"Meskipun semula agak gugup, tapi saya berusaha tampil sebaik mungkin. Alhamdulillah semua berjalan sesuai dengan rencana," ungkap Nora, lulusan jurusan Bahasa dan Seni, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Yogyakarta.
Pembaca lain yang tampil cukup memikat adalah Ichsan Yunianto Nuansa Putra- SMA Muhammadiyah 1 ("Apa Yang Kau Jaga Guruku"), Nur Fajriyah- SMP Negeri 10 ("Suara Siapa, Siapa Bersuara"), dan Restituta Devi Pramesti- SMA Negeri 3 ("Bunga Tidur Sang Guru").Â
Meskipun mereka tampil memukau, tetapi Ichsan terkadang terjebak dalam pembacaan dengan unsur-unsur teaterikal. Â Sementara itu Nur Fajriyah perlu lebih memberi penekanan pada bagian-bagian penting dari puisinya. Sedangkan Restituta Devi kurang ekspresif.
"Saya memang suka mengikuti lomba seperti ini. Karena sejak SMP sudah menyukai puisi. Bahkan sekarang saya juga menyukai geguritan-puisi Jawa dan sesorah-pidato berbahasa Jawa. Makna puisi adalah menyuarakan hati dan dan keadaan yang perlu diketahui banyak orang," papar Nur Fajriyah, jebolan IAIN Malang.
Tenaga pendidik asal Bojonegoro itu pernah tiga kali berturut-turut menang lomba di Dinas Pendidikan dan  Kebudayaan dan pada tahun 2013 dikirim mengikuti pertemuan sastrawan Nusantara. Ia bangga karena meskipun hanya seorang guru tetapi dapat berkumpul dengan para sastrawan Nusantara.
Tenaga pendidik lain yang layak diapresiasi, antara lain Aba Idris Shalatan (SD Muhammadiyah Karangkajen), Ika Rosiani Nurhayati (SMP Negeri 16), Endang Sri Werdiningsih (SD Tamansiswa Jetis), Resti Nur Chotimah (SD Negeri Lempuyangwangi), dan Evi Giasofa (SD Negeri Lempuyangwangi).
Sebagai bentuk pertanggungjawaban penilaian lomba, Â dewan juri, terdiri atas Agus Leyloor Prasetiya (praktisi teater), Evi Idawati (penyair), dan Herry Mardianto (pemerhati sastra/praktisi kepenulisan) memberikan catatan bagaimana sebuah puisi harus ditelaah sebaik mungkin sebelum dibaca.Â
Kenyataannya, meskipun puisi ciptaan sendiri, ternyata masih banyak yang salah baca. Pengelolaan mental sangat diperlukan  agar tidak demam panggung saat membaca.Â
Seorang pembaca  harus siap berperan sebagai aktor yang dapat menyiasati apa pun yang terjadi saat membacakan puisi. Di sisi lain, membaca puisi  memerlukan latihan. Ada kesediaan diri mempelajari yang dituliskan, dibacakan, dan ditampilkan.
Artinya, dunia pembacaan puisi adalah dunia kreativitas, bukan sesuatu yang saklek. Kreativitas dalam pembacaan puisi merupakan siasat di area vokalisasi.Â
Ketika pembaca sudah melakukan interpretasi, menandai tangga dramatik, menentukan tinggi rendah, cepat lambatnya pembacaan, maka ini merupakan modal penting untuk menghipnotis audience.