Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Peneliti, Superman, dan Buku Pintar Sastra Jawa

9 Desember 2024   12:55 Diperbarui: 10 Desember 2024   10:26 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lokakarya penyusunan Buku Pintar Sastra Jawa/Foto: dokpri Hermard

Saat duduk di sekolah dasar dan ditanya apa cita-cita setelah besar nanti, pasti anak-anak, termasuk sebagian besar dari kita (tak usah malu-malulah mengakui), spontan menjawab ingin menjadi dokter, pilot, dan polisi. Dalam angan mereka (dan kita), menjadi dokter sangat menyenangkan, menyuntik orang sakit lalu sembuh. Pilot naik pesawat kemana-mana sambil mengantarkan orang berpergian. Polisi terlihat gagah di balik seragam mereka, bangga bisa menangkap penjahat.

Tidak pernah sekalipun anak-anak menjawab ingin jadi peneliti. Karena tidak terpikirkan di angan-angan mereka: peneliti itu apa, kerjanya bagaimana. 

Bahkan sosok peneliti tak tergapai, tidak terbayangkan, terlebih terdefinisikan. Kalah dengan cita-cita absurd sekalipun, misalnya, ingin jadi Superman biar bisa terbang sesuka hati.

Diskusi para peneliti/Foto: rekayasa AI - dokpri Hermard
Diskusi para peneliti/Foto: rekayasa AI - dokpri Hermard

Saat SMP saya beranggapan kerja peneliti seperti petugas sensus, melakukan pendataan, pencatatan. Atau serupa wartawan, melakukan wawancara dan hasilnya dituliskan.

Duduk di bangku SMA, saya mengambil jurusan ilmu pasti agar bisa kuliah di Fakultas Biologi. Tapi cita-cita itu kandas karena dendam terhadap guru bahasa Indonesia yang memberikan nilai pelajaran Bahasa Indonesia di rapor jauh dari prediksi. 

Demi membuktikan bahwa saya mampu berbahasa Indonesia, dan nilai dari guru tidak beralasan, maka akhirnya kuliah di Fakultas Sastra (awal tahun 1980-an) dengan pengalihan cita-cita dari ahli biologi menjadi penulis atau jurnalis.

Karya terbaik SH Mintardja di kios persewaan komik/majalah/Foto: dokpri Hermard
Karya terbaik SH Mintardja di kios persewaan komik/majalah/Foto: dokpri Hermard
Saat kuliah semester empat, diminta membantu dosen menyambangi kios-kios penyewaan majalah dan komik yang saat itu menjamur di Yogyakarta. 

Kios-kios kecil tersebut biasanya nyempil di antara deretan kios-kios lainnya, menyewakan berbagai komik (Si Buta dari Gua Hantu, Donald Bebek, Gundala, Godam, Tintin); majalah, cerita silat Kho Ping Hoo, Api di Bukit Menoreh, Nagasasra Sabuk Inten, dan lainnya. 

Kios penyewaan mewajibkan penyewa memiliki kartu anggota. Di kartu tercatat tanggal kapan harus kembali dan biaya penyewaan. Penyewa diminta meninggalkan identitas (kartu mahasiswa) atau uang jaminan.

Bu Dosen menugasi saya menyewa dan mencatat novelet-novelet yang ada di kios-kios penyewaan. Beberapa novelet sebagai sisipan majalah Kartini dan Femina saya dapatkan. 

Termasuk beberapa novelet yang diterbitkan. Novelet yang diperoleh antara lain karya Niken Pratiwi, Marga T, Agnes Yani Sardjono, Mira W, Montinggo Busye, dan Remy Silado. Novelet sewaan itu lalu difoto kopi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun