Mohon tunggu...
Herry Mendrofa
Herry Mendrofa Mohon Tunggu... Jurnalis - Aktivis

Wiraswasta, Wartawan dan Pekerja Sosial.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Soal Banjir: Jakarta Bisa Belajar dari Bangkok dan Kuala Lumpur

13 Januari 2020   09:26 Diperbarui: 13 Januari 2020   09:39 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Awal Tahun 2020 menjadi awal yang membuktikan bahwa belum optimalnya penanganan banjir khususnya di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi dan sekitarnya. Akibatnya ada sekitar 5 triliun rupiah lebih taksiran mengenai kerugian yang ditimbulkan pasca banjir melanda ibukota dan wilayah sekitarnya berdasarkan lansiran Bappenas. 

Bahkan pusat perekonomian dan pemerintahan ini nyaris lumpuh dan bisa saja mengancam keberlangsungan konstelasi di republik ini bukan tidak mungkin ramalan mengenai 2050 Jakarta akan tenggelam semakin nyata. Namun optimisme untuk menjaga keberlangsungan ibukota tersebut harus tetap terjaga karena hingga saat ini Jakarta masih menjadi pusat dari roda perjalanan Bangsa Indonesia. Sudah sewajarnya kita merawat dan menjaga bersama.

Lantas apakah kita memilih diam kemudian dengan mudah melontarkan kritikan dan kecaman kebijakan pemerintah yang selama ini diasosiasikan sebagai terdakwa atas buruknya sistem manajemen pengendalian banjir khususnya di wilayah Jabodetabek?

Sepertinya sangat tidak adil apabila tudingan yang begitu tendesius terus-menerus menggempur pemerintahan yang sah selama ini. Bila melihat secara komprehensif dan konstruktif bahwa ada berbagai macam faktor yang menyebabkan banjir yang terbilang parah tersebut melanda Jabodetabek. 

Misalnya saja faktor geografis yang meliputi kondisi Jakarta berada hanya 8 meter dari permukaan laut hingga dilalui oleh 13 sungai. Belum lagi konsumsi air tanah yang offiside dilakukan oleh warganya karena tidak adanya kebijakan yang mengatur secara proporsional serta berbagai macam perspektif yang memang meyakinkan banjir selama ini lazim terjadi.

Sekalipun demikian refleksi terhadap bencana banjir tersebut seyogianya direspon secara komprehensif sehingga terciptalah win-win solution yang bermanfaat untuk perbaikan sistem yang selama ini dinilai belum maksimal. 

Perbaikan ini dimulai dari kebijakan pemerintah yang partisipatif dan solutif tentang pengaturan sistem manajemen pengendalian banjir kemudian diterjemahkan dalam bentuk peraturan daerah yang melibatkan seluruh komponen terkait tanpa terkecuali masyarakat. 

Kebijakan yang dibuat pun diupayakan agar tidak politis namun populis tidak kompromistik namun solutif. Selain itu, agar segenap elit pemerintahan tidak lagi silang pendapat tetapi keseragaman pemahaman dan dedikasi untuk perbaikan bersama.

Indonesia khususnya Jakarta boleh bercermin dari Bangkok ataupun Kuala Lumpur tanpa mengesampingkan kota-kota lainnya di dunia yang terbilang sukses mengelola sistem pengendalian banjir dengan terstruktur, sistematis dan masif seperti Tokyo, Curitiba hingga Belanda. Manajemen pengendalian bencana banjir yang diterapkan di Bangkok atau Kuala Lumpur boleh dilirik karena memiliki koherensi wilayah yang hampir sama yakni keberadaan di Asia Tenggara serta kemiripan gejala sebab-akibat pasca bencana banjir.

Sekilas bahwa Bangkok adalah wilayah yang diramalkan tenggelam pada tahun 2023 mendatang, latar belakangnya jelas yakni keberadaan Bangkok 2 meter dari permukaan laut hingga daratannya yang turun 4 inci per tahunnya namun kesigapan dan upaya yang serius dari pemerintah serta kerjasama seluruh elemen masyarakat untuk membantu keberlangsungan wilayah tersebut terbukti sukses menjadi kota yang berdikari perihal manajemen pengendalian banjir melalui pipi monyet. 

Pipi monyet yang dimaksud adalah dengan membangun 21 wadah penampungan yang mengakomodir 30 Juta Kubik air hujan yang kemudian di saat musim kemarau didistribusikan untuk kegunaan irigasi dan lain-lainnya.

Tidak hanya sampai disitu Bangkok membangun tanggul raksana dengan panjang 72 km dan Saluran air dengan panjang 75 km yang mampu mengantisipasi dikala banjir melanda.

Lalu bagaimana dengan Kuala Lumpur? Kuala Lumpur adalah daerah yang rawan banjir bahkan disebut sebagai lembah klang. Kendati demikian, Kuala Lumpur berhasil mengembangkan sistem pengendalian banjir mutakhir dan serba guna yang disebut Stormwater Management and Road Tunnel (SMART). 

Sistem ini secara operasional bekerja sangat terintegrasi dengan teknologi dengan menerapkan tiga mode pengoperasian. Ketika kondisi hujan normal maka Smart Tunnel akan dialiri air pada bagian lantai pertama saja, arus transportasi tetap digunakan. 

Ketika terjadi hujan tingkat tinggi maka seluruh lantai pada Smart Tunnel akan difungsikan sebagai saluran air ditambah lagi dengan kecanggihan sistem ini yang dilengkapi juga dengan control room yang mana menerapkan manajemen operasi, pengawasan dan pemeliharaan secara kontinu dan disiplin. Pembangunannya pun tidak tanggung-tanggung menelan biaya 3,9 triliuan selama 4 tahun sejak 2004 silam.

Lantas bagaimana dengan Jakarta? Secara eksplisit Pemeritah dalam hal membangun sistem pengendalian banjir sudah mengupayakan segala daya dan usaha namun masih belum optimal. 

Upaya menormalisasi hingga pembangunan waduk tidak memiliki implikasi berarti dalam pengendalian banjir hingga awal tahun 2020 bencana banjirpun melumpuhkan ibukota. Ditambah lagi kesepahaman pemerintah pusat dan daerah masih belum ada. 

Misalnya saja sejak banjir menghantam Jabodetabek terdapat silang pendapat baik pemerintah pusat maupun daerah terutama DKI Jakarta. Hal ini akan menjadi sebuah paradoks dan memungkinkan persepsi publik meragukan terkait komitmen pemerintah dalam rangka penyelesaian persoalan banjir.

Tidak ada salahnya kita mengadopsi sistem negara lain ataupun merekonstruksi strategi efektif dengan menginternalisasikan dalam manajemen yang efesien dalam mengendalikan banjir kedepannya.

Sekalipun banjir adalah sebuah kelaziman namun perlu antisipasi sebagai manifestasi pertanggungjawaban kita terhadap pelestarian lingkungan guna merawat Indonesia di masa yang akan datang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun