Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Seni Artikel Utama

Krishna Mihardja: Ulang-Alik Sastra sampai Nyawaku Kembali Lagi

5 Desember 2024   10:30 Diperbarui: 5 Desember 2024   15:10 575
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Krishna baca puisi/Foto: dokpri Krishna Mihardja

Mungkin saja dalam dunia kreativitas bersastra, lelaki asal Pirak Bulus, Godean, Yogyakarta ini merupakan salah satu sastrawan dengan energi berlebihan. Betapa tidak, ia setia melakukan perjalanan ulang-alik dalam jagat sastra Jawa dan sastra Indonesia. Di samping memiliki kemampuan menulis puisi, geguritan, cerita pendek, cerkak, novelet, novel, naskah sandiwara radio, mantan guru matematika pun mampu membaca karya sastra dengan baik, bisa nabuh gamelan.

Prestasi Krishna Mihardja sudah mendapat pengakuan dengan banyaknya penghargaan yang diterima, antara lain Penghargaan Pendidikan Bidang Sastra (Kemendiknas, 2003), Penghargaan Sastra Pendidik dari Badan Bahasa Kemendikbud (2011) untuk kumpulan crita cekak Bibir, Penghargaan Sastra Rancage (2013), dan Penghargaan 40 tahun Berkarya Sastra dari Badan Bahasa (2024). Ia termasuk sastrawan luar biasa karena menerbitkan novel Omah (Interlude, 2020) dengan ketebalan seribu halaman lebih! 

Saat bersilaturahmi ke Omah Ampiran (3/12/2024), obrolan membelabar dari hal remeh-temeh, proses kreatif bersastra, sampai kehidupan sastra di Yogyakarta.

Obrolan di Omah Ampiran bersama Krishna Mihardja, Agus Suprihono, Dhanu Priyo P, dan Dedet Setiadi/Foto: Hermard
Obrolan di Omah Ampiran bersama Krishna Mihardja, Agus Suprihono, Dhanu Priyo P, dan Dedet Setiadi/Foto: Hermard

Bagaimana awal mula tertarik dengan dunia tulis-menulis?

Saya pertama kali menulis di media dalam bahasa Indonesia berupa puisi. Pertama kali dimuat sekitar tahun 1976 saat menjadi mahasiswa Pendidikan Matematika Fakultas Keguruan Ilmu Eksata IKIP Negeri Yogyakarta (kini Universitas Negeri Yogyakarta). Judulnya "Parangtritis", dimuat dalam rubrik Insani, harian Masa Kini, Yogyakarta. Mungkin karena saya suka pantai. 

Beberapa waktu kemudian, puisi "Hitamnya Pantai Samas" memenangi lomba cipta puisi IKIP Negeri Yogyakarta, melawan mahasiswa jurusan Sastra. Ini merupakan momen yang mendongkrak kepercayaan diri saya, ternyata mahasiswa matematika bisa juga jadi calon penyair! 

Mas Krishna bangga atas pencapaian itu?

Pencapaian itu semakin membuat saya membabi buta dalam belajar menulis puisi. Bahkan saya kemudian menulis cerpen, esei pendek, dan lainnya. Pokoknya yang bisa dihasilkan dari mesin ketik segera saya bikin.

Saat itu, energi menulis saya terasa menggelegak. Bahkan saya ingat "petuah" Mas Suwarno Pragolapati (Warno), sastrawan senior, yang meminta agar saya menulis apa pun agar menjadi penulis sesungguhnya, disegani.

Kemudian menjadi penyair?

Saat bertemu Mas Warno, mungkin ia menyindir kalau saya tidak akan pernah menjadi penyair. Ternyata benar juga, hingga saat ini saya tidak merasa menjadi penyair, meski saya terus berusaha belajar menulis puisi, dan menulis apa pun.

Kapan mulai tertarik kepada sastra Jawa?

Pada fase berikutnya, awal tahun 1980-an, saya menemukan majalah berbahasa Jawa, Djaka Lodhang. Kemudian saya mencoba mengeksplore diri belajar menulis dalam bahasa Jawa.

Dan sudah bisa ditebak , menulis dengan media bahasa Jawa tidak semudah anggapan orang yang memandang sebelah mata tulisan bahasa Jawa (bukan aksara Jawa) saat itu. Tulisan berbahasa Jawa dianggap sebagai tulisan kelas dua. Begitu juga dengan keberadaan sastra Jawa. 

Meskipun pada awalnya menulis geguritan (puisi berbahasa Jawa), tetapi sebenarnya tulisan berbahasa Jawa saya pertama kali termuat dalam rubrik "Pengalamanku", memuat semacam cerita lelucon. Itu pun, mungkin, dengan kerja keras redaktur yang harus membenahi ejaan, kalimat, karena bahasa Jawa saya benar-benar acak-kadul.

Bagaimana proses kreatif penulisan puisi?

Proses kreatif menulis puisi, tentu saja seperti halnya "anak muda" pada umumnya, yaitu menulis catatan harian dan lain-lain yang "dipuisi-puisikan". Tetapi belajar menulis puisi secara serius, diawali dengan "cerita-cerita pating slurup".

Muncul anggapan bahwa menulis puisi itu keren (nggleleng). Tentu saja sebagai anak muda, saya juga kepingin keren. Mulailah saya membaca-baca buku puisi di perpustakaan.

Itulah sebabnya ketika teman-teman membawa buku tebal Calculus atau Statistik, saya justru membawa buku-buku "aneh" berupa kumpulan puisi. 

Artinya, keinginan pertama menulis puisi itu dikarenakan biar keren, biar suatu ketika nama saya bisa nampang di koran! Ketika pertama kali puisi saya dimuat, maka spontan saya berguling-guling begitu senang di lapangan badminton depan rumah. Hingga saat ini pun bau koran Masa Kini masih terasa kalau mengenang peristiwa di lapangan badminton.

Kapan mulai terlibat dalam komunitas sastra?

Ketika mulai merasa bisa bikin puisi, kebetulan harian Masa Kini membuat kelompok bagi para penulis puisi yang diberi nama Insani, digawangi Mustofa W Hasyim.

Sejak saat itulah saya mengenal rekan-rekan penulis lain yang tentu saja semakin meningkatkan kompetensi bersastra. Tak lama kemudian muncul komunitas dari harian Berita Nasional, yaitu Renas, dengan kepala suku Sunardian Wirodono.

Selain menulis dalam media cetak, waktu itu sering diadakan acara pembacaan puisi oleh berbagai komunitas di Karta Pustaka. Tentu itu terjadi atas budi baik Romo Dick Hartoko. Saya beberapa kali terlibat dalam pembacaan puisi bersama penyair lain.

Pembuktian diri/Foto: dokpri Hermard
Pembuktian diri/Foto: dokpri Hermard
Buku baru Mas Krishna?

Buku baru saya berupa antologi puisi Nyawaku Kembali Lagi (Interlude, 2024), akan di-launching tanggal 7 Desember dalam acara Pesta Sastra di Bulan Desember, bertempat di Museum Sandi, bersama buku Rakai Watuhumalang (Cicit Kaswami), Namaku Ratu Malang (Ons Untoro), dan Serpihan Puisi Sangga Ratu (Sus S Hardjono).

Entah mengapa, meskipun sudah banyak menerbitkan buku dan bukan buku kaleng-kaleng, tapi hingga tahun 2024 belum satu pun memiliki buku puisi tunggal. Selama ini lebih banyak mengikutkan puisi-puisi dalam antologi bersama penyair lain. 

Bisa jadi ini menyebabkan rasa percaya diri saya meluntur dan merasa bahwa puisi-puisi saya "bukan puisi". Untuk itulah di penghujung tahun 2024 saya menerbitkan antologi puisi tunggal.

Minimal hal ini saya lakukan sebagai bentuk tanggung jawab moral karena menerima Penghargaan Berkarya lebih 40 Tahun dari Badan Bahasa. 

