi di Indonesia. Namun Jawa Tengah berada masih di urutan ke-8 dan Sulawesi Utara di urutan ke-11. Untuk meningkatkan kontribusi sektor pertanian ke PDB nasional maka kita perlu mengakselerasi infrastruktur digital di empat provinsi sebagai penyumbang PDRB sektor pertanian di tanah air. Dengan demikian diharapkan Indonesia akan memiliki pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dari nilai tambah modal manusia yang melimpah dan akselerasi teknologi digital di sektor pertanian. Semoga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H