Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Iman Budhi Santosa, Kenangan Setelah Seribu Hari Kepulangannya

17 Desember 2024   06:50 Diperbarui: 17 Desember 2024   10:22 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mengenang Iman Budhi Santosa/Foto: Hermard

Penerbitan ini dijiwai semangat jejak tapak IBS agar bisa diupakara. Setidaknya keinginan tersebut tertuang dalam catatan panjang Cak Kandar dalam mempersiapkan dan menyongsong kehadiran buku Jejak Tapak dari Gunung ke Gunung. Catatan tersebut lebih bernuansa ngudarasa kepada anak perempuan semata wayangnya, Loma.

Ndhuk, barangkali bila boleh mendaku, beliaulah salah satu yang wajib kami semat sebagai guru. Yang tanpa henti mengajak untuk senantiasa "ungak-ungak" ke dalam diri. Meneliti lagi arti makna "sangkan paraning dumadi" dan membaca serta menata ulang setiap jangkah. Yang dengan telaten dan teliti, membantu kami untuk terus berjalan, belajar menemukan "darmaning urip". Dengan "tansah ajar dadi titah sawantah", begitu yang kami coba amini.

Ndhuk, barangkali bila diperkenankan "melik", maka rasa itulah yang mesti kami rengkuh. "Rasa melik" nduwe guru, "melik" terima kasih. "Melik" dengan tetap "eling lan ngati-ati" agar tidak "nggendhong lali".
Apa-apa telah ada dan diberikan menjadi sesuatu yang perlu kami pikirkan, harus diupakara. Bukan apa-apa, Ndhuk. Semua itu adalah cara agar aku, engkau, bisa belajar melakukan sesuatu yang semestinya, yang baik dan pas.

Jadi, setelah seribu hari, apa-apa yang telah disedekahkan Beliau, jejak tapak itu, bisa diupakara. Semoga bisa menjadi laku baik kita bersama.

Jejak tapak swargi langgeng/Foto: Kandar
Jejak tapak swargi langgeng/Foto: Kandar
Meskipun kehadiran buku itu masih dalam bentuk dumi (cetak coba), tetapi demi mengenang IBS, tetap diperbincangkan dalam pengetan prasaja empat tahun berpulangnya Iman Budhi Santosa. 

Acara tersebut  diberi tajuk "Ajar Upakara: Doa dan Bincang Karya Iman Budhi Santosa", di Plataran Dhadhapwaru, Berbah, Sleman, Yogyakarta, (14/12/2024) dengan pembicara M Naufal Walliyudin -- pengamat sastra, sosial, dan budaya.

"Ajar Upakara karena kami ingin meneladani semangat  dari IBS. Upakara berarti laku yang baik. Kegiatan ini merupakan rangkaian acara Wedangan #3. Wedangan bisa diartikan ngawe kadang, memanggil sedulur untuk berkumpul ngobrol santai," jelas Cak Kandar, selaku inisiator kegiatan.

Acara diawali dengan pembacaan puisi oleh Nora Septi Arini dan Dinar SAKA.

"la memuji daun jatuh, menyapa burung terbang jauh karena awan masih berteman memberikan hujan, mimpi pualam. Jalan juga terus memberitahu, "Hiduplah bersama denyut jantungmu."

Penggalan puisi "Azimat Suta-Naya, Dadap-Waru" karya IBS yang dibacakan  Nora, mampu menciptakan kekhidmatan suasana haul. Disusul pembacaan puisi "Belajar Membaca Peta Buta" oleh Dinar.

Azimat Suta Naya/Foto: Hermard
Azimat Suta Naya/Foto: Hermard
Buku Jejak Tapak dari Gunung ke Gunung,  terdiri atas tiga bagian: saat masa kecil IBS di Magetan (Gunung Lawu),  bekerja di kebun teh Medini (Gunung Prau-Ungaran), dan  ketika IBS pindah bekerja ke proyek Teh Rakyat di Boyolali (Gunung Merbabu). 

Buku Tapak Jejak berisi enam puluh empat tulisan. Diawali dengan tulisan "Magetan: Kenangan di Balik Potret Boneka Kesayangan". Agaknya tulisan ini merupakan karya terpenting IBS dalam menggambarkan kenangan masa lampau dan kegelisahan mengenai kota kelahiran, Magetan di kaki Gunung Lawu. Ia seakan-akan menjadi layangan putus yang kleyang kanginan di bumi kelahirannya sendiri.

Tulisan ini pertama kali muncul dalam buku Senandung Rumah Ibu (Puspa Swara, 1993), kemudian  di buku Magetan: Bumi Kelahiran (Interlude, 2023), dan dimuat lagi dalam Jejak Tapak dari Gunung ke Gunung (Interlude, rencana terbit  Januari 2025).

"Dalam buku memoar Jejak Tapak dari Gunung ke Gunung, demikian juga dalam buku- bukunya yang lain, IBS selalu berupaya merekognisi peran dari sosok-sosok wong cilik. Misalnya kisah seorang penggergaji kayu bernama Glumut, perempuan pemetik teh di perkebunan, dan profesi lainnya," jelas Naufal.

Di bagian lain dijelaskan pembicara bahwa ia mencerap banyak momen langka dan puitik, yang barangkali hanya IBS  yang mengalaminya.  Ada peristiwa umbi uwi yang ngorok, bunga pisang (onthong)  berbunyi sebelum muncul, perjumpaan dengan bayi bajang, pengalaman dengan tiga jenis petir, pengamatan unik terhadap kuburan burung,  teluh braja, hingga "tradisi" bunuh diri kelelawar (kalong).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun