Tidak dapat dipungkiri bahwa dinamika pengembangan dan perkembangan sastra di DIY tidak dapat dilepaskan dari peran pengayom, penerbit, media massa, dan berbagai komunitas sastra yang terus bertumbuh bagai cendawan di musim hujan, baik di kota Yogyakarta maupun di wilayah kabupaten (Bantul, Kulonprogo, Gunungkidul, Sleman).
Salah satu komunitas yang "tahan banting" dan terus mengadakan kegiatan selama lebih dari tiga belas tahun adalah komunitas Sastra Bulan Purnama (SBP). Mulai berkiprah sejak 11 Oktober 2011, bertujuan meramaikan kehidupan sastra di Yogyakarta.
"Sastra Bulan Purnama awalnya lahir di Tembi. Tujuannya untuk menampung teman-teman yang suka berkegiatan sastra. Membaca, diskusi sastra, musikalisasi puisi, dan kegiatan lainnya," ujar Ons Untoro (20/1/2025), koordinator SBP.
Semula kegiatan dipusatkan di Museum Tembi, tetapi sejak beberapa tahun lalu semenjak  Ons Untoro pensiun dari Tembi, kegiatan diadakan berpindah-pindah dari kampus ke kampus maupun instansi pemerintah. Belakangan ini kegiatan lebih sering diadakan di Museum Sandi, Kotabaru, Yogyakarta.
"Saya direngkuh, dijaga, dan didampingi dalam kehidupan bersastra dan berkomunitas oleh SBP. Komitmen Pak Ons dalam menjaga obor SBP tetap menyala, membuat SBP menjadi komunitas yang dirindukan," tutur Yuliani Kumusdaswari yang bergabung dengan SBP sejak  tahun 2015.
Ibu dari dua orang putri itu menjadikan SBP sebagai tempat bertumbuh dalam menghasilkan karya sastra.Â
Beberapa karya Yuliani yang sudah terbit antara lain 100 Puisi Yuliani Kumudaswari (Cakrawala Publishing, 2016), Perempuan Bertatto Kura-kura (Tonggak Pustaka, 2017), Menyusuri Waktu (Tonggak Pustaka, 2018), Wajah Senja (Tonggak Pustaka, 2019), Kepada Paitua (Tonggak Pustaka, 2020) dan Kembang Belukar (Tonggak Pustaka, 2021).
Pemikiran serupa, mengenai keberadaan SBP dalam perannya menumbuhkembangkan sastra di DIY, juga dilontarkan Agus Suprihono, pengarang sastra Jawa.
"SBP sangat berguna bagi sastrawan, tidak saja sastrawan Indonesia, tetapi juga sastrawan Jawa. Ketika media ekspresi karya sastra semakin sempit dan peminatnya  tidak seheboh pada era 1970-an, SBP hadir sebagai oase yang mampu menyejukkan hati," komentar Agus yang sering hadir dalam acara SBP.