Dengan penerbitan tersebut, saya merasa lebih lengkap dalam menerbitkan buku, seakan-akan sah sebagai "fiksiwan". Ha...ha...ha.

Bisa diceritakan mengenai beberapa puisi dalam antogi baru itu?

Saya kutipkan salah satu puisi yang juga menghias sampul belakang buku Nyawaku Kembali Lagi.

Ajari Aku

jangan ajari aku, petunjuk dan petuah karena aku bukan kerbau yang selalu tunduk dan merunduk takluk yang tak pernah gelisah membajak sawah

jangan ajari aku, aturan dan ancaman karena aku bukan kuda yang berlari ke satu arah, depan yang riang gembira memanggul beban 

ajari aku, membaca agar aku melihat segala

Puisi tersebut hadir menggambarkan relasi antara individu dengan struktur sosial. Ada penolakan terhadap ajaran yang bersifat dogmatis, seperti petuah dan aturan yang dianggap mengikat kebebasan berpikir.

Puisi tersebut menggambarkan sikap kritis terhadap struktur sosial yang cenderung memaksakan kepatuhan tanpa memberikan ruang untuk refleksi individu?

Puisi "Ajari Aku" menggambarkan perjuangan eksistensial antara kepatuhan terhadap tradisi dan keinginan bebas berpikir. Mencerminkan pemberontakan terhadap hal-hal yang membelenggu. Metafora digunakan untuk memperkuat pesan tentang pentingnya membaca sebagai jalan menuju kesadaran dan kebebasan.

Bagaimana dengan puisi "Sajak Batu"?

Puisi itu mencerminkan hubungan manusia yang penuh konflik dan kemandegan emosional.

Sajak Batu

yang hitam kaku membeku adalah aku dalam hatimu berwarna-warni, mengeras debu mengendap karang melapis-lapis kedengkian keniscayaan tak lagi mungkin terhindari akankah kau tepiskan hingga rasa sakit berdarah-darah

akulah batu karang membeku berlapis kisah yang pudar menghitam

berhalakan aku seberhala-berhalanya hingga tak lagi ada

hitamkan aku sehitam-hitamnya hingga sinar mengurai warna

akulah batu hitam tak berbatas hingga akhir tatap bekumu

Puisi ini menunjukkan ketegangan antara kegelapan (kedengkian, kebencian) dan harapan akan pencerahan. Mengekspresikan perasaan terisolasi, transformasi emosional, dan harapan keluar dari kegelapan menuju kedamaian.

Bagaimana perkembangan sastra di Yogyakarta?

Sewaktu tahun 1980-an terasa mulai banyak penyair-penyair dan sastrawan bermunculan di Yogyakarta, seiring dengan banyaknya koran dan penerbitan buku. Ditambah banyaknya komunitas yang menyelenggarakan kegiatan sastra. Baik berupa diskusi, pembacaan puisi, pembacaan cerita pendek, maupun pentas teater. 

Belum lagi ditambah dengan keberadaan berbagai radio yang menyiarkan acara pembacaan buku, puisi, sandiwara radio, dan obrolan sastra. Artinya dinamika kehidupan sastra sangat kentara. Banyaknya sastrawan yang muncul, menyebabkan saya tidak mampu mengenal mereka satu per satu.

Krishna baca puisi/Foto: dokpri Krishna Mihardja
Krishna baca puisi/Foto: dokpri Krishna Mihardja
Saat ini kegiatan sastra sangat riuh di Yogyakarta karena dukungan lembaga terkait, utamanya Dinas Kebudayaan Yogyakarta. Ada berbagai macam lomba, temu sastra, temu komunitas, pementasan, pameran sastra, dan banyak kegiatan lainnya.

Bagi saya, kehidupan sastra di Yogyakarta tidak akan pernah mati karena banyak ide-ide kreatif yang bermunculan dari kalangan pengayom, pelaku, maupun pecinta sastra. (*)

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun