Mohon tunggu...
Herry Mardianto
Herry Mardianto Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Suka berpetualang di dunia penulisan

Selanjutnya

Tutup

Seni Artikel Utama

Menemani Guru PGRI Yogyakarta Berproses Kreatif

10 November 2024   19:04 Diperbarui: 14 November 2024   16:13 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Seorang perempuan itu tegap berdiri 
Di kepal tangannya tumbuh bara api Menyala menjadi-jadi 
Ribuan perciknya tumpah ruah di tanah
Jadi kembang, kumbang, taman bunga Kadang juga kata-kata, 
Di antara kata-kata itu, timbul bising suara orasi mimpi dan keadilan
Seorang perempuan yang mengepal bara api
Berdiri kokoh di antara kerumunan yang di atas kepalanya tumbuh melati la menarik petir dan hujan dari langit 
Sedang kerumunan di bawahnya ia sirami dengan kasih 
Mekar, harum, mewangi

Begitulah penggalan puisi "Perempuan Semesta" yang dibacakan  penuh penghayatan, sangat ekspresif. Bukan itu saja, Sotyarani Padmarintan-biasa disapa Rintan,  tahu betul bagaimana cara "menghipnotis" peserta dan juri Lomba Cipta Baca Puisi memperingati HUT ke-79 PGRI dan Hari Guru Nasional tahun 2024 Tingkat Kota Yogyakarta (7/11/2024) di SD Keputran A Yogyakarta.

Ekspresi Rintan/Foto: dokpri Hermard
Ekspresi Rintan/Foto: dokpri Hermard
Tenaga pendidik SMP Negeri 1 itu membaca kata demi kata dengan mempertimbangkan ketepatan makna yang ingin disampaikan.

Jika membaca puisi dapat diartikan sebagai mengungkapkan kembali gagasan pengarang dengan perantaraan bunyi-bunyi bahasa yang indah dan mengesankan, maka di sinilah titik keberhasilan pembacaan Rintan.  

Keindahan bunyi-bunyi bahasa   dipertimbangkan dengan matang dari segi kekuatan vokal (power), nada, speed, dan timbre. Kepiawaiannya mengekspresikan teks sastra ditunjukan  dengan kemampuannya menghidupkan, memberi "nyawa" teks sastra.  

Kata-kata tertentu diberi penekanan, deretan kata-kata ada yang dibaca cepat dalam satu tarikan napas, ada pula yang sengaja dibaca lambat. 

Cara ini berefek pada kedinamisan seluruh pembacaan. Memunculkan kesadaran audience bahwa puisi pun memiliki tangga dramatik dalam pembacaannya.  Sesekali wanita semampai itu menggerakan tangan dan tubuhnya, membuat kehadirannya terasa atraktif.

Soal penghayatan terhadap puisi tidak dapat diragukan lagi karena puisi yang dibacakan merupakan ciptaannya sendiri.

"Tema yang ditentukan panitia berkenaan dengan guru. Tapi saya kerucutkan lagi dengan mengangkat sosok guru perempuan. Proses penciptaannya pun tidak terlalu sulit karena inspirasinya di depan mata. Intinya berbicara tentang bagaimana seorang guru yang berjuang  untuk anak didiknya," jelas Rintan saat ditanya mengenai proses kreatif penciptaan puisinya.

Nora generasi emas/Foto: dokpri Hermard
Nora generasi emas/Foto: dokpri Hermard
Tidak kalah menarik adalah saat Nora Septi Arini, guru SD Muhammadiyah Sapen, membacakan puisi "Balada Generasi Emas". Masih teringat penggalan puisi yang dibacakan finalis lomba baca puisi Helvy Tiana Rosa 2021 tingkat nasional itu.

Suatu ketika,

pada muram cahaya kita akan menghafal semai perjalanan meski sedikit kegagalan merangkak dari sejarah mengaduh di batang padi laksana rapal mantra Dewi Sri jemawa kirimkan doa-doa dengan lima kobar nyala api dan memekikkan : Beri aku titian untuk menapaki liku jalan kehidupan

Suatu ketika

kita akan menangisi kerutan usia yang tergantung di pintu-pintu sedang mimpi-mimpi bergegas menuju lima kobar nyala api mengejawantahkan langkah menuju bara peradaban generasi emas dan harapan

Keelokan pembacaan Nora karena ia sudah sampai pada kesadaran bahwa  bahasa, kata, dan bunyi atau suara  merupakan perangkat ekspresi seorang pembaca. Lewat perangkat itulah harmonisasi pembacaan,  perhatian, dan emosi audience dimanjakan, serta imajinasi penonton diarahkan.

"Meskipun semula agak gugup, tapi saya berusaha tampil sebaik mungkin. Alhamdulillah semua berjalan sesuai dengan rencana," ungkap Nora, lulusan jurusan Bahasa dan Seni, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta.

Pembaca lain yang tampil cukup memikat adalah Ichsan Yunianto Nuansa Putra- SMA Muhammadiyah 1 ("Apa Yang Kau Jaga Guruku"), Nur Fajriyah- SMP Negeri 10 ("Suara Siapa, Siapa Bersuara"), dan Restituta Devi Pramesti- SMA Negeri 3 ("Bunga Tidur Sang Guru"). 

Meskipun mereka tampil memukau, tetapi Ichsan terkadang terjebak dalam pembacaan dengan unsur-unsur teaterikal.  Sementara itu Nur Fajriyah perlu lebih memberi penekanan pada bagian-bagian penting dari puisinya. Sedangkan Restituta Devi kurang ekspresif.

"Saya memang suka mengikuti lomba seperti ini. Karena sejak SMP sudah menyukai puisi. Bahkan sekarang saya juga menyukai geguritan-puisi Jawa dan sesorah-pidato berbahasa Jawa. Makna puisi adalah menyuarakan hati dan dan keadaan yang perlu diketahui banyak orang," papar Nur Fajriyah, jebolan IAIN Malang.

Tenaga pendidik asal Bojonegoro itu pernah tiga kali berturut-turut menang lomba di Dinas Pendidikan dan  Kebudayaan dan pada tahun 2013 dikirim mengikuti pertemuan sastrawan Nusantara. Ia bangga karena meskipun hanya seorang guru tetapi dapat berkumpul dengan para sastrawan Nusantara.

Tenaga pendidik lain yang layak diapresiasi, antara lain Aba Idris Shalatan (SD Muhammadiyah Karangkajen), Ika Rosiani Nurhayati (SMP Negeri 16), Endang Sri Werdiningsih (SD Tamansiswa Jetis), Resti Nur Chotimah (SD Negeri Lempuyangwangi), dan Evi Giasofa (SD Negeri Lempuyangwangi).

Kebersamaan berproses kreatif/Foto: dokpri Hermard
Kebersamaan berproses kreatif/Foto: dokpri Hermard
Sebagai bentuk pertanggungjawaban penilaian lomba,  dewan juri, terdiri atas Agus Leyloor Prasetiya (praktisi teater), Evi Idawati (penyair), dan Herry Mardianto (pemerhati sastra/praktisi kepenulisan) memberikan catatan bagaimana sebuah puisi harus ditelaah sebaik mungkin sebelum dibaca. 

Kenyataannya, meskipun puisi ciptaan sendiri, ternyata masih banyak yang salah baca. Pengelolaan mental sangat diperlukan  agar tidak demam panggung saat membaca. 

Seorang pembaca  harus siap berperan sebagai aktor yang dapat menyiasati apa pun yang terjadi saat membacakan puisi. Di sisi lain, membaca puisi  memerlukan latihan. Ada kesediaan diri mempelajari yang dituliskan, dibacakan, dan ditampilkan.

Artinya, dunia pembacaan puisi adalah dunia kreativitas, bukan sesuatu yang saklek. Kreativitas dalam pembacaan puisi merupakan siasat di area vokalisasi. 

Ketika pembaca sudah melakukan interpretasi, menandai tangga dramatik, menentukan tinggi rendah, cepat lambatnya pembacaan, maka ini merupakan modal penting untuk menghipnotis audience.

Menghayati kebersamaan baca puisi/Foto: Hermard
Menghayati kebersamaan baca puisi/Foto: Hermard
"Lomba ini diadakan untuk memberi wadah bagi guru-guru dalam meramaikan dunia literasi. Jarang ada lomba cipta dan baca puisi bagi guru. Untuk itu PGRI  Yogyakarta mengambil inisiatif mengembangkan kreativitas guru dalam cipta dan membaca puisi," jelas Bu Ning, salah seorang panitia, di penghujung acara. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun