Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Seni Artikel Utama

Pesta Sastra: Di Antara Hujan, Fakta, dan Fiksi

12 Desember 2024   17:24 Diperbarui: 14 Desember 2024   20:59 493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Peserta Pesta Sastra/Foto: dok. Sastra Bulan Purnama

Seandainya saja menjelang malam Minggu lalu (8/12/2024) hujan tidak terus menderas di Yogyakarta dan menjadikan halaman Museum Sandi membasah, tentu Pesta Sastra di Bulan Desember akan terasa lebih gayeng. Sejak sore, tetesan air hujan bagai rentetan anak panah yang jatuh bersamaan di atap galvalum tempat berlangsungnya pesta. Suaranya begitu gaduh. 

Menyadari situasi yang kurang menguntungkan itu, Simon HT, tokoh teater, yang diminta maju guna memantik obrolan, di depan mikrophone dengan santun berkata, "Karena hujan, jadi saya kira obrolannya baca saja tulisan saya dalam buku Namaku Ratu Malang karya Ons Untoro. Buku ini memang layak dibaca. Terima kasih," ujar Simon sambil undur diri, disambut tepuk tangan hadirin.

Sebelumnya dalam sambutannya, Dwi Pratiwi, Kepala Balai Bahasa Yogyakarta, menyampaikan bahwa tanpa diberi penghargaan pun jiwa seni sastrawan Yogya itu sudah mendarah daging.

Geliat sastra di Yogyakarta paling keren di Indonesia. Komunitas-komunitas sastra tumbuh luar biasa. Yogyakarta tanpa pendampingan pengayom pun, sastranya sudah berjalan baik.

"Jadi acara ini adalah bentuk syukuran karena beberapa sastrawan Yogya menerima penghargaan dari Pusat Pembinaan dan Pengembangan bahasa," ujar Dwi.

Ratu Malang/Foto: Pril Huseno
Ratu Malang/Foto: Pril Huseno
Buku Namaku Ratu Malang (Ons Untoro), Rakai Watuhumalang (Cicit Kaswami), dan Nyawaku Kembali Lagi (Krishna Mihardja), berhasil memainkan imajinasi, kata-kata, bahkan Mas Ons mempermainkan atau menggunakan nama sahabat-sahabatnya, dan semuanya melahirkan kreativitas. 

"Buku mereka berupa karya fictional history (sejarah yang fiksional) atau historical fiction (fiksi yang historis) karena memanfaatkan orang-orang historis yang ada," papar Indro Suprobo mewakili komunitas Sastra Bulan Purnama.

Dalam pengantar buku Namaku Ratu Malang, Indro menjelaskan bahwa empat belas cerita pendek karya Ons Untoro mencerminkan sifat dasar dan penting dalam diri manusia, yaitu kesanggupannya untuk bermain atau sebagai homo ludens.

Melalui kesanggupan bermain dan melalui permainan-permainan, manusia memiliki kemungkinan memahami dunia di luar dirinya.
Melalui cerita pendek, Ons Untoro secara sangat bebas bermain dengan nama-nama para sahabatnya.

Memainkan kisah-kisahnya, menggabungkan beragam peristiwa, tempat, waktu, jenis-jenis kesenian, aktivitas, narasi sejarah, dan sebagainya dalam suatu permainan imajinatif maupun semi imajinatif yang boleh disebut sebagai permainan fictional-history atau permainan historical-fiction

Ia menyebut hal-hal yang secara faktual historis memang ada, yakni nama-nama para sahabat, nama tempat, peristiwa, suasana, kegiatan-kegiatan khusus, jenis dan kelompok kesenian, nama jalan, profesi, karakter orang, dan sebagainya, namun meramu dan merangkainya dalam alur kisah yang sifatnya fiksional. 

Penampil Pesta Sastra/Foto: Arief Sukardono
Penampil Pesta Sastra/Foto: Arief Sukardono

Salah satunya, ia menjumput pengalaman dan peristiwa yang dalam fakta aslinya barangkali menegangkan atau menyebalkan, lalu memainkannya dalam narasi sehingga terbangun kisah-kisah yang pada akhirnya menimbulkan suasana lucu dan humor. 

Cerpen berjudul "Tetangga Baru dan Kertas Warna Pink" adalah contohnya. Warna pink selalu mengingatkan tokoh cerita terhadap peristiwa berhadapan dengan kekuasaan. 

Dalam dunia nyata, Ons Untoro selaku pengarang, pernah berurusan dengan Kodim saat disangka ikut terlibat dalam diskusi buku-buku Pramoedya Ananta Toer.

"Cerita pendek Ons Untoro dengan mempraktikkan karakter dasar sebagai homo ludens, merupakan medium penting dalam melahirkan tiga hal utama sekaligus yakni kreativitas, komunitas dan kritik sosial. Ons Untoro sebagai homo ludens, sedang menjalankan kreativitas, melahirkan sesuatu yang baru, yang melampaui hal-hal yang biasanya terjadi," papar Indro.

Begitulah, karya Ons dan Krishna berada antara fakta dan fiksi dan batas antar-keduanya terkadang begitu tipis dalam balutan imajinasi. 

Sebelum acara pesta sastra berlangsung, Krishna mengakui bahwa karya-karyanya berangkat dari berbagai fenomena yang berada di sekelilingnya, yaitu peristiwa dalam lingkungan masyarakat pedesaan.

"Saya merupakan penulis yang tinggal, bersosialisasi, dan juga beradat-istiadat di desa. Sehingga dalam tulisan-tulisan saya, banyak menceritakan kenangan di desa. Bisa jadi itu yang mengendap dan memberontak di otak, sehingga saya lebih suka menulis sungai kecil, batu, sawah, pohon, jangkrik, dan burung. Dalam hal-hal tertentu, karena kehidupan saya di desa dengan budaya, filosofi desa, maka tanpa terasa selalu mengungkapkan semua itu dalam tulisan saya," ungkap Krishna.

Perhatikan saja salah satu puisi Krishna yang terdapat dalam Nyawaku Kembali Lagi.

Memandang Kali Opak

riak-riakmu mengalir tak henti

dalam darahku berdegap cerita butir-butir pasir tak berdaya terpenjarakan pesona kata-kata tak nyata dari hulu entah, ke manakah berakhir

masihkah kutanyakan mula
karena titik-titik air tak sekejap membah
masihkah kurisaukan awal

karena seribu umbul muncul menyatu dari batang entah, 

ke manakah berakhir memandangmu

ingin aku meliuk-liuk tak peduli mencari kedalaman terdalam

Puisi tersebut memanfaatkan sungai sebagai simbol kehidupan, menyampaikan pesan berkenaan perjalanan waktu, hubungan manusia dengan alam, dan pencarian makna hidup.

Riak air sungai, mencerminkan kehidupan masyarakat yang dinamis sekaligus penuh ketidakpastian.

Konteks kata seribu umbul menunjukkan hubungan erat antara manusia dan alam dalam kebudayaan Jawa. Sungai tidak hanya menjadi elemen geografis, tetapi juga simbol kehidupan yang terus mengalir tanpa henti.

Krishna Mihardja memanfaatkan fakta dalam upaya merepresentasikan realitas. Cara yang dipilih dengan mendeskripsikan lingkungan, kejadian, atau karakteristik sosial.

Kedua pengarang, Ons maupun Krishna, menggabungkan fakta dan fiksi untuk menciptakan karya sastra yang lebih kompleks dan menarik. 

Artinya, dalam karya sastra, fakta dan fiksi tidak berdiri sendiri, keduanya saling berinteraksi menciptakan karya yang kompleks. Tentu saja fakta dapat diinterpretasikan secara berbeda tergantung pada perspektif, latar belakang, dan referensi pengarang.

Bimo dan Juru Kunci Makam/Foto: Arif Sukardono
Bimo dan Juru Kunci Makam/Foto: Arif Sukardono

Pesta Sastra di Bulan Desember dimeriahkan dengan penampilan tarian Bimo Wiwohatmo dengan menginterpretasikan cerpen "Juru Kunci Makam" (Ons Untoro) yang dibacakan oleh Eko Winardi, pembacaan puisi (Krishna Miharja Sus. S. Hardjono), pembacaan cerpen (Genthong HAS), pembacaan nukilan sastra jawa (Patah Ansori), dan lagu puisi (Yupi).

Meskipun hujan terus mendera dan menderas, pesta Sastra Bulan Purnama tetap berjalan dalam pelukan kata-kata yang menderu. (*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Jalan Braga Bandung, Ketika Bebas Kendaraan!

7 bulan yang lalu
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun