Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Seni Artikel Utama

Begal Ora Tegelan, Kemiskinan, dan Kritik Sosial

1 Desember 2024   10:18 Diperbarui: 1 Desember 2024   14:50 838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jam sudah menunjukan pukul setengah delapan malam. Tetapi pertunjukan "Begal Ora Tegelan" (BOT) oleh Paguyuban Kembang Adas di gedung Militiare Societiet, Taman Budaya Yogyakarta (28/11/2024), yang dijadwalkan berlangsung jam tujuh malam, belum juga dimulai. Padahal sepuluh menit sebelumnya, pembawa acara mengumumkan susunan acara. Beberapa sastrawan/seniman mumpuni pun sudah memenuhi bangku penonton: Butet Kertaredjasa, Landung Simatupang, Fajar Sungging. Hanya tersisa beberapa bangku kosong.

Di luar gedung pertunjukan, suara hujan terdengar makin menderas. Lagu "kebangsaan" Paguyuban Tembang Adas dalam nada slendro lebih dari dua kali dilantunkan, meskipun tidak mampu mengusir kelengangan yang kian menggigit.

Kembang Adas/Ngaturaken sugeng rawuh/Nganthi puji amrih hayu/Bilih wonten kirang treping subasita/Kula nyuwun pangaksama

Tembang tersebut berisi ucapan selamat datang, doa kebaikan, dan permohonan maaf seandainya ada hal-hal yang kurang berkenan.

Menunggu/Foto: Hermard
Menunggu/Foto: Hermard
Acara pentas BOT dalam rangka mengenang sewindu berpulangnya Harya Suryaminata yang lebih dikenal dengan nama Hasmi (25 Desember 1946 - 6 November 2016), salah seorang  komikus (pencipta tokoh Gundala Putera Petir) dan penulis skenario terbaik di Indonesia. 

Ia dapat disejajarkan dengan komikus Ganes TH (Si Buta dari Goa Hantu), Hans Jaladara (Panji Tengkorak), Wid NS (Godam), dan Djair Warni  (Joko Sembung).

Dalam konteks ini maka tidak salah jika pementasan BOT berangkat dari testimoni mengenai Hasmi.

"Saat Wid NS dan Hasmi bertemu membuat komik Godam serta Gundala, mereka saling lempar cerita dan gojegan yang ndagel njawa tidak mutu itu, tapi ternyata malah disukai banyak orang," jelas Fajar Sungging, putera tertua Widodo Noor Slamet (Wid NS).

Dipaparkan lebih lanjut  bahwa komik Godam dan Gundala yang hingar-bingar dan dinanti banyak penggemar pada awal tahun tujuh puluhan, terhenti sekitar tahun delapan puluhan karena "order bodong" merebut  kota perjuangan tanpa hasil.

Menurut catatan Tempo.co, sampai akhir hayatnya, Hasmi sudah menerbitkan lima puluh judul dan dua ratus episode komik sepanjang hidupnya. Ini menjadi pencapaian terbanyak di lingkungan artis komik jagoan lainnya di Indonesia.

Kenangan Butet Kertaredjasa/Foto: Ninuk Retno Raras
Kenangan Butet Kertaredjasa/Foto: Ninuk Retno Raras
Butet Kertaredjasa mengingat-ingat perkenalan pertamanya dengan Hasmi.

"Menceritakan soal Hasmi, bagi saya sangat bersejarah. Saya main teater pertama kali ketika SMP di festival teater antar-kring yang bikin Mas Landung dan kawan-kawan Teater Stemka di Ngadiwinatan. Dan salah satu panitianya adalah Mas Hasmi. Ia merupakan saksi mata pertama kalinya saya main teater," kenang Butet.

Pimpinan Teater Gandrik itu mengenal nama Hasmi karena ia merupakan pandemen komik. Selalu terhibur dengan cerita Gundala.

Pertemuan semakin intensif ketika  LP3Y mengadakan workshop penulisan skenario dengan tema kewartawanan,  kemudian Butet dan Hasmi asyik ngobrol tentang penulisan cerita.

"Mas Hasmi pernah bermain bersama saya di Teater Gandrik tahun 2013. Bahkan Gandrik pernah memainkan  lakon Gundala Gawat yang ditulis Mas Goenawan Mohamad, semula menggunakan bahasa Jawa. Menceritakan pengarang Gundala sudah meninggal. Saya memberitahu Mas Goenawan bahwa Hasmi masih hidup. Mas Goenawan terkejut, lalu meminta Hasmi main. Naskah dikonstruksi, dan kami intensif latihan untuk main di beberapa kota bersama Hasmi," ungkap Butet.

Saksi bisu pementasan Begal Ora Tegelan/Foto: Ninuk Retno Raras
Saksi bisu pementasan Begal Ora Tegelan/Foto: Ninuk Retno Raras

BOT, Kemiskinan, dan Kritik Sosial

Naskah BOT sejatinya bercerita mengenai nasib wong cilik yang didera kemiskinan. Pilihan Cicit Kaswami (selaku penulis naskah dan sutradara) mengedepankan dunia begal, rumah bordil, para penjudi, ledhek, berkorelasi dengan masa lalunya yang kelam, hidup dalam kelaparan-terutama saat masih kanak-kanak bersama adiknya, Hasmi.

Meskipun kemiskinan sering disebut sebagai faktor utama seseorang menjadi begal, tetapi tidak semua  begal berasal dari latar belakang kemiskinan. Beberapa melakukannya karena keserakahan, pengaruh kelompok, atau menganggap kriminalitas sebagai "jalan pintas" guna mendapatkan  uang tanpa kerja keras.

Dalam BOT, tokoh begal hadir karena kemiskinan. Begal Sukro dan Gundes, isterinya, hidup dalam keterbatasan ekonomi. Tidak ada pilihan lain kecuali menjadi begal: merampok, merampas milik orang lain dengan kekerasan. Hanya saja karena ia ora tegelan (tidak tegaan), mudah dikelabuhi korbannya, maka ia tetap saja setia dengan kemiskinannya sepanjang pementasan.

Sang Begal/Foto: Hermard
Sang Begal/Foto: Hermard
Dunia bordil dijalani Bu Pus dengan dua anak asuhnya,  Sayuk dan Lasem, karena faktor kemiskinan, tidak ada sumber penghasilan atau peluang kerja lain yang  didapatkan. Rumah bordil Bu Pus mulai dijauhi pelanggan sejak covid 19 mendera, ditambah lagi Sayuk dan Lasem memasuki usia tua, tidak ada lagi pelanggan yang berminat. 

Ketika Bedor, pelanggan, datang ingin memakai Sayuk, ia pun berharap  dapat membayar secara kredit. Situasinya berbeda dengan rumah bordil Bu Hadi dengan perempuan penghibur berusia muda dan memanfaatkan panggilan lewat handphone (bordil online), selalu ramai. 

Menyadari situasi yang tidak menguntungkan itu, Bu Pus mengajak Sayuk dan Lasem bertobat, mengubah nasib menjadi tukang cuci pakaian dan buruh gendong pasar Beringharjo.

Cita-cita melakoni pekerjaan baru itu pun menggambarkan bahwa mereka tidak dapat beringsut dari lingkaran kemiskinan. Tetapi di sisi  lain, mereka menempuh jalan yang benar: bertobat dan ingin bekerja secara halal.

Dunia derita ditampilkan pula lewat tokoh-tokoh penjudi (Seng-Su) sebagai gambaran wong cilik yang mencari pelarian dari situasi stres dan tekanan hidup.  Mereka berjudi sambil berteriak, mengumpat, bahkan berkelahi sebagai bentuk pelepasan emosi sebagai wong cilik.

Ledhek (tayub) melengkapi gambaran kemiskinan dalam BOT. Kesenian ledhek, terutama di daerah pedesaan Jawa, memiliki kaitan  erat dengan konteks sosial dan kemiskinan.

Para ledhek/Foto: Hermard
Para ledhek/Foto: Hermard
Ledhek sering ditampilkan dalam acara di lingkungan masyarakat agraris/petani karena merupakan  salah satu bentuk hiburan yang terjangkau,  biaya relatif murah dibandingkan bentuk hiburan lain.

Dalam beberapa pandangan, ledhek sering diidentikkan dengan strata wong cilik,  pekerjaan yang kurang dihormati. Aktivitas ledhek diasosiasikan dengan kehidupan keras dan dekat dengan dunia hiburan yang dianggap negatif. Meskipun begitu, lirik lagu dan gerak tarian mencerminkan perjuangan, harapan, serta dinamika kehidupan masyarakat bawah.

Kritik sosial disampaikan melalui tokoh begal yang diperankan Eko Winardi dengan sangat baik. Pada adegan terakhir, ia mengganti pakaian dengan jas sambil nyeletuk bahwa jas lebih menindas. 

Di samping itu mengkritik perubahan keadaan yang lebih memprihatinkan. Dulu bank plecit dianggap memeras teman sendiri, tetapi sekarang keberadaan pinjol lebih mengerikan dalam mencekik masyarakat, sehingga penyelenggara pinjaman online  menghasilkan omzet milyaran rupiah. 

Judi konvensional  kalah dengan judol karena judi online bisa membangun kekuasaan, sedangkan pemain judi kertu (konvensional) dari kalangan wong cilik  terus dikejar-kejar polisi sebagai wakil penguasa.

Kritik lain yang cukup menyentil adalah ketika Bu Pus melontarkan pertanyaan, mengapa dalam dunia prostitusi, wanita  yang mendapat hukuman sosial, dicap sebagai sampah masyarakat? Mengapa lelaki hidung belang tidak mendapatkan sanksi? Apakah karena mereka yang mengeluarkan uang, mampu membayar?

Penyesalan/Foto: Hermard
Penyesalan/Foto: Hermard
Penampilan Paguyuban Kembang Adas dengan gaya sampakan mampu menghibur penonton. Celetukan pemain musik dari atas panggung yang merespon aksi dan dialog tokoh,  memunculkan tawa berkepanjangan. Terutama saat terdengar lontaran kata-kata vulgar yang akrab dan mewakili kehidupan masyarakat bawah: asu, bajingan, kirik, prek, lonte, keple, dan ungkapan lainnya. 

Pemakaian kata-kata pisuhan, umpatan  khas masyarakat Jawa, khususnya Yogyakarta, terasa disengaja karena lakon BOT menggambarkan kehidupan masyarakat marginal, melarat, miskin, yang spontan dan tidak lagi mempertimbangkan konsep alus-kasar, unggah-ungguh.  

Masyarakat kelas bawah yang termaginalisasikan lebih dekat dengan bahasa dan ungkapan-ungkapan yang kasar, jorok, dan ceplas-ceplos. Umar Kayam (1998) melontarkan gagasan bahwa dalam lakon-lakon berbahasa Jawa yang mengangkat tema kehidupan melarat dan miskin kaum tingkat paling bawah dari masyarakat Jawa, pilihan bahasa Jawa ngoko sebagai bahasa lakon adalah yang paling tepat dan jitu. 

Masyarakat dalam kelas bawah memang tidak pernah merasa terikat untuk tunduk dalam kaidah halus-kasar, sehingga wajar jika di sela-sela dialog muncul kata-kata makian, pisuhan yang vulgar.

Tarik ulur antara persoalan kemiskinan-kejahatan-pencerahan (diwakili tokoh Praba-dimainkan Agus Suprihono) berhasil memukau penonton selama hampir dua jam. Pementasan antara lain didukung oleh Eko Winardi, Cicit Kaswami, Agus Suprihono, Ami Simatupang, Lisa Sulistyowati, Yuli Purwati, Margono Wedyapranaswara, dan Ningsih Maharani. Penata iringan dipercayakan kepada Otok Bima Sidharta dan Eko Jebret.

Hangatnya sambutan penonton BOT yang terdiri dari generasi sepuh dan generasi muda, bukan saja disebabkan oleh  kedekatan bahasa yang mereka kenali (bahasa Jawa ngoko), melainkan karena tontonan malam itu seakan-akan mewakili kehidupan mereka yang semakin terpinggirkan. Pun juga karena lemparan kritik sosial yang dibumbui guyonan parikena  terasa dalam dan mengena dengan situasi sosial politik belakangan ini. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun