Tri Yuli Setyoningrum dengan "renyah" menceritakan bagaimana kopi menjadi inspirasi karya kreatif pekerja seni. Ia meyakini bahwa setiap wilayah di Indonesia mempunyai cara khas dalam menyajikan kopi, termasuk Blora. Sebagai kota yang "terselip", Blora memiliki beragam kopi khas, di antaranya kopi santan dan kopi kothok.
Kopi kothok dihidangkan warung kopi pedesaan di pinggir sawah. Warung kopi berbentuk rumah hunian, biasanya mulai buka mulai pukul enam pagi sampai pukul delapan malam hari. Suasana warung mencerminkan keakraban dan kekeluargaan.Â
Penjual kopi (umumnya wanita paruh baya), akan menyeduh kopi secara dadakan dengan kekentalan dan tingkat kemanisan sesuai permintaan pelanggan.
Pengunjung warung kopi kothok adalah para petani lelaki, selepas mereka turun dari sawah atau akan menuju ke sawah.Â
Apa keistimewaan kopi kothok? Untuk membuat kopi kothok, dibutuhkan wadah khusus berbahan aluminium bergagang kayu. Sesendok kopi dicampur dengan dua sendok kopi racikan dan direbus di atas bara api rencek kayu jati.Â
Proses ini membuat aroma kopi kothok menjadi istimewa. Kopi racikan yang digunakan berasal dari biji kopi nangka, disangrai dengan campuran beras, jagung, dan irisan kelapa. Setelah kopi sangrai berwarna hitam pekat dan menebar aroma khas, kopi siap digiling dan diseduh untuk dinikmati.
Selain kopi khotok, ada pula kopi santen di desa Jepangrejo yang menurut Kukuh sudah ada sejak tahun 1980.Â
Awalnya Mbah Sakijah berjualan kopi khotok. Suatu ketika, tanpa sengaja ia mencampurkan sisa santan memasak kedalam kopi dengan cara dikothok (direbus). Ketika diberikan kepada suaminya, ternyata kopi santan itu terasa enak dan gurih.
 Tetangga yang turut mencicipi pun berpendapat bahwa kopi Mbah Sakijah layak jual. Dari situlah keluarga Mbah Sakijah berinisiatif membuka usaha warung kopi.
Kopi santen yang disajikan berasal dari kopi pilihan, disangrai di atas penggorengan tanah liat dengan menggunakan tungku tradisional. Santan baru diproses saat pelanggan memesan kopi, disedu bersama gula.Â
Kuliner khas Blora lain yang menarik adalah sate dan dumbeg. Dumbeng, seperti diceritakan Bayu Pranoto (Komlitbahasa) dalam "Dumbeg di Era Modern", merupakan adonan tepung, gula Jawa, santan, dibalut daun kelapa muda atau daun lontar (wurung), kemudian dikukus. Rasanya gurih dan legit.
Ada yang memaknai dumbeg sebagai lingga, simbol kesuburan laki-laki.
Kekhasan sate Blora dapat ditelusuri dari tulisan "Istimewanya Sate Ayam Khas Blora dengan Pincuk Daun Jati" (Bela Hastya Pertiwi-Komunitas Baca Buana Ilmu).Â