Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Iman Budhi Santosa, Kenangan Setelah Seribu Hari Kepulangannya

17 Desember 2024   06:50 Diperbarui: 17 Desember 2024   10:22 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keteladanan, kemonceran, dan ketokohan sosok penyair Yogyakarta, Iman Budhi Santosa (IBS), terwakili oleh penerbitan buku Nunggak Semi Dunia Iman Budhi Santosa (Utama Offset Yogyakarta), tak lama setelah ia berpulang  ke alam keabadian pada hari Kamis, 10 Desember 2020.

Setidaknya ketidakrelaan sekaligus rasa cinta dan penghormatan atas kepergiannya tertuang dalam kata pengantar buku tersebut.

"Nunggak Semi menjadi doa sekaligus ungkapan terima kasih. Apa-apa yang telah diupayakan: catatan, ingatan, goresan, rekaman cahaya juga hal-hal lain yang luput dan terlewat. Semua-muanya, segenap yang dihimpun ini akan menjadi tunggak. Kelak di kemudian hari, berkat kebaikan banyak pihak bisa trubus, bersemi kembali. 

Buku ini sebagai ungkapan terima kasih kepada sosok manusia Iman Budhi Santosa. Manusia dengan segenap laku, lara lapa, dan lakon urip. Manusia dengan tidak banyak keraguan menyerahkan sebagian besar hidupnya untuk banyak orang. Buku ini pun sekaligus pisungsung, tandha yekti, tandha tresna, tanda mata, dan tanda betapa Swargi adalah orang baik yang Tuhan telah dengan pasti mengetahuinya," tulis Latief S Nugraha dkk.

Tandha tresna/Foto: Hermard
Tandha tresna/Foto: Hermard
Buku setebal lima ratus halaman lebih itu  ditulis tidak kurang dari delapan puluh orang yang memberi kesaksian  mengenai pitutur, kesederhanaan, dan penghayatan IBS terhadap jagat kesusasteraan/kepenulisan.

"IBS tidak pernah menyatakan bahwa pelajaran penting menghayati objek dan peristiwa adalah bagian pokok dalam menulis. Tidak pernah. Saya menduga, ini sengaja dilakukannya agar "si (calon) murid" mengalami seleksi alam. Kalau kuat ya lanjut, kalau tidak ya ngglangsar," tulis Hasta Indriyana, penyair kelahiran Gunungkidul yang nyantrik cukup lama di Sor Sawo (di bawah pohon sawo) Dipowinatan-rumah kontrakan IBS.

Dijelaskan lebih jauh oleh Hasta bahwa selain bagian dari mendidik mental, hal itu bertujuan agar objek dan peristiwa  diketahui betul oleh muridnya (puisi-puisi IBS banyak yang lahir dari observasi langsung). 

Mereka dipaksa berpikir sendiri tentang apa yang akan dicari ketika menemui sang begawan. Artinya, pelajaran yang khusus membahas tentang teknik penulisan harus dipelajari sendiri sambil jalan. IBS  lebih banyak memberikan pelajaran tentang isi, apa yang akan dituliskan.

Sebagai muridnya, Hasta membaca buku-buku IBS, mempelajarinya, mencoret-coret hal-hal yang  dianggap penting, niteni pola tulisan, mengamati gaya dan sudut pandang bidikan, dan tentu sesekali  bertanya kepada IBS jika tidak memahaminya.

Berguru pada IBS/Foto: dokpri Hermard
Berguru pada IBS/Foto: dokpri Hermard
Bagi Cak Kandar (Interlude), IBS tidak bisa dipisahkan dari peta pertumbuhan dan perkembangan  sastra Yogyakarta. Bahkan sosok IBS merupakan "guru"   dalam memaknai  sangkan paraning dumadi. 

Untuk itu dalam rangka  mengenang seribu hari kepergian IBS, Interlude menandainya dengan penerbitan buku Jejak Tapak dari Gunung ke Gunung, setelah sebelumnya menerbitkan buku Magetan: Bumi Kelahiran (Interlude, 2023).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